Anugerah Tuhan

Kalau ada yang nanya ke aku tentang bagian dari diriku yang paling aku suka, pasti aku jawab: mata.

Mataku itu bunder. Belok. Bahkan, waktu aku lahir, mukaku yang kecil itu seolah ketelen sama bentuk mataku yang gede banget (kata Eyang-ku, lho).

Well, awal-awalnya, mataku emang nyeremin. Apalagi kalau lagi melotot. Tapi lama-kelamaan, banyak yang suka ngeliat mataku (ini kata orang lain, lho). Well, mataku emang jernih dan bulu-mataku emang agak lentik (jadi enak dilihat) (ini masih kata orang lain, lho). Hehe....

Tapi ternyata kecantikan mataku (halah) punya batas kadaluwarsa.

.

Suatu hari, waktu aku masih TK, mataku tiba-tiba gatel banget dan jadi merah. Akhirnya, aku ke dokter mata dan dikasih obat-obatan sama dokter itu. Tapi mataku tetap gak sembuh-sembuh. 

Akhirnya aku ganti dokter. Waktu itu aku masih kecil dan dodol banget, jadi gak ngerti apa-apa. Tapi aku masih inget kalau dokterku waktu itu laki-laki, udah tua, badannya besar, dan (maaf) kayaknya mirip sama guru Geografi di sekolahku sekarang. Sifatnya itu cuek dan gak banyak komentar. Pokoknya, dia cuma kasih aku obat. 

Eh, bukannya sembuh, mataku malah tambah parah. PARAH BANGET. Gatelnya menjadi-jadi (sumpah gak nahan) dan warna mataku jadi nyaris kayak darah. Warna mataku bahkan jadi lebih merah dari ini: 


Nemu di Google, guys. Sebenernya mau nge-post foto yang lebih parah dari ini, tapi aku takut kalian 'jijik' atau 'ngeri'. Sorry.

Setelah menderita (halah) selama beberapa waktu, akhirnya aku ke Makassar dan berobat di klinik seorang dokter. Namanya (kalau gak salah) dr. Habibah. Nah, setelah dari sini, baru deh aku mulai sembuh dari penyakit yang namanya (kalau gak salah) konjungtivitis vernalis. 

Tapi proses sembuhnya itu gak gampang lho, karena ternyata penyakit mataku itu timbul kalau alergiku kambuh. Padahal, alergiku itu banyak banget. Aku alergi sama dingin, debu, bunga, daun, dan rumput-rumputan (sumpah deh aku gak ngarang). 

Jadi susah kalau mau ngapa-ngapain :(

Selain ke dr. Habibah, aku juga sempat pergi ke dokter di kota tempat-tinggalku dulu (Sorowako). Nah, di sini, untuk pertama-kalinya aku ngerasain tetes mata yang astaganaga-pedih-banget-mataku-nyaris-kebakar! Pas mataku ditetes sama obat itu, beneran deh aku nangis sambil teriak-teriak karena panaaaaas banget. 

Tapi, untungnya, penyakitku itu hilang dan lama-lama sembuh. 

.

Setelah itu, penyakit mataku 'dateng-pergi-dateng-pergi' gak jelas karena alergi. Yang paling parah itu waktu aku kelas 3, karena pas tidur, mataku selalu berair (jadi kayak nangis) dan pas bangun, aku gak bisa buka mata karena (maaf) kotoran mataku banyak banget dan mengering. Kalaupun mataku udah bisa kebuka, pandanganku buram banget. Untungnya, ini cuma berlangsung beberapa minggu. Habis itu, sembuh lagi.

.

Nah, pas kelas 6, tiba-tiba mataku burem lagi. Gejalanya nyaris sama kayak yang kelas 3, tapi lebih parah karena aku bahkan gak bisa buka mata kalau lagi di tempat outdoor. Silau banget!

Akhirnya aku terpaksa ke Makassar lagi (for your information, jarak antara Sorowako - Makassar itu sekitar 600 km lebih) di waktu-waktu yang seharusnya aku pakai untuk persiapan UAS, UN, dan test masuk SMP favorit. 

Nah. Seperti yang bisa diduga, penyakit itu datang lagi. Tapi kali ini lebih parah karena ngeganggu retina. Dan kata dokterku, ini udah lumayan bahaya karena penyakit itu mulai nyerang saraf mataku. Kalau aku gak mau diobatin (dan tetap maksa diri sendiri untuk buka mata di siang bolong), aku bisa buta. 

Sumpah ngeri banget. 

Akhirnya, aku ngejalanin pengobatan mata yang panjaaaaaang banget di sela-sela kesibukan UAS/UN. Nyaris segala hal kukorbanin supaya aku sembuh (waktu, biaya, dan termasuk rencanaku untuk masuk SMP favorit di Jawa) karena aku takut buta. Bahkan, aku rela mataku diperban -_-

.

Setelah pengobatan itu sembuh, penyakitku sering 'dateng-pergi-dateng-pergi' lagi. Di antaranya: waktu aku kelas 8, waktu aku kelas 9 (pas waktu persiapan UAS/UN lagi), dan waktu aku kelas 10 (sekarang). Gejalanya selalu sama: kalau kelopak mata atasku dibuka, pasti ada semacam bintil-bintil gitu. 

Akhir-akhir ini, penyakitku kambuh lagi, jadi, barusan, aku pergi ke klinik dokter mata. 

Dokter yang kutemuin kali ini baik banget. Namanya dr. Enda. Beliau berkerudung dan ramah. Baru kali ini aku ke dokter dan pas masuk ke ruangannya, aku disambut dengan sapaan: "Assalamualaikum..."

Aku senyum sambil njawab, "Wa'alaikumsalam, Dok..."

dr. Enda balas senyum. "Wah, sendiri aja nih? Hebat!" 

"Hehe, iya, Dok." 

Setelah itu, sebelum meriksa mataku, Beliau nanya-nanya tentang namaku, alamatku, orangtuaku di mana, sekolahku, dan riwayat penyakitku. Setelah kujelasin panjang-lebar, baru deh dia ngomong dengan penuh senyum: "Ya udah, ayo langsung saya periksa." 

"Iya, Dok." 

Beliau pun ngajak aku ke sebuah alat. Di sini, mataku diperiksa pakai senter, dan Beliau ngeliat semacam  (maaf) 'lendir' yang nutupin korneaku. Makanya mataku buram (padahal nggak minus dan nggak silindris). "Oh, ini ada lendir nih...."

"Iya, Dok." 

Terus Beliau buka kelopak mata atasku. "Maaf ya dek, saya buka dulu...."

"Silakan, Dok." 

Terus, karena dia melihat bintil-bintil besar yang ngeluarin lendir di sana (seperti yang selalu dokter lain lihat), dia ngomong dengan kaget, "Ya Allah......"

Aku (yang gak tahu harus ngomong apa) bales, "Iya, Dok...." (Sumpah dodol banget).

Beliau gak komentar apa-apa lagi, terus lanjut meriksa. Setelah selesai, Beliau ngajak aku kembali ke meja kerjanya. 

Penjelasan dr. Enda bener-bener rinci. Beliau ngejelasin ulang tentang hal-hal yang selalu dokter lain jelasin ke aku setiap aku berobat, tapi lebih panjang. "Penyakit ini adalah penyakit konjungtivitis. Setiap penderita mengalami gejala yang berbeda-beda. Ada yang sakit di bagian bawah mata, di mata itu sendiri, dan lain-lain. Kalau Adek, Adek sakitnya di kelopak mata atas. Kalau kelopak mata atas Adek dibuka, bakal ada bintil-bintil yang melingkar dan menghasilkan semacam lendir yang mengganggu penglihatan. Kalau dikasih obat, insya Allah gak berbahaya kok." 

Aku nanya, "Obatnya gimana, Dok?" 

Nah. Di sini nih 'ngerinya'.

Kukirain Beliau hanya bakal ngasih tahu aku tentang obat apa yang harus kukonsumsi secara singkat, tapi ternyata Beliau ngomong sesuatu yang bikin aku kaget, "Sebelumnya, maaf ya, Dek. Obat yang harus saya kasih ini... hmm, agak berbahaya. Jenisnya adalah steroid. Obat ini gak boleh dipakai terus-menerus atau permanen, karena mempermudah mata untuk terkena katarak kalau Adek udah dewasa nanti." 

Aku melongo. "Hah?" 

"Iya Dek, katarak," kata dr. Enda. Suaranya jadi lebih lembut. "Tapi konjungtivitis ini harus diobati secepatnya sebelum merusak retina. Kalau retina dan saraf udah kena, itu sudah bahaya. Bisa menyebabkan kebutaan. Makanya, saya kasih obat ini sekarang. Tapi obat ini hanya dipakai kalau matanya masih sakit aja, ya." 

"...hah?" 

"Jangan khawatir," kata dr. Enda sambil senyum dan nulis resep di secarik kertas. "Teknologi untuk penyakit mata seperti katarak udah maju, kok. Insya Allah gak bakal terjadi hal-hal yang gak diinginkan." 

"...."

"Penyakit konjungtivitis ini emang sering, tapi untuk kasus kayak Adek... sepertinya... jarang di Indonesia," kata dr. Enda (sumpah ini dr. Enda sendiri yang ngomong). "Saya pernah dapat kasus kayak gini 7 bulan yang lalu. Itu yang terakhir kali." 

"...............o-oke, Dok."

Untungnya, setelah itu, dr. Enda ngasih motivasi, "Tetap semangat ya, Dek. Pasti bisa sembuh kok asal disiplin dan bener-bener jaga kesehatan diri. Gak usah patah-semangat. Ini udah ketentuan Tuhan. Kita hanya bisa tawakal dan percaya sepenuhnya sama Yang Maha Kuasa." 

.
.
.

Well, walaupun cukup 'ngeri', pertemuan dengan dr. Enda siang ini lumayan berkesan. Selain karena aku jadi tahu sesuatu yang dokter lain gak pernah jelasin ke aku, pertemuan ini juga (secara gak langsung) ngejelasin kalau: penyakit itu bukan musibah. Penyakit itu anugerah. 

.

Aku pernah baca tentang seorang anak kecil yang didiagnosis menderita kanker langka. Setelah dengar penjelasan dokter, orangtuanya shock dan sedih banget, tapi anak itu tetap gembira walaupun dia harus ngejalanin kemoterapi dan pengobatan lainnya yang masya Allah sakit banget. Bahkan, malah anak itu yang ngehibur orangtuanya. Anak itu ngomong: "Gak usah sedih, Ma, Pa. Tuhan ngasih aku penyakit ini karena dia mau dokter-dokter di seluruh dunia belajar tentang penyakit ini dari aku." 

Wow. Sumpah, aku kagum banget sama adek ini. Dia hebat, tegar, dan kuat banget! Respect for you, Dek! Siapa pun kamu, kalau kamu baca ini, aku yakin kalau kamu pasti bisa sembuh! Tetap semangat, ya! Semua orang sayang dan selalu nge-support kamu, kok! :')

.

Ya. Kita gak boleh sedih karena sebuah penyakit. Kita harus yakin kalau selalu ada alasan kenapa Tuhan ngasih kita penyakit itu. Mungkin Tuhan mau: (1) Kita sadar dan lebih ingat kepada-Nya (2) Supaya kita lebih menjaga kesehatan yang Dia kasih... 

...dan... 

(3) Menguji kita dan orang-orang terdekat kita, karena Dia tahu kita mampu. 

Intinya, kita harus tetap berpikir positif: Tuhan hanya memberikan penyakit ke orang-orang yang Dia anggap spesial (orang-orang yang menurut Dia kuat).
Karena Tuhan nggak akan ngasih cobaan ke hamba-Nya yang nggak mampu, kan? :) 

Comments

Post a Comment

Popular posts from this blog

Contact Me

About Me: The New Version

#1 Proses Novel "Inikah Rasanya Cinta"