Anonim

Anonim
Oleh Narani Widodo

Semacam fanfiction dari novel "Inikah Rasanya Cinta"



(( Shilla ))

Udah sebulan lebih gue gak bertegur-sapa dengan dia.

Iya, yang gue maksud itu dia. Cowok dingin, jutek, dan sok sempurna itu. Cowok yang sangat berbakat dalam bidang tulis-menulis itu. Cowok yang keren (gue akuin dengan berat hati), tapi childish-nya minta ampun itu.

Oke, dia punya nama. Namanya adalah Raka Putraderianto Wirajaya. Temen-temen sering manggil dia dengan first name-nya, tapi tidak dengan gue karena gue punya banyak nama panggilan untuk dia. Beberapa di antaranya adalah 'Beruang Kutub Ngamuk', 'Manusia Eskimo yang Tersesat', dan 'Tukang Odong-Odong'.

Tapi itu dulu, waktu kami masih sering bertengkar (anyway, pertengkaran abal-abal itulah yang malah bikin gue deket sama dia), waktu kami masih tergabung dalam ekstrakurikuler yang sama (Jurnalistik Mading Sekolah), dan... waktu dia belum nyatain perasaannya ke gue.

.........ups.

.
.

(( Raka ))

Setelah memutuskan untuk keluar dari ekstrakurikuler Jurnalistik Mading Sekolah, gue resmi 'terkucil'. Karena gue sudah dikeluarkan dari OSIS (mungkin akibat sifat gue) dan kedua orangtua gue masih sibuk melalang-buana ke luar negeri demi bisnis dan karir mereka, gue gak punya aktivitas lain. Hari demi hari gue habiskan dengan nge-game sampai larut malam di rumah.

Di rumah gue yang mewah dan bertingkat-tingkat, mungkin gue kelihatan punya segalanya. Gue punya bertumpuk-tumpuk uang, mobil sport serta Ninja hanya untuk gue sendiri, serta benda-benda mahal yang belum tentu bisa dimiliki setiap orang.

Tapi, kenyataannya, gue gak punya apa-apa.

Gue gak punya keluarga.

Gue gak punya teman.

Gue gak punya kebahagiaan. 

Sekitar delapan tahun yang lalu, waktu gue masih SD, gue pernah menangis karena orangtua gue mau pergi ke San Fransisco selama 1 bulan dan gue gak diajak. Sebenernya gak apa-apa sih kalau gue gak diajak, tapi kenapa mereka selalu pergi?

Kemudian, Mama bilang, "Raka gak boleh manja dan gak boleh cengeng. Mama dan Papa cuma mau pergi sebentar, kok."

"1 bulan kan lama, Ma!" seru gue, masih sambil menangis. "Raka maunya Mama dan Papa gak usah pergi!"

"Gini aja deh." Papa (yang mulai frustasi) berusaha bernegosiasi demi mencari solusi. "Papa bakal beliin semua barang atau mainan yang Raka mau, tapi Raka gak boleh nangis kalau Papa dan Mama pergi." 

Waktu itu, tangis gue emang berhenti dan gue langsung memesan dua box pizza keju untuk gue sendiri, tapi sekarang, gue pengin memutar balik waktu ke masa itu dan menolak tawaran Papa.

Gue baru sadar kalau tawaran Papa itu gak berarti apa-apa. 

Tawaran Papa gak bisa membeli sesuatu yang hanya bisa dirasakan oleh hati seperti tawa, senyum, dan kebahagiaan. Tawaran Papa juga gak bisa membeli temen-temen, keluarga, dan... dia. 

Iya, dia. Cewek tomboi yang gak punya baju lain selain kemeja kotak-kotak itu. Cewek keras-kepala yang ceroboh itu. Cewek yang manis (gue akuin dengan berat hati), tapi galak itu. 

Namanya Shilla. 

I used to tell the world about how much I hate her, but now, I realize that she is my whole life. Dia emang bukan pacar gue, tapi gue sangat mencintai dia. Walaupun udah sebulan ini kami berakting seolah kami adalah stranger yang gak pernah saling mengenal, hati gue tetap memilih dia. 

Iya, hati gue masih bisa memilih kok walaupun udah remuk dan hancur jadi debu karena Shilla udah punya orang lain. 

.
.

(( Shilla ))

Gue bete. 

Tadi pagi, di jalan menuju sekolah, gue ketemu Adit. Adit, dengan sifatnya yang gentle dan baik banget, menawarkan gue tumpangan ke sekolah. Karena jarum jam udah bergerak ke angka 06.50 dan gerbang sudah akan ditutup 10 menit lagi, gue pun mengiyakan tawaran itu. 

Tapi tahu gak? Semua siswa di sekolah langsung gosipin gue dan Adit. Setiap gue jalan di lorong-lorong sekolah, pasti ada aja yang neriakin gue, "Cie, CLBK nih ye! Cinta Lama Bersemi Kembali!" 

Argh. 

Adit emang mantan gue, tapi gue gak punya perasaan apa-apa lagi sama dia. Kami putus secara baik-baik dan sekarang kami murni cuma temen. Dia (mungkin) udah punya sosok cewek baru di hatinya, dan gue... 

...gue gak mengharapkan siapa-siapa lagi selain Raka. 

Ya, gue jatuh cinta. I've fallen for him, walaupun sepertinya dia gak pernah peduli atau nge-notice keberadaan gue lagi. Dia gak pernah sadar kalau mata gue selalu nyuri-nyuri pandang ke matanya setiap dia gak sengaja lewat di dekat gue. Dia gak sadar kalau gue sangat berharap dia kembali. 

Well, kelihatannya, dia udah punya cewek lain. Gue pernah lihat Siska, cewek berkacamata minus 2 yang kutu-buku itu, menumpang pulang di mobil Raka. 

.
.

(( Raka ))

Gue sibuk. 

Beberapa hari yang lalu, ketika gue sedang menyalin PR dengan terburu-buru sebelum jam pertama dimulai, Siska menawarkan gue sesuatu, "Rak. Lo mau ikut pertukaran-pelajar gak?" 

Tanpa mengalihkan pandangan dari variabel-variabel matematika yang sedang berusaha gue pahami, gue bertanya, "Hmm? Ke mana?" 

"Ke Amerika Serikat," jawab Siska. "Tes-nya cuma sehari, lho! Tapi udah masuk wawancara dan tes tertulis. Pesertanya juga terbatas, cuma untuk wilayah Jakarta aja! Saingannya dikit!" 

"Berapa orang yang bakal keterima?" 

"Tiga," kata Siska. "Ikut aja, yuk!" 

"Tesnya kapan?" 

"Dua bulan lagi." 

Sebenernya gue menolak dan gak mau ikut. Ya iyalah! Belakangan ini, prestasi gue turun dan gue gak mampu belajar lagi karena gue sibuk nge-game, gila aja kalau gue nekat ikut tes pertukaran-pelajar? Mana mungkin lulus? Jakarta emang gak besar-besar amat, tapi tetep aja persaingannya susah!

Tapi, singkat cerita, akhirnya gue setuju karena Siska terus maksa gue untuk ikut. 

Dan... well, di sinilah gue sekarang. Di perpustakaan kota dengan setumpuk buku pelajaran yang menggunung. Hari Minggu yang sakral ini, harus gue habiskan dengan belajar bersama dengan si ranking 1 paralel se-sekolahan. 

Mata Siska berbinar-binar. "Ayo! Semangat! Kita pasti bisa lulus tes!" 

Gue menguap. 

.
.

(( Shilla ))

Tadi pagi, gue dipanggil oleh Kepala Sekolah.

Gue kira gue bakal di-drop out karena kesalahan besar yang sepertinya gak pernah gue lakukan atau gue bakal kena tegur karena kemarin sempat bolos di jam terakhir. Tapi ternyata...

"Kamu sangat berbakat!" seru Kepala Sekolah sambil tersenyum. "Selamat, ya! Karya-mu menang lomba fotografi se-Indonesia untuk tingkat SMA! Juara 2! Hebat, kamu berhasil mengharumkan nama sekolah! Saya bangga sama kamu!" 

Gue melongo. "Ha? Menang, Bu?" 

"Iya, menang!" 

Gue tambah melongo. Masa, sih? Karya gue (yang sempat dikomentarin aneh dan gak masuk akal oleh temen-temen gue) menang? Juara 2 se-Indonesia? Oh God, ini pasti mimpi. 

Kepala Sekolah mengulurkan tangannya ke arah gue, mengajak gue salaman. "Selamat! Hadiahnya adalah uang senilai 3 juta rupiah, piagam, dan kamu bisa ikut bimbingan fotografi selama setahun gratis!" 

Mata gue melebar. "Serius, Bu?!" 

"Lima rius!" 

Gue gak bisa menahan diri untuk gak melonjak-lonjak kesenengan. Udah setahunan ini gue mau ikut bimbingan fotografi, tapi gak berani ngomong ke orang-tua. Gue gak mau membebani mereka. Tapi sekarang keinginan gue terwujud! Yeeeey!

"Selamat ya," ujar Kepala Sekolah, sekali lagi menyelamati gue. "Saya harap kamu benar-benar serius dalam mengikuti bimbingan itu. Itu kesempatan besar yang tidak boleh disia-siakan. Saya dan pihak sekolah akan terus meng-support kamu. Suatu hari nanti, kamu pasti bisa menjadi fotografer profesional."

Gue tersenyum lebar. "Terima kasih, Bu. Saya pasti serius. Ini mimpi saya sejak dulu." 

Setelah berbasa-basi selama beberapa waktu, akhirnya gue pamit. 

Waktu gue keluar dari ruangan Kepala Sekolah, tiba-tiba Putri (sahabat gue) udah ada di sana. Tadi dia emang nganterin gue ke ruang Kepala Sekolah sih, tapi gue gak nyangka aja kalau dia ternyata masih nungguin gue. 

"Ada apa, Shil?" tanya Putri. 

"Tahu gak? Foto karya gue yang sempat lo dan Olga katain 'aneh', terus gue ikutin lomba fotografi nasional?" tanya gue. 

Mata Putri melebar. "Menang?" 

"Juara 2!" seru gue. 

Putri langsung memeluk gue dan kami berdua melonjak-lonjak kesenengan. Sumpah, suasananya gembira dan penuh haru banget! 

"I'm happy for you, Dodol!" seru Putri sambil menjitak kepala gue. "Itu hadiah dari gue! Hehehe, selamat ya!" 

Rasa sakit karena dijitak Putri tidak gue hiraukan. Senyum gue masih merekah ketika gue ngumumin, "Dan tahu gak salah satu hadiahnya? Bimbingan fotografi profesional gratis selama setahun!" 

Putri melongo. "Shil... itu kan... mimpi lo...."

Gue mengangguk kencang. "Mimpi gue yang terwujud!" 

"Wow!"

"Alhamdulillah!" 

Setelah itu, kami berdua merayakan kebahagiaan gue dengan lompat-lompat, nyanyi-nyanyi gak jelas, dan saling jitak. 

Tiba-tiba, ujung mata gue gak sengaja 'menangkap' sosok Raka yang tadinya pengin lewat di koridor tempat gue dan Putri 'seru-seruan', tapi langsung pergi dan nyari jalan lain begitu melihat gue. 

Sepertinya Putri juga melihat hal yang sama karena dia tiba-tiba ngomong dengan pelan dan lembut. "Kenapa kalian, maksud gue lo dan Raka, gak baikan aja, sih?"

Gue terdiam. Bingung. Gue dan Raka gak punya masalah apa-apa dan kami gak bertengkar, jadi untuk apa kami baikan? 

Kami hanya... mungkin terlalu malu dan terlalu gengsi untuk kembali akrab satu sama lain. 

Seolah bisa membaca pikiran gue, Putri mendengus, "Kalian berdua itu sama-sama orang ter-egois, ter-gengsian, dan ter-keras-kepala yang pernah gue temuin! Jangan gitu, dong! Kalian sendiri yang akhirnya bakal rugi, lho!" 

Gue menatap Putri. Selama ini, gue tahu kalau Putri masih menjalin komunikasi dengan Raka (walaupun gak intens). Sebenernya dari dulu gue juga pengen nanya tentang kabar Raka ke Putri, tapi... well, yeah, gue malu. Gengsi. 

.
.

(( Raka ))

Tiga bulan kemudian...

Tes untuk pertukaran-pelajar sudah gue lewatin (dengan berdarah-darah). Gue nyaris sesak napas ketika mengerjakan soal-soal pengetahuan umum dalam tes tertulis, tapi over all, semuanya lancar. Tes interview sendiri ternyata gak susah-susah banget, dan gue serta Siska berhasil ngelewatinnya. 

Tapi walaupun sukses, gue tetep gak yakin bakal lolos. Gue emang bisa, tapi di atas langit selalu ada langit, kan? Pasti ada yang lebih bisa dari gue, kan? 

Karena itu, gue merasa sedang berada dalam mimpi ketika gue membuka e-mail dan menemukan sebuah surat elektronik resmi yang menyatakan kalau gue lulus dan akan berangkat ke Amerika Serikat untuk beberapa bulan dari lembaga yang mengadakan pertukaran-pelajar itu! 

Gue langsung berteriak-teriak senang memanggil Mbok Inah, pembantu di rumah gue yang sudah gue anggap sebagai Ibu gue sendiri. "Mbok! Mbok Inah!" 

Mbok Inah lari tergopoh-gopoh ke kamar gue. "I-iya, Den! Ada apa, Den?" 

"Mbok! Lihat e-mail ini! Aku lulus tes pertukaran-pelajar dan bakal pergi ke Amerika Serikat untuk beberapa bulan!" 

Mbok Inah bergegas membaca e-mail itu, kemudian menyelamati gue. "Wah, hebat! Selamat ya, Den! Kebetulan Tuan punya cabang bisnis di Amerika Serikat, kan? Nyonya juga lagi di sana!" 

Gue tersenyum. Ada kebanggaan tersendiri di hati gue begitu gue menyadari kalau gue bisa 'menyusul' orangtua gue ke negeri Paman Sam itu dengan usaha gue sendiri (bukan dengan uang mereka). 

.
.

(( Shilla )) 

Beberapa bulan kemudian...

Malam ini, waktu gue lagi sibuk memilah-milah foto mana yang akan gue ikutkan ke pameran bersama dengan teman-teman bimbingan fotografi gue, sebuah SMS masuk ke BlackBerry gue. Dari Putri.

"Besok Raka bakal pergi, lho." 

Raka? Pergi? Ke mana? Kening gue mengerut. Sebenernya gue ingin membalas SMS itu as soon as possible, tapi gue gengsi. Akhirnya gue lanjut memilah-milah foto dan baru membalas SMS itu setengah jam kemudian. "Ke mana?" 

Balasan dari Putri datang secepat kilat. "Ke Amerika Serikat." 

Gue membelalak. "Amerika Serikat?" 

"Iya. Dia bakal pindah selamanya ke sana dan gak bakal balik ke Indonesia lagi. Kata dia, dia mau bantu ngurusin bisnis orangtuanya yang lagi berkembang pesat." 

Mendadak, gue merasa seperti dihantam oleh ribuan tinju yang kasat mata. Dada gue terasa sesak dan pandangan gue berkunang-kunang. Gue masih memendam dalam hati berjuta-juta perasaan untuk cowok jutek yang sudah tidak pernah gue temui dan gue ajak ngobrol itu, tapi besok dia udah pergi? Ke Amerika Serikat? 

Foto-foto berharga di genggaman gue tiba-tiba terlihat seperti sampah yang bisa gue remukkan dan robek-robek semau gue. Gue marah. Gue kesal. Gue malu karena sikap gue sendiri. 

Kenapa dia harus pergi waktu gue belum ngomong apa-apa tentang hati gue? 

SMS dari Putri datang lagi. "Besok gue bakal nganter dia. Lo ikut gak?" 

Gengsi yang lagi-lagi muncul di hati gue, langsung gue tepis. Secepat kilat, gue membalas SMS itu. "Mau." 

.

Malam itu, gue tidur sambil menangis sampai bantal dan selimut gue benar-benar basah karena air mata. Tiap kali gue teringat dengan Raka, gue bisa merasakan kalau hati gue ikut teriris. Raka belum pergi, tapi gue sudah rindu. Gue bener-bener rindu.

.
.

(( Raka ))

Walaupun jarum jam masih stuck di angka 7, bandara benar-benar ramai. Orang-orang ramai berlalu-lalang, sibuk dengan urusan masing-masing.

Tentu saja gak ada yang peduli dengan gue. Gak ada yang peduli kalau sebentar lagi gue akan menjejak tanah Amerika Serikat. Gak ada yang peduli kalau gue sudah berhasil melalui sebuah tes yang memberi gambaran sekaligus kesempatan akan cita-cita gue di masa depan nanti. Gak ada juga yang peduli kalau gue... harus meninggalkan hati gue di sini demi mimpi yang (mungkin) sebentar lagi akan gue gapai.

Ya, orang-orang itu gak peduli karena di mata mereka, gue hanyalah seorang anonim. Orang asing yang gak mereka kenal dan gak mereka peduliin. Orang asing yang hanya sekedar lewat ketika mereka sibuk bercengkrama dengan dunia masing-masing.

.

Tadi malam, gue udah pamit ke Putri. Walaupun gue hanya pergi untuk sementara, gue merasa kalau gue harus meminta-izin (sekaligus restu) pada temen gue itu. 

Dan gue, dengan niat terselubung, meminta agar Putri memamitkan gue ke temen-temen yang lain. 

Tentu saja, yang gue maksud dengan 'teman-teman lain' itu adalah Shilla. Gue yakin kalau Putri ngerti, kok. Gue yakin Putri udah nyampein 'pamit' dan 'salam' dari gue untuk Shilla. Tapi kenapa Shilla gak peduli? Kenapa dia gak peduli dengan perasaan gue? Apa karena dia nganggap gue hanyalah seorang anonim yang numpang lewat? 

Crap

Orang-orang di bandara ini masih sama sibuknya. Mereka masih berjalan kesana-kemari untuk mengurus keperluan masing-masing, tapi yang berbeda adalah wajahnya. Karena gue udah membayangkan wajah Shilla sedang menggantikan wajah orang-orang itu. 

....gue kangen....

"Raka!" Suara Putri memanggil gue. 

Gue pun berbalik. "Oh, jadi lo bakal nganter gue, Put? Dan-"

Kalimat gue terhenti begitu gue melihat dia. Cewek tomboi dan galak itu. Cewek ceroboh yang punya segala jenis kemeja kotak-kotak dan sepatu kets itu. Shilla.

Dia kelihatan malu-malu berjalan di belakang Putri, tapi, begitu mereka berdua sampai di hadapan gue, dia langsung nanya, "Kamu bakal pergi ke Amerika Serikat dan gak balik ke Indonesia lagi?" 

Gue terlalu kaget untuk memperhatikan kalau dia mengganti panggilan 'lo' dengan 'kamu' ke gue. "Hah? Kata siapa?" 

Putri langsung buru-buru menjelaskan. "Eh, salah deng, Shil. Tadi malam gue cuma bercanda. Hehe... maaf, ya? Sebenernya, Raka lagi ikut program pertukaran-pelajar ke Amerika Serikat untuk beberapa bulan. Dia bakal balik, kok. Hehe... iya kan, Rak?" 

Gue mengangguk. "Iya." 

Wajah Shilla memerah. Kelihatannya, dia gak mampu ngomong apa-apa lagi saking kagetnya. 

Putri langsung memasang wajah memelas. "Maaf ya, Shil... lo jangan marah... gue ngomong gitu supaya lo mau ke sini dan nganterin Raka... ya? Ya? Ya?" 

Shilla masih gak ngomong apa-apa. Hanya matanya yang natap gue lurus. 

Gue berusaha keras menahan senyum. Ternyata gue (mungkin) masih punya arti. Ternyata dia masih mau nemuin gue dan nganter gue. Ternyata gue bukan anonim di matanya. 

"Tunggu aku pulang, ya," bisik gue tanpa sadar. 

Shilla masih gak menjawab, tapi gue bisa melihat kalau dia mengangguk pelan. Terlalu pelan untuk dilihat oleh orang lain selain gue. 

Selesai. 

Comments

  1. Duh manisnya >,< jadi Shila juga suka sama Raka toh, kak? kalau di novel Inikah Rasanya Cinta gimana ya? -,- duh penasaran :D

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Contact Me

About Me: The New Version

#1 Proses Novel "Inikah Rasanya Cinta"