Traveling: Pengalaman Jalan-Jalan di Sydney, Australia (7 Hari!)

Kembali lagi bersama Rani versi travel blogger (terpaksa; tadinya mau jadi vlogger yang nge-vlog saat traveling, tapi gagal karena gak bawa power bank. Ternyata susah juga cari colokan di Sydney). No problem, here it is: 


Review Traveling 7 Hari di Sydney, Australia!

Tanggal berangkat: 23 Desember 2023 (WIB time)
Tanggal pulang: 1 Januari 2023 (AU time)

Part 1. Background

Disclaimer: Kalau gak sabar pengen tahu background kenapa aku berangkat ke Sydney, skip aja bagian ini.

Sebenarnya, liburan kali ini adalah liburan yang sudah lama diwacanakan (oleh karena itu, nabungnya pun udah dari lama), tapi baru terjadi di tahun ini. Alasan kami memilih Australia adalah karena salah satu adikku udah lama tinggal di Sydney, Australia (note: Aku anak sulung dari tiga bersaudara. Adikku yang anak kedua yang tinggal di Sydney, sementara adik bungsuku di Indonesia). Dari dulu, keluargaku mau nengokin dia, tapi gagal terus. Ada aja alasannya. 

Liburan kali ini pun seharusnya berlima (aku, dua adikku, dan orangtua), tapi karena ada hal mendadak yang di luar kendali semua orang, akhirnya yang berangkat hanya aku dan adik-adikku. Kalau boleh nambah curhat di sini, sebenarnya aku pun rada ragu untuk berangkat dan pengen dimundurin aja. Aku lagi cukup sibuk di pekerjaan, jadinya nggak sempat siap-siap dengan proper

Tapi, karena tahun depan kemungkinan gak ada waktu, akhirnya aku tetap berangkat.

Part 2. Persiapan Sebelum Keberangkatan

Seperti yang (mungkin) udah kalian baca di Part 1, aku nggak persiapan dengan proper. Oleh karena itu, kalau ternyata ada persiapan yang kelewatan atau kurang worth it untuk diikuti, mohon maaf ya!

Berikut adalah list-nya:

  • Visa: Diurus oleh Bapakku kira-kira tiga bulan sebelum tanggal keberangkatan (23 Desember 2023), jadinya maaf, aku kurang tahu detailnya. Detail yang kutahu adalah jenis visanya = Visa visitor biasa, multiple entry, 30 hari, berlaku maksimal sampai tiga tahun setelah visa dikeluarkan. Visa jenis ini lumayan banget karena aku masih bisa balik ke negara ini sampai visanya hangus.
  • Tiket Pesawat: Rute Jakarta - Sydney (direct) naik Garuda Indonesia, di mana perjalanannya memakan waktu tujuh jam. Tiket ini sudah dibeli dari kira-kira tiga bulan sebelum tanggal keberangkatan (mirip dengan visa). Untuk harga pun sejujurnya aku kurang tahu, tapi range-nya seingatku ada di 4 juta - 10 juta untuk kelas Ekonomi. 
  • Akomodasi. Aku baru book akomodasi di satu minggu sebelum tanggal keberangkatan. Untuk bagian ini, aku nggak deskripsikan di sini ya, guys (kalau mau tahu tempatnya, DM aku di Instagram!). Tapi, untuk pembaca-pembaca yang penasaran dan pengen tahu standar penginapan di Sydney: Aku dapat rate 1 juta/hari (untuk 3 orang) di daerah North Sydney. Dari daerah ini, aku cuma butuh 1x naik bis untuk ke CBD (tengah kota Sydney). Tips Rani the Blogger #1: Sesuaikan dengan jumlah orang yang berangkat (dan siapa yang menanggung biayanya, ya!). Kalau berangkat bareng sahabat (dan bayar masing-masing), hostel adalah pilihan yang oke (range: 600rb rupiah ke atas, bisa jadi lebih murah kalau booking-nya dari sebulan+ sebelumnya). Tapi, kalau berangkat bareng keluarga (3 - 5 orang), booking hostel bisa jadi lebih mahal karena hitungannya per-bed
  • Bagasi. Aku hanya packing baju untuk tujuh hari dan beberapa perlengkapan lain, yang ditotal-total nggak mencapai 10 kilogram. Tips Rani the Blogger #2: Pastikan kalian membeli tiket pesawat yang udah include bagasi, ya! Beberapa maskapai menggunakan trik marketing "harga murah" di platform pembelian tiket pesawat, tapi kalau dilihat-lihat, kita harus beli bagasinya terpisah. Jangan sampai nggak teliti, apalagi kalau sampai gak bisa refund!
Itu aja yang krusial. Sisanya masih bisa diurus setelah sampai Sydney (lanjut ke part 3!)

Part 3. Ketika Tiba di Bandara

Pesawatku berangkat dari Jakarta jam 11.45 malam WIB, lalu sampai di Sydney pukul 10 pagi (waktu Australia). Terdengar lama, memang, tapi kalau menghitung perbedaan waktu Sydney - Jakarta yang mencapai empat jam, sebenarnya durasi perjalanan pesawat hanya tujuh jam. 

Di perjalanan, aku duduk bareng adik bungsuku (sementara adikku yang kedua/tengah udah ada di Sydney, karena memang tinggal di Australia). Aku di aisle seat, adikku di window seat. Menurutku, lumayan sulit untuk tidur enak selama perjalanan ini. Tapi, aku masih bersyukur karena ada in flight entertainment, di mana aku menyempatkan diri nonton The Great Gatsby. 

Filmnya oke btw, 8.9/10. 

Walaupun pesawatnya landing dengan "kurang mulus" karena alasan cuaca, aku dan adik bungsuku tiba dengan selamat (ngomong-ngomong, Sydney hujan rintik-rintik saat itu, di mana suhu di luar kira-kira ada di 20 derajat Celcius). Kami langsung jalan mengambil bagasi, lalu keluar menuju tempat penjemputan. Di situ, adikku yang tengah/kedua udah nunggu. 

Rada ribet, ya, ketika bawa-bawa "adik". Setelah ini, aku akan minimalisir penjelasan tentang adik-adikku, deh.

Lanjut.

Setelah tiba di bandara, inilah yang kulakukan:

  1. Beli SIM Card Australia. Aku beli 25 dollar (250.000) untuk 60 GB selama 30 hari (beli di bandara, sekitar 10 meter dari McDonalds). Tbh, biasanya aku gak pernah beli SIM Card di luar negeri (hanya bergantung ke wifi). Tapi, di Sydney, kalau kalian berencana stay lama dan menggunakan transportasi umum bis, sebaiknya beli SIM Card. Alasan utama: Bis di Sydney agak membingungkan karena nggak ada pengumuman nama stasiun (jadi kita harus hapal ATAU track sendiri di Google Maps, sementara Google Maps butuh internet). Tapi, jangan khawatir, train atau mode transportasi umum lainnya masih menunjukkan nama stasiun, kok! Persis seperti MRT Jakarta. 
  2. Beli kartu Opal. Kartu ini mirip dengan e-money, di mana dia bisa digunakan untuk semua mode transportasi (bis, kereta, dan bahkan ferry!). Belinya tepat di depan konter SIM Card, kok, jadi nggak perlu jalan ke mana-mana. Ngomong-ngomong, aku pernah iseng tap pakai kartu ATM Jenius (VISA card), dan bisa-bisa aja, sih. Terserah kalian sepertinya kalau mau pakai VISA atau beli Opal. Tips Rani the Blogger #3: Saat di bandara, sebaiknya kartu kalian udah ada isinya minimal 60 dollar (600 ribu rupiah). Perjalanan bis normal emang cuma memakan 2 - 4 dolar, tapi, saat keluar (dan masuk bandara), kita akan otomatis di-charge 20 dolar. 
Lho, kenapa? Aku juga nggak tahu. Sepertinya, itu memang aturan pemerintah Sydney. Tapi, waktu aku tanya ke temanku yang lagi WHV di sini (kerja menggunakan Work Holiday Visa), katanya 20 dolar itu cuma di-charge seminggu sekali (catatan: Kami bisa jadi salah, guys, jadi jangan terlalu percaya. Yang jelas, kalau mau liburan, isi kartu Opal agak banyak aja). 

Setelah membeli kartu Opal dan SIM Card, aku dan adik-adikku memutuskan naik kereta lebih dulu ke Central, lalu pesan Uber dari sana. Menurut adikku, cara itu 1) lebih murah dibanding naik Uber langsung dari bandara, tapi 2) lebih mahal dari naik bis, tapi lebih praktis (karena kita repot bawa-bawa koper, apalagi di luar lagi hujan).

Biaya Ubernya berapa dari Central ke tempat tinggalku (North Sydney)? 40 dollar, alias 400 ribu rupiah. Tips Rani the Blogger #4: Jika kalian adalah kaum mendang-mending yang otaknya secara otomatis mengonversi dolar ke rupiah (diikuti perasaan sedih dan menyesal), sebaiknya hindari Uber. Kalau nyasar pas jalan-jalan dan butuh banget Uber, temanku menyarankan untuk pakai Didi (kompetitor Uber) karena harganya lebih murah (lebih murah sekitar 5 - 15 dollar doang, sih, tapi tetap lumayan). 

Lanjut. Singkat cerita, kami tiba di penginapan. 

Part 4. Hari Pertama - 24 Desember 2023

Di hari ini, harusnya aku dan adik-adikku jalan bareng. 

Tapi, belum apa-apa, kami udah berantem, hahaha. Jadinya, kami jalan sendiri-sendiri, deh. Tapi, nggak apa-apa. Dipikir-pikir lagi, aku dan adikku punya selera berlibur yang beda banget. Contohnya? Sepengamatanku (maaf kalau salah), adikku tertarik dengan tourist attraction yang terkenal, seperti Sydney Opera House. 

Aku pribadi berpikir bahwa Sydney Opera House, sebagai public area, harusnya bisa diakses kapan pun kalau cuma mau foto-foto atau bersantai di taman dekatnya (kecuali kalau mau nonton pertunjukan opera yang memang rutin diadakan, ya harus ikut jadwal, ya). 

Jadi, mengingat tanggal 24 Desember adalah hari terakhir sebelum hari natal, kupikir cukup disayangkan kalau aku ke Sydney Opera House atau tempat lain. Akhirnya, aku pun memutuskan untuk berwisata ke tempat yang memang cuma ada saat Natal: Nonton choir di Martin Place dan nonton light show St Mary Cathedral, sekaligus mampir ke pasar natal!

Note: Kalau teman-teman nggak bepergian saat periode Natal sepertiku, bisa skip bagian ini, ya. Lanjut lompat aja ke Part 5!

Tempat Pertama: St Mary Cathedral (+Hyde Park & Pasar Natal)

Biaya = 0 rupiah.

Sepengetahuanku, katedral ini cukup sering jadi tempat wisata turis, termasuk di luar bulan Desember. Ketika aku tiba di sana sekitar jam lima, ada plang di bagian depan katedral: "Silakan masuk, ada banyak benda menarik yang kamu bisa lihat, tapi mohon jangan mengganggu saat misa (red: Ibadah umat Katolik) sedang berlangsung."

Berbekal plang itu, aku berniat mau masuk katedralnya untuk lihat-lihat. Tapi, sayangnya, saat itu misa lagi berlangsung dan katedral lagi ditutup untuk umum (hanya dibuka untuk orang-orang yang ingin beribadah). Aku cukup maklum, karena saat itu katedralnya ramai banget! Pasti mengganggu, sih, kalau turis masuk lihat-lihat saat misa berlangsung. Di H-1 Natal, pula!

Akhirnya, aku memaksakan diri untuk puas dengan duduk-duduk sebentar di Hyde Park (taman di depan St Mary Cathedral, tempat patung Archibald Memorial Fountain berdiri), lalu mampir ke pasar natal di belakang St Mary Cathedral. 

Mampir ke pasar natal lokal (jika ada) memang udah jadi tujuan utamaku. Sedikit nostalgia, dulu, saat ikut program exchange ke salah satu negara lain, aku cukup sering mampir melamun di pasar natal (bulan Desember doang, ya). Kenapa? Well, bukan karena tertarik, tapi karena kebetulan aku sedang nunggu bis pulang sekolah (dan halte bisnya dekat situ), aku jadi nggak punya kegiatan lain untuk dilakukan selain jalan-jalan di sana.

Nggak nyangka, ternyata memori sederhana itu bikin aku kangen banget! Akhirnya, aku pun mengitari pasar natal lokal itu dengan semangat. Ada beberapa stand bisnis lokal yang menarik, tapi yang kuingat adalah stand face painting dan makanan, termasuk ginger bread dan Christmas cake. 

Setelah puas jalan-jalan, aku duduk bersila di depan panggung penyanyi katedral selama 2 jam (dari jam 6 sore sampai jam 8 malam), memperhatikan mereka nyanyi. Suasana ramai banget! Ada beberapa anak yang joget-joget di depan panggung, juga turis maupun warga lokal yang lagi jalan-jalan. Ramai, tapi fun

Tepat jam 8 malam (waktu di mana matahari terbenam di Sydney bulan Desember), penyanyi katedral pamit, lalu light show dimulai. 

Aku cuma nonton sekitar sepuluh menit, lalu aku jalan kaki ke tujuan keduaku, yaitu Martin Place. Sayang, ya? Iya, tapi mau gak mau aku harus pergi karena choir di Martin Place berlangsung di waktu yang sama dengan light show. Supaya bisa nonton dua-duanya, aku jadi cuma nonton setengah-setengah!

Part 4.2. Tempat Kedua: Martin Place

Biaya masuk = 0 rupiah.

Sebenarnya, Martin Place itu cuma salah satu public place biasa, sih. Letaknya pun dekat dari St Mary Cathedral, cuma butuh sepuluh menit jalan kaki (1 kilometer). Tapi, di saat periode Natal, ada pohon natal besar yang dipajang di sana dan ada choir setiap malam. Cukup ramai!

Nggak banyak yang bisa kuceritakan di sini karena memang aku cuma nontonin orang-orang aja. Nggak ada pengalaman apa pun selain sedikit foto-foto, tapi untuk aku yang suka dengan liburan seperti ini (melebur dengan lokal maupun berkenalan dengan turis lain), dua tempat ini cukup membekas sebagai tempat pertama yang kukunjungi di hari pertamaku (dari bandara ke hotel, lalu langsung ke sini!). 

Tips Rani the Blogger #5: Ini tips yang cukup klise, tapi aku menyarankan teman-teman untuk mulai mengidentifikasi tipe liburan masing-masing. Ini cukup penting karena kalau kalian mengikuti itinerary orang lain yang tipenya beda, belum tentu bisa fully enjoy the moment. 

Tips ini berhubungan erat dengan part selanjutnya!

Part 5. Hari Kedua - 25 Desember 2023 (Manly Beach, Shelly Beach + Ferry Menuju Sydney Opera House)

Ketika kemarin jalan kaki ke Martin Place dan St Mary Cathedral (tanggal 24 Desember 2023), aku udah tengak-tengok kalau toko-toko mulai memasang pengumuman libur di hari Natal. Oleh karena itu, di hari kedua ini, aku udah memantapkan diri untuk pergi ke public place lain aja. 

Pilihanku jatuh ke Manly Beach, simply karena 1) cuaca lagi cerah banget (bukan cerah yang nanggung), 2) bisnya satu arah dari tempat tinggalku, walaupun jauh (30 menit naik bis), dan 3) pantainya dekat dengan kedai kopi yang udah kutargetkan (ini alasan nomor satu!). Kedai kopi lokal ini bernama Barefoot Coffee Traders, di mana kata Google, biji kopi dia oke banget! 

Pertama-tama, sorry, aku disclaimer dulu: Ketika memutuskan jalan-jalan di Sydney, aku udah punya misi tersendiri untuk nyobain kopi-kopi yang katanya paling enak (menurut Google, bukan menurut warga lokal... aku belum kenal siapa-siapa soalnya). Rada boros, sih, tapi kalau dipikir-pikir, aku pun nggak punya tujuan lain dan aku pun sudah nabung untuk ini.

Ya sudah, hehehe. 

Perjalanan bis kuhabiskan dengan melamun tentang kedai kopinya, juga single espresso seperti apa yang akan kucoba. Sayangnya, waktu sampai... tutup! Padahal di Google, statusnya sih buka. Ketika aku lihat papan plangnya, kedai kopinya akan tutup sampai 2 Januari (di mana aku udah pulang). Tips Rani the Blogger #6: Kalau liburan di perayaan-perayaan besar, sebaiknya jangan terlalu percaya Google Maps. 

Tempat Ketiga: Manly Beach



Biaya masuk = 0 rupiah.

Aku pun bergerak menuju Manly Beach. Untungnya, sekitar 15 - 20 meter dari pintu masuk Manly Beach, aku ketemu satu kedai kopi lokal, yang branding-nya adalah Mediterania Coffee. Situasi saat itu cukup ramai, tapi aku nggak tahu apakah karena enak atau karena dia satu-satunya kedai kopi yang buka. 



Aku akhirnya memutuskan pesan 1 Cappuccino (yang datangnya lama banget, sampai orang-orang ngeluh dan barista-baristanya kalang kabut), tapi kutunggu aja. Proses menunggu ini cukup seru karena aku dapat kesempatan merhatiin orang-orang sekitar pada ngomongin apa. Lalu, aku langsung menuju Manly Beach.

Tadinya, aku pengen menghabiskan 2 jam aja, tapi rasanya sayang. Udah lama banget aku gak ke pantai, dan Manly cukup menyenangkan. Apalagi, Manly Beach terhubung dengan dua pantai lain, yaitu Shelly dan Freshbay. Aku cuma main ke Shelly, sih, Freshbay cuma numpang setengah jalan. 

Aku menghabiskan 1 jam duduk di pasir Manly Beach sambil main ombak (ombaknya cukup kencang), lalu jalan kaki menuju Shelly.

Untuk pergi ke Shelly, kita perlu melewati semacam jalan berukuran sedang (aspal, kok) yang letaknya di atas karang gitu. Jalan itu melewati beberapa rumah tepi pantai (Australia Crazy Rich), jadi aku cukup terhibur, sih, mengamati rumah-rumah itu. Truly an experience.

Selain itu, kita juga bisa melihat beberapa bebatuan karang besar (bisa duduk di atas situ) dan ada ocean swimming pool! Ocean swimming pool ini semacam kolam renang, tapi (sepertinya) airnya berasal dari pantai. Kalau kulihat di Google, ada beberapa blog yang menyebutkan tempat ini sebagai "hidden gem"! 

Kalau kucek sekilas, berenang di sini nggak membutuhkan biaya apa pun. Tapi, kebanyakan yang berenang di sana adalah anak-anak. Seandainya aku bawa baju renang, aku akan berenang, sih. 

Tempat Keempat: Shelly Beach

Biaya masuk = 0 rupiah.

Setelah berjalan sekitar 15 menit, akhirnya aku sampai di Shelly Beach. Shelly ini pantai yang ukurannya lebih kecil, sekilas mirip danau kecil atau bahkan kolam. Dia nggak punya ombak, dan pasirnya lebih kasar (tipikal pasir yang kecampur dengan patahan kerang). Kalau kuperhatikan sekilas, pengunjung di sini kebanyakan keluarga yang punya anak kecil. Aku pribadi suka, sih, di sini.

Aku menghabiskan sekitar 45 menit di sini berjemur, lalu aku balik lagi ke Manly Beach. Di sekitar Manly Beach, ada beberapa restauran (termasuk seafood). Aku makan siang, lalu aku balik lagi berjemur di Manly Beach sampai jam 5 sore. 

Tempat Kelima: Naik Ferry ke Sydney Opera House 



Biaya ferry = 10 dolar (kira-kira).

Jam lima sore, hujan rintik turun. Manly jadi dingin banget. Akhirnya, aku memutuskan pulang. Tadinya aku mau naik bis atau kereta, tapi setelah aku memperhatikan peta di stasiun kereta, ternyata Manly terhubung dengan Sydney Opera House (Circular Quay) menggunakan ferry



Kenapa gak sekalian ke sana aja naik ferry?

Tanpa pikir panjang, aku langsung mengantre ferry. Biayanya kalau nggak salah adalah 10 dollar sekali jalan (100 ribu, tapi nanti cek ulang ya kalau mau... waktu itu antreannya lagi ramai, jadi aku nggak terlalu memerhatikan). 

Perjalanan ferry yang menghubungkan Manly dengan Circular Quay memakan waktu 20 menit. Ada dua deck ferry yang bisa kita pilih, yaitu bagian atas (upper) dan bagian bawah deck (lower). Tempat favoritnya di mana? Tentu saja di atas, karena pemandangan sekitar lebih jelas. Tapi, cons-nya (sepertinya) lebih dingin dan rebutan (jadi harus cepet-cepetan naik). 

Aku sendiri memilih di bawah karena lagi malas rebutan.

Setelah sampai, aku langsung turun, lalu jalan ke Sydney Opera House. Sebenarnya aku nggak terlalu excited karena cuaca buruk, tapi aku tetap memaksakan di sana. Turns out, saat aku lagi mau selfie, ada seorang bapak (lebih tepatnya kakek, sih), menawarkan untuk bantuin foto. Ternyata bagus banget hasil fotonya!

Aku memuji, lalu kakek itu mengajakku kenalan. Nama beliau Yousef, dari Afghanistan, tapi udah jadi warga negara Australia dan tinggal di Australia selama 30 tahun.

Note: 
Cerita di bawah akan lebih personal, bukan itinerary perjalanan. Kalau nggak tertarik membaca bagian ini, boleh skip ya!

"Do you want me to walk around with you?" tanya dia. Saat itu, matahari udah setengah terbenam. Maghrib lah, ya.

Awalnya, aku agak ragu. Gimana kalau nggak aman? Tapi, di pikiranku, selama aku dan beliau hanya jalan-jalan di tempat yang ramai, pasti aman. Akhirnya kami jalan keliling halaman Sydney Opera House, lalu kami duduk di bangku taman, menghadap ke Sydney Harbour Bridge. 

Di sini, kami ngobrol-ngobrol. Dia banyak cerita tentang keluarganya, termasuk anaknya yang masih muda (lebih muda dari aku) dan keluarga besarnya. Turns out, keluarganya pinter-pinter banget, ada yang jadi dosen di Amerika Serikat.

Di ujung sesi ngobrol, aku dan Yousef tukeran uang untuk kenang-kenangan. Aku ngasih dia sepuluh ribu rupiah, lalu beliau kasih aku koin ditambah uang 10 dolar Australia (sepuluh kali lebih besar!). Tentu saja aku menolak, lalu akhirnya kami tukeran kontak. Tipikal kakek pada umumnya, Yousef agak gaptek. Dia bahkan nggak pakai WhatsApp, jadi kami hanya bisa SMS atau call

"Call me whenever you need company," kata Yousef. Aksen Australianya terdengar sekilas di antara aksen Afghanistan yang belum hilang. "Kenalin aku juga sama adik-adik kamu kalau kalian lagi jalan bareng, ajak aja."

"I will."

Part 6. Hari Ketiga - 26 Desember 2023 (Oxford Street - Artificer + Ampersand Bookstore + Bondi Beach)

Hari ketiga, aku masih mengawali hari dengan menjalani misiku nyobain kopi paling enak. Kopi kali ini terletak di daerah Surry Hills (lebih selatan dari daerah city), nama kedainya Artificer. Ada dua alasan kenapa aku mau ke sini: 1) Dia hanya jual kopi (fokus ke kopi > berarti penghasilan dari kopi sudah cukup untuk revenue cafe > berarti enak!), dan 2) Setelah aku cari lebih detail di Google, Artificer dekat dengan Ampersand Bookstore, yaitu toko buku bekas yang juga menjual makanan dan minuman. 

Oke, kita sekalian ke dua tempat itu!

Perjalanan menuju Surry Hills kulakukan dengan menaiki dua bis (transit satu kali), lalu aku turun di daerah Oxford Street. Begitu turun, aku sedikit kaget (kaget yang netral, bukan kaget dengan makna/emosi tertentu, ya) karena banyak ornamen warna pelangi di setiap sudut, bahkan termasuk juga zebra cross-nya.

Interesting.

Tempat Keenam: Artificer Coffee



  • Biaya kopi = 10 dolar (sekitar 100 ribu rupiah) untuk 2 kopi. Standar kopi di sini memang segitu, so oke, 8/10. 
  • Rasa = 8/10. 
  • Suasana = 8.5/10 (ramai, tapi cukup autentik, jadi aku suka. Sayangnya, tempatnya agak kecil dan tempat duduknya terbatas. Hampir dipastikan selalu ada pengunjung yang berdiri atau duduk di trotoar karena gak kebagian kursi).
Oxford Street, daerah tempat Artificer berdiri, pagi itu sepi banget. Aku jalan kaki melewati perumahan kecil yang lumayan rimbun, lalu setelah jalan kaki selama 5 - 10 menit, aku sampai di Artificer. Walaupun mataku rabun jauh, aku langsung tahu kalau itu kedai kopinya karena 1) warna bangunannya didominasi orange, jadi mencolok, dan 2) ramai banget! Kontras dengan situasi sekeliling yang sepi, kedai kopi itu didominasi warga lokal yang menikmati pagi. Ada yang baru selesai olahraga, ada yang datang ngobrol bareng temen, ada juga yang bawa anjing.




Ah, suka banget!

Aku masuk ke dalam bangunannya, ngantre sebentar, lalu langsung disapa oleh baristanya. Baristanya punya wajah yang oriental dan ramah, seperti selalu senyum. "Hi, nice to meet you. What do you want for coffee today?"

"What's your best seller?"

"What do you like?"

Nice one. Aku suka ketika barista melempar pertanyaan balik seperti ini lebih dulu, walaupun mungkin ujung-ujungnya dia akan jualan. 

Aku memutuskan untuk memilih cappuccino dulu (without chocolate sprinkle supaya lebih kerasa) seharga 5 dolar. Kopi itu kunikmati sambil duduk di bagian outdoor (di kursi tanpa sandaran, punggungku menempel ke dinding cafe), di samping dua orang warga lokal yang (kayaknya) lagi PDKT. Hahaha. 

Cappuccino-nya enak, tipe yang kusuka. Creamy-nya nggak membuat enek maupun meninggalkan after taste yang buruk, dan kopinya juga lumayan nendang dari segi rasa (gurih), walaupun menurutku akan lebih enak kalau bisa lebih "gurih" lagi. Oke, 8/10. 

Sambil menikmati cappuccino, aku google best-selling kopi di tempat itu, dan aku ketemu batch brew. Akhirnya aku memesan gelas kopi keduaku, tapi kali ini aku takeaway (karena tempatnya udah penuh, dan orang-orang yang berdiri langsung rebutan kursi begitu aku berdiri, hahaha). 

Enak!

Sambil sesekali minum kopi panas itu, aku jalan kaki menuju tempat kedua, yaitu Ampersand Bookstore. 

Tempat Ketujuh: Ampersand Bookstore

Biaya tea = 4 dolar. 

Biaya beli buku = 17 dolar (dua buku)

Ampersand Bookstore adalah cafe sekaligus toko buku rekomendasi Google yang juga terletak di daerah Oxford Street, kira-kira 15 menit jalan kaki. Ketika pertama kali sampai, aku belum ngeuh kalau toko buku ini menerima jual-beli buku bekas. 

Karena sudah minum dua gelas kopi sebelumnya, di sini aku cuma memesan satu gelas peppermint tea, lalu aku duduk di lantai satu (harganya lupa, kalau gak salah 4 dolar, sekitar 40.000 rupiah). 

Sebagai informasi, Ampersand terdiri dari 3 lantai toko (termasuk basement) yang semuanya penuh dengan buku-buku lama. Bukunya sendiri, menurutku, sangat lengkap kalau dibandingkan dengan toko buku bekas lainnya. Aku bisa menemukan buku-buku favoritku dari segala range, mulai dari Harry Potter, Roadh Dahl, bahkan sampai buku-buku fiksi populer. 

Sambil minum teh, aku "ngintip" buku berjudul Intimacies dari Katie Kitamura, penulis yang baru sekali itu kubaca bukunya (aku baca setengah buku doang; bukan karena gak bagus, tapi karena gak enak... aku udah yakin gak akan beli buku ini). Setelah tehnya habis, aku lanjut menuju lantai satu untuk lihat buku-buku yang lebih tua terlebih dahulu, lalu naik ke lantai tiga untuk buku-buku bekas yang lebih populer. 

Di Ampersand, aku beli dua buku setelah melihat-lihat selama 2 jam: 1) Satu buku visual hard cover tentang Australia (tipe buku favorit mamaku, jadi ini untuk oleh-oleh) dan 2) satu novel bekas berjudul The Tenth Circle dari Jodi Picoult (penulis My Sister's Keeper). Novel The Tenth Circle ini niatnya kubaca di taman di tanggal 31 Januari nanti, di mana aku berencana nonton fireworks; sambil nunggu fireworks, sambil baca buku. 

Kalau kulihat dari cover-nya, total dua buku ini adalah 25 dolar (250.000 rupiah). 

Aku membawa dua buku itu ke kasir. "Hi, I'd like to buy these." 

"Sure!" 

Mbak kasirnya menghitung total buku, lalu tahu-tahu keluar angka... 17 dolar (170.000 rupiah). "17 dollar please."

"Are you sure the amount is correct?" tanyaku ragu. Kok tahu-tahu murah? "10 plus 15 should be 25."

"We have 30% sale today."

Ternyata, di bagian depan kafe, ada plang "30% sale" yang gak sempat kubaca! Duh, seneng banget! Di titik ini, jujur aku belum tahu kalau hari itu adalah Boxing Day, di mana banyak toko di Sydney berlomba-lomba bikin sale; termasuk juga Ampersand Bookstore. Cerita tentang Sale Boxing Day akan kuceritakan di part selanjutnya, ya. 

Setelah itu, aku melihat Google Maps. Ternyata, Surry Hills ini adalah titik tengah antara tempat tinggalku dan Bondi Beach! 

Kenapa gak sekalian ke sana? 

Akhirnya, berbekal bis sekali jalan, aku berangkat menuju Bondi Beach secara spontan. Perjalanan menuju Bondi Beach, kalau gak salah, memakan 5 dolar (50.000 rupiah). 

Tempat Kedelapan: Bondi Beach (baca: Bondai).

Biaya masuk = 0 rupiah.

Perjalanan ke Bondi Beach memakan waktu 30 menit, dan bis penuh banget. Untung aku dapat tempat duduk. Aku sempat berpikir Bondi gak akan terlalu menarik (karena aku udah puas banget main di Manly Beach sebelumnya, dan hari ini agak mendung), tapi ternyata aku salah!

Bondi Beach, sepertinya, punya warna pantai yang lebih biru dibanding Manly (kalau gak salah, ya). Aku duduk-duduk sebentar di pasirnya, lalu memutuskan untuk jalan-jalan di pertokoan sekitar. Saat itu, sekitar jam 2 siang.

Interestingly, pertokoan di sekitar Bondi Beach (menurutku) lebih menarik dari Manly. Salah satu toko yang menarik perhatianku adalah Get Sashimi, di mana pagi hari sebelum aku ke Artificer, Get Sashimi masuk ke FYP TikTok-ku! Varian sashimi-nya beragam, termasuk juga sashimi with strawberry dan raspberry yang (seingatku) belum pernah kulihat di Indonesia. 

Sebenarnya, sampai tanggal 25 Desember, kalau gak salah Bondi itu punya Christmas Seafood Market. Tapi, aku nggak datang. 

Singkat cerita, aku beli 3 potong sashimi, lalu lanjut makan di pinggir pantai. Not bad, dan bersih juga! Setelah itu, karena membaca buku (buku Jodi Picoult yang kubeli di Ampersand, niatnya kucicil duluan) di pinggir pantai agak silau, aku pindah ke taman di pinggir pantai. Tamannya berbentuk seperti bukit, dan ada banyak keluarga yang piknik di sana.

Rasanya seger banget. Udah lama nggak membaca buku fisik di taman, apalagi sambil tiduran di rumput. Udara Jakarta yang lagi buruk-buruknya membuat aku selalu menghindari aktivitas outdoor. Happy banget bisa menghirup udara segar di sini!

Tapi, yang membuatku bener-bener happy adalah karena buku The Tenth Circle ini bagus banget secara premis. Aku gak bisa berhenti membaca, dan tahu-tahu, sepertiga buku udah habis. Additional note, sejauh ini, sepertinya ini adalah karangan Jodi Picoult favoritku (aku baru baca tiga novel doang, sih), walaupun secara alur cerita menurutku banyak bolongnya. 

Malamnya, aku janjian ketemu teman SMA-ku. Kita mau piknik di Royal Botanic Garden, yaitu taman di depan Sydney Opera House. Jam lima sore, mengingat Bondi Beach mulai dingin, aku pun pergi ke Royal Botanic Garden naik bis. Perjalanannya terasa jauh banget (ada kali, ya, 45 menit; aku lupa biayanya berapa, tapi karena lumayan jauh, kemungkinan sekitar 5 - 7 dolar), lalu aku jalan kaki ke taman. 

Tempat Kesembilan: Royal Botanic House

Biaya masuk = 0 rupiah.

Tamannya indah dah, cukup banyak juga yang duduk-duduk di sini, tapi sayangnya, tamannya tutup jam 8 malam. Aku dan temanku akhirnya pindah ke pinggir Sydney Opera House, ngobrol, lalu kami naik train ke daerah Chinatown. Kami makan malam di suatu restoran Thailand (mala pot), dan turns out enak. 

A good day!

PS: Malamnya, di hotel, aku akhirnya nyelesain novel The Tenth Circle. Aku terpaksa harus nyari buku lagi, nih, buat nunggu fireworks! 

Part 7. Hari Keempat - 27 Desember 2023 (ONLY Coffee + CBD)

Walaupun mulai pegal, aku masih semangat mengawali hari dengan kopi yang enak. Aku masih mengutamakan kedai kopi yang hanya menjual kopi (no croissant, pain au choc!), dan di Google, satu-satunya yang tersisa adalah ONLY Coffee. 

Dan, pas aku cek tempatnya di Google Maps, ternyata deket hotelku! Cuma 1 km!

Tempat Kesepuluh: ONLY Coffee

Biaya kopi = 10 dolar untuk 2 kopi.

Walaupun bisa dijangkau menggunakan bis, akhirnya aku memutuskan untuk jalan pagi aja. Letaknya di ruko, dan pas aku tiba di sana jam 9.30 pagi, tempatnya udah lumayan ramai. Baristanya ada dua, keduanya sepertinya berasal dari Jepang. 

"Hi, what's your best seller?" tanyaku. 

"What do you like?" 

Haha, this question again! I like it!

Agar bisa membandingkan, akhirnya aku memesan Cappuccino lagi sebagai kopi pertamaku. Kopinya enak, tapi ternyata aku lebih suka Cappuccino Artificer karena lebih gurih. 

Sambil minum kopi dan take video untuk vlog (yang akhirnya gak jadi!), barista utamanya ngajak aku ngobrol singkat (kebetulan customer lagi sepi sebentar... tapi habis itu ramai lagi, jadi dia harus kembali ke balik meja bar). Suka, deh, kalau baristanya ramah! 

Setelah kopi pertama, aku memesan kopi kedua, yaitu iced long black. Untuk kali ini, walaupun gak bisa dibandingkan 100% dengan batch brew yang sama-sama black coffee (karena aku pesan pakai iced sekarang), aku merasa ONLY menang. 

Tempat Kesebelas: City Business District

Setelah puas minum kopi dan duduk-duduk selama dua jam, aku jalan balik ke hotel, lalu siap-siap pergi ke CBD (City Business District). Daerah ini adalah daerah basic tempat perkantoran dan pusat perbelanjaan aja, sih. Sebenarnya, aku udah penasaran untuk datang ke sini dari hari pertama, tapi aku baru mengagendakan ini di hari keempat untuk 1) menghindari Boxing Day Sale di tanggal 26 (supaya gak ramai; dipikir-pikir aku juga gak tertarik belanja maupun buka jasa titip), 2) menghindari kemungkinan toko libur di antara tanggal 24 - 25 Desember. 

Tapi, ujung-ujungnya, ternyata aku cukup antusias juga karena Boxing Day sale masih ada (dan pastinya gak seramai tanggal 26), lalu ada satu barang yang ternyata aku mau: Cincin (Pandora lagi diskon). 

Setelah mengantre (kira-kira ada delapan orang di depanku), akhirnya aku berhasil membeli sebuah cincin. Cincin punya personal history yang nggak sebaiknya kuceritakan di sini (panjang banget dan rada drama), dan sebenarnya udah lama aku kepikiran untuk beli cincin. Tapi, entah kenapa, belum ada yang kusuka dan belum "pengen yang serius" aja. 

Hari ini aku ke sana dan beli beneran! Yey!

Nah, setelah ini, trip CBD ini jadi nggak terlalu menyenangkan. Aku cuma keliling beberapa toko aja, lihat-lihat barang yang sale, tapi sejujurnya menurutku nggak ada yang menarik. Contoh toko yang kukunjungi adalah toko-toko komersial (yang sebenarnya ada juga di negara lain), seperti Kinokuniya Sydney, T2, dan Lush. Aku sempat mampir ke Harbor Bridge juga, tapi nothing special. 

Untuk menghemat tenaga dan kekuatan kaki (yang mulai pegal), akhirnya aku pulang jam 7.30 malam. Ini kali pertama aku pulang saat matahari belum terbenam. 

Part 8. Hari Kelima - 28 Desember 2023 (Sunrise at Bondi Beach + Gertrude & Alice Bookstore)

Tempat Keduabelas: Gertrude & Alice Bookstore

Biaya buku = 10 dolar (1 buku) (bisa beli pastry dan minuman juga, tapi aku nggak beli).

Di hari kelima ini, adikku W mengajak aku untuk berburu sunrise ke Bondi Beach (kebetulan, tanggal 29 Desember adalah salah satu hari langka di mana matahari cerah banget!). Di Sydney saat itu, matahari terbit sekitar pukul 5.30. Oleh karena itu, kalau mau mengejar sunrise, kami harus bangun pukul 4 pagi dan mengejar bis di pukul 4.30. 

Sebenarnya, aku nggak terlalu tertarik. Selain karena lagi capek banget, aku pun udah mengunjungi Bondi Beach di dua hari sebelumnya. Tapi, 1) Aku belum pernah lihat sunrise (dipikir-pikir seumur hidup pun belum sepertinya), dan 2) Ada satu tempat di dekat Bondi Beach yang aku lupa kunjungi di kunjungan pertama: Gertrude & Alice Bookstore! 

Gertrude & Alice Bookstore ini sebenarnya toko buku (merangkap cafe) biasa aja, sih, tapi dia masuk ke dalam list Top 10 Worldwide Bookstore versi National Geographic. 

Penasaran, dong, bentuknya seperti apa? 

Well, setelah menghabiskan pagi di pinggir pantai, aku dan adikku jalan kaki menuju Gertrude & Alice Bookstore. Perjalanannya kira-kira 15 menit jalan kaki dari pusat Bondi Beach (Bondi Pavilion).

Ketika aku tiba di sana sekitar jam 10 pagi, tempatnya udah lumayan ramai. Ada beberapa orang yang duduk di bagian outdoor bookstore. Pas aku masuk, ada kasir cafe di depan beberapa rak buku, juga beberapa pastry yang di-display di rak kaca bening. 

Pas aku masuk lebih dalam, barulah bagian interior toko bukunya terlihat dengan jelas. Bukunya cukup lengkap (termasuk baru dan bekas), dan buku-buku itu nggak cuma dipajang di lemari, tapi juga ada yang dijejerkan di lantai (biasanya buku tua). Mungkin karena ini kali, ya, toko buku ini dianggap unik dan dianggap sebagai the best bookstore.

Aku kira toko buku ini akan berlantai-lantai (seperti Ampersand), tapi ternyata hanya satu lantai. Cukup sempit, apalagi di tengah-tengah interior, ada beberapa meja-kursi cafe yang penuh (jadi makin terasa sempit). Bahkan di beberapa bagian, ada sign yang melarang pengunjung untuk buka laptop atau berlama-lama di tempat itu. 

Untukku pribadi, dilarang berlama-lama memberi kesan yang kurang menyenangkan. Jadi, aku pun keluar dari toko itu setelah membeli satu buku bekas, lagi-lagi karangan Jodi Picoult (kali ini judulnya The Pact). 

Selain Gertrude & Alice, aku juga menyambangi dua tempat lain di sekitar Bondi Beach. Yang pertama adalah Harrys Cafe, di mana aku takeaway matcha-nya (rekomendasi teman) dan ke Speedo Cafe untuk nyicipin Fish & Chips. 

Part 9. Hari Keenam - 29 Desember 2023 (Koala Sanctuary Park + Get Your Guide)

Hari keenam adalah hari yang spesial untukku karena untuk pertama kalinya, aku memberi diriku kesempatan untuk ngelihat koala dan kangguru. Dua binatang ini udah sering kulihat boneka-nya sejak aku kecil, hahaha, tapi baru kali ini secara nyata.




Ada beberapa tempat untuk melihat dua binatang ini. Yang paling popular di Sydney? Sepertinya adalah Taronga Zoo. Adik-adikku sendiri udah sempat mengujungi Taronga Zoo di hari-hari sebelumnya, tapi karena Taronga Zoo nggak memperbolehkan kita untuk ngasih makan binatang (cmiiw), aku memutuskan untuk pergi ke Koala Sanctuary Park.




Tempat Ketigabelas: Koala Sanctuary Park
Biaya masuk = 32 dolar (dewasa)
Biaya pakan kangguru = 3 dolar.

Satu kata yang mewakili tempat ini: Jauh!

Untuk perjalanan, aku membutuhkan waktu 1.5 jam - 2 jam dari AirBNB-ku (termasuk dua kali ganti bis). Letaknya masih di Kota Sydney, tapi Sydney pinggiran. Tapi, aku tetap senang karena bis-ku melewati perumahan-perumahan di pinggiran Sydney, di mana aku bisa melihat "another side" of this city.

Enjoy banget!

Tiket masuk ke Koala Sanctuary Park lebih murah (32 dolar) dibandingkan Taronga Zoo (45 - 50 dolar). Yang membuat tempat ini istimewa adalah kita bisa ngasih makan kangguru (dikenakan biaya pakan 3 dolar), walaupun kita tetap nggak bisa menyentuh koala (setahuku, larangan ini keluar dari pemerintah, jadi kita memang nggak bisa menyentuh koala di mana pun; cmiiw). 

Setelah membeli tiket, aku langsung eksplor taman ini berbekal peta yang diberikan oleh penjaga loket. Tamannya ternyata cukup kecil; aku udah selesai eksplor hanya dalam waktu 2 jam. Ini pun udah termasuk foto-foto.

Tapi, aku nggak langsung pulang, sih. Koala Sanctuary Park mengadakan sesi presentasi tentang hewan (termasuk koala dan reptil) kira-kira 3x sehari, di mana aku join salah satu sesinya di jam 2 siang. Di sesi ini, kita bisa masuk lebih dekat ke koala (nggak cuma lihat dari jauh), dan di sini aku pun foto-foto sepuasnya. Hahaha. 

Setelah foto-foto, aku menyempatkan diri makan siang di cafe taman (di mana aku akhirnya mencicipi macadamia nut latte; kopi latte yang bijinya berasal dari kacang endemik Australia), lalu aku langsung kembali ke pusat kota Sydney (CBD), di mana aku ada janji untuk mengikuti walking tour lokal.

Aku nggak akan menceritakan banyak hal tentang tur ini, tapi aku mau memberi teman-teman informasi mengenai aplikasi Get Your Guide. Kalau teman-teman adalah pencinta "experience" saat liburan, aku sarankan teman-teman download aplikasi ini. Di sini, kalian bisa menemukan beberapa tur yang menarik dari berbagai dunia. Contohnya adalah bike tour (yang akan menarik banget jika dilakukan di kota sepeda seperti Amsterdam), walking tour (menarik di mana pun!), hingga dining experience.

Tadinya, aku sangat tertarik untuk ikut road trip ke Canberra (dari Sydney). Rencananya, aku mau ikut di tanggal 30 Januari 2023 - 31 Januari 2023 (full day trip). Tapi, begitu melihat rencana di tanggal 31 Januari (camping menunggu firework dari pagi), aku nggak akan sanggup. Capek banget!

Jadinya, aku mengurungkan niat ini. Apalagi, Canberra (sebagai ibukota) didominasi oleh pemerintahan dan bangunan-bangunan historis doang (yang bagiku kurang menarik).


Ngomong-ngomong, aku akan skip penjelasan detail tentang hari ketujuh. Yang kulakukan di hari ini adalah istirahat sebentar, lalu ke CBD (lagi) untuk nyobain Gloria Jean's Coffee. Aku juga nyusul adik-adikku jalan ke Manly Beach (lagi) sebelum akhirnya belanja untuk keperluan piknik di tanggal 31 Desember 2023. 

Part 9. Hari Ketujuh - 31 Desember 2023 (Kirribilli Lookout)

Biaya masuk = 0 rupiah.
Biaya piknik = 500 ribu (50 dolar) - termasuk beli tikar dan makan siang.

31 Desember, hanya ada satu hal yang kami rencanakan: Piknik menunggu kembang api!

Kata adikku, demi mendapatkan spot terbaik untuk nonton kembang api, orang-orang rela hadir dari jam 5 subuh. Kata adikku juga, ada orang yang nginep di Circular Quay (one of the best spots untuk nonton kembang api) dari hari sebelumnya!

Aku dan adik-adikku memutuskan untuk nonton dari daerah Kirribilli. Dari daerah ini, kita berada tepat di dekat Jembatan Sydney Harbour dan mendapat view Sydney Opera House. Untuk mendapat tempat di sini, kami udah siap-siap dari jam 7 pagi, lalu tiba di sana sekitar jam 9 pagi. 

Di jam 9 pagi, tempatnya masih sepi, tapi spot-spot terbaik udah diambil oleh orang-orang (ada yang bangun tenda segala). Aku sendiri cukup impressed karena pemerintah Sydney benar-benar mempersiapkan tahun baruan dengan baik; mereka bahkan mengeluarkan handout tentang lokasi-lokasi di mana kembang api dapat terlihat dengan baik (ada belasan lokasi), lengkap dengan segala persiapannya. 

Terlepas dari itu, pemerintah juga mengalokasikan polisi dan volunteer dengan baik. Pintu masuk lokasi piknikku dijaga ketat, dan bahkan ada sign yang menurutku memorable: "Jika kamu ke luar dari lokasi ini, ada kemungkinan kamu nggak bisa masuk lagi." (jika kapasitas sudah penuh, yaitu di atas 18.000 orang)

Gila juga, sih, 18.000 orang.

Eniwei, berikut adalah persiapan piknik tahun baru:
  • Jangan lupa bawa makan siang dan air putih yang cukup. Beberapa lokasi juga menyediakan booth yang menjual makan siang, sih (termasuk lokasiku).
  • Jangan lupa bawa tikar yang besar supaya bisa tiduran. Selama piknik, most likely kita nggak akan ngapa-ngapain selain makan, tidur, dan main handphone. Aku dan adik-adikku bahkan piknik dari jam 9 pagi hingga jam 12 malam (total 9 jam!). 
  • Jangan lupa bawa hiburan. Bosen, hahaha.
  • Nggak usah khawatir soal toilet, karena setiap lokasi kembang api punya toilet yang cukup banyak dan berjejer. 
Nggak banyak yang bisa kuceritakan di sini, tetapi yang jelas, kembang apinya benar-benar worth it untuk ditunggu sambil piknik berjam-jam. Kalau kulihat-lihat di TikTok (maaf, referensinya receh, saudara-saudara), Sydney fireworks adalah salah satu yang paling bagus di dunia. Aku pun setuju bahwa kembang api ini bener-bener unforgettable

Kembang api berlangsung selama kira-kira sepuluh menit, lalu setelah itu, semua orang bergegas pulang. Transportasi umum sengaja dialokasikan cukup banyak oleh pemerintah (sampai subuh!), tetapi aku dan adik-adikku memutuskan untuk jalan kaki karena lokasi AirBNB kami cuma 2 kilometer dari lokasi (setengah jam jalan kaki). 

Sudah!


Aku dan adikku pulang ke Jakarta tanggal 1 pagi, menaiki bis dan dilanjut kereta via stasiun Milson Point. Seperti yang udah kujelaskan, ketika masuk ke bandara, kartu Opal (e-money) kita di-charge sekitar 20 dolar. 

Sisanya? Nothing special. Perjalanan pulang ke Jakarta memakan waktu 7 jam perjalanan, dan ini spesial banget karena aku baru pertama kali naik pesawat 7 jam yang semua cuacanya cerah (siang). 

Sebagai penutup blog ini, aku akan merangkum total biaya yang kukeluarkan (biaya perkiraan):

Pesawat: 13 juta (PP)

Hotel: 10 juta (7 hari untuk bertiga. Menurutku, ini murah banget, terutama dengan fakta kami baru booking H-7 untuk hari Natal - Tahun Baru).

Visa: 3+ juta (Note: Pengurusan visaku menggunakan bantuan agen, di mana fee-nya sekitar 2 juta+. Kalau mengurus sendiri, tentu lebih murah)

Beli SIM Card: 250.000

Transportasi Bandara: 400.000 (masuk & keluar bandara doang)!

Transportasi Sehari-hari: Tergantung perjalanan, tapi kira-kira sehari butuh 15 dolar (transportasi umum, bis dan kereta) atau sekitar 150.000 (satu kali naik bis biasanya memakan biaya 2 - 5 dolar). Jika tujuh hari, maka totalnya adalah 1 jt+ an

Makan: Jika masak sendiri, sebenarnya bisa murah banget. Kira-kira 5 dolar - 10 dolar untuk satu hari (50.000 - 100.000). Tips Rani The Blogger #7: Kalau mau menghemat makan, bisa pilih Air BNB yang menyediakan dapur, seperti Air BNB-ku. 

Kalau beli di luar, range harganya di 15 dolar - 40 dolar sekali makan. Beberapa makanan, menurutku, cukup besar porsinya, jadi sebenarnya bisa juga dimakan dua kali. Kalau ditotal-total, tujuh hari mungkin aku butuh 1.5 juta untuk makan (aku lumayan sering malas memasak).

Tips Rani The Blogger #8: Aku membawa beberapa pcs Indomie dari Indonesia, dan ini helpful banget! Terutama ketika aku buru-buru pengen pergi pagi-pagi seperti pas berburu sunrise (jadi gak sempat makan di luar). Jadi bisa bawa bekal, deh!

Minum: Kalau aku nanya ke adikku, air minum di Sydney itu bisa diminum dari keran. Tapi, dia gak menyarankan karena (menurut dia) rasanya aneh. Jadi, selama liburan, aku selalu beli air minum di luar. Sekali beli bisa 3 - 5 dolar (ukuran 1 liter+), dan menurutku ini pricey, sih. Dalam tujuh hari, kira-kira 35 dolar (350.000).

Oleh-Oleh: Karena aku pun cuma membawa koper kecil, aku nggak bisa bawa banyak oleh-oleh. Rekomendasiku paling bawa snack aja, seperti Tim Tam (di Indonesia variannya terbatas, dan Tim Tam ini asalnya Australia). Di toko oleh-oleh murah yang kucek, harga 4 box Tim Tam (kira-kira 1 box = 8 pcs) adalah 20 dolar (200.000). Aku juga mampir ke beberapa toko oleh-oleh standar, dan total budget-ku adalah 800k - 1 juta.

Kopi: Karena setiap hari aku ngopi, kira-kira pengeluaranku bisa 5 - 10 dolar/hari. Jika dirata-rata, sepertinya di 500 dolar (500.000). Worth it untuk perjalanan yang emang didedikasikan untuk "nyobain kopi".

Tiket Masuk Tempat Wisata: Kira-kira 1 juta, termasuk Koala Sanctuary Park dan tur yang kuikuti dari Get Your Guide. Inipun udah murah, karena aku kebanyakan memilih tempat wisata yang gratis biaya masuknya.

Totalnya adalah... sekitar 15 - 22 juta (satu orang). 


Bagaimana Sydney? 

Menurutku, Sydney indah banget. Walaupun (jujur) aku pernah merasa bosan (karena tujuh hari ternyata terlalu lama untuk dihabiskan di 1 kota doang sebagai turis), tapi kalau dipikir-pikir lagi, aku nggak keberatan kembali lagi. Terutama karena ada beberapa destinasi yang aku nggak datangi (dengan sengaja), seperti Luna Park dan Sydney Fish Market.

Tapi, kalau kembali ke Australia, tentu aku akan mencoba menyempatkan diri ke kota-kota lain, seperti Melbourne dan Canberra. 

Life is too short to only visit one city, isn't it?

Comments

Popular posts from this blog

Contact Me

About Me: The New Version