Pulpen Seharga 19.000

Temen sebangkuku (sebut nama gak, ya?) pernah cerita kalau dia sering bertengkar sama kakak laki-lakinya tentang belanjaan mereka tiap kali mereka berdua belanja di supermarket. Sebenernya, yang bikin mereka bertengkar itu cuma satu hal: Hubungan antara harga barang yang mau mereka beli dengan jumlah uang yang mereka bawa.

Menurut cerita, mereka berdua sering ngalamin:
(1) Tiap udah selesai belanja dengan tenang (gak bertengkar) dan mau bayar belanjaan (yang seabrek-abrek) di kasir, uangnya kurang.

atau

(2) Pas belanja sambil bertengkar hebat tentang barang-barang mana yang paling murah dan paling penting (mereka nyeleksi barang-barang dulu sebelum ke kasir), ternyata uangnya kelebihan (ada kembaliannya).

Lol. Hahahaha. Tiap kali diceritain tentang ini, aku sih ketawa aja sampai mampus. Aku gak pernah kepikiran kalau suatu hari nanti aku bakal ngalamin hal kayak gitu (apalagi 'uang kurang pas udah di kasir', karena (1) aku selalu belanja sendirian (2) aku selalu bawa uang lebih.

Tapi ternyata... hmm...

Takdir berkata lain. 


.
.

Kemarin, setelah memaksa otak untuk ngerjain soal-soal Kimia demi presentasi hari ini (yang ternyata ditunda karena waktunya kurang), aku mampir ke salah satu toko-buku terbesar di Solo untuk beli kertas sampul (sekalian ngintipin isi majalah terbaru, sih). 

Nah, sebelum bener-bener masuk ke toko-buku itu, tasku kutitipin di mobil dan aku hanya bawa uang 20.000 di kantong celana. Aku gak bawa lebih karena: emang aku mau beli apaan, sih? Cuma kertas sampul, kan

Ya udah. Sambil masang muka tanpa dosa, aku masuk ke toko-buku itu, ngintip isi majalah terbaru (tapi gak jadi karena ternyata diplastik hiks sial), terus ngambil kertas sampul warna merah. 

Di tengah jalan menuju kasir, aku ngeliat rak-rak tempat pulpen dijual. 

Aku langsung inget. Oh iya, pulpen hitam-ku kan ilang! Beli sekalian, ah! 

Ya udah. Aku ngehampirin rak itu, terus langsung ngambil sebuah pulpen tinta hitam secara acak. Kalian perlu tahu kalau pulpen itu kelihatan biasa aja. Gak ada hiasannya, desainnya biasa aja, dan... well, standar banget deh pokoknya. 

Tapi tahu gak? 

Pas aku ke kasir dan mbak kasir itu ngitungin belanjaanku, total belanjaanku itu nyampe 23.300 rupiah! Lah padahal aku cuma beli pulpen satu + kertas sampul kecil dan uang di kantongku cuma 20.000! -_- Ya Gusti Allah... lebih mahal ini dah daripada majalah (yang mau kuintipin isinya) tadi -_-

"Totalnya 23.300, Mbak," kata Mbak Kasir. 

Aku melongo doang. "Ha?" 

"Iya." Mbak Kasir masang muka kalem, tapi matanya menusuk (kayaknya mulai curiga sama mukaku). "23.300 rupiah." 

"HAH?" Demi apa?! Apa jangan-jangan aku masuk di acara 'Super Trap' ya?! #halah.

Untungnya, Pak Rohmat (yang nganter aku) masih ada di parkiran toko-buku. Jadi bisa nolongin dah hahaha -_- (gak lucu, *jir)

.
.

Begitu sampai di rumah, aku langsung meriksa belanjaanku (yang isinya beneran cuma kertas sampul dan satu pulpen), terus aku cocokin sama struk belanjaan -_- gila men. Ternyata yang bikin mahal itu pulpennya -_- 

Pulpen itu langsung kuteliti. Mulai dari merek-nya, kualitas tintanya, desain tampilannya, dan lain-lain. Temen-temen pada sibuk ngerjain presentasi Kimia, aku sibuk ngeliatin pulpen dengan serius sampai capek. Dalam hati, aku ngomong: siapa sih oknum yang tega-teganya ngasih harga 19.000 untuk pulpen kayak gini?

.

Tapi ternyata, kata Dila, pulpen kayak gitu emang mahal. Harganya di kisaran 15.000 - 20.000. 

Asli deh, sampai tulisan ini selesai ditulis, aku belum ngerti apa yang bikin pulpen sederhana itu mahalnya selangit. Daripada ngabisin uang 19.000 untuk pulpen yang tampilannya mirip pulpen seharga 3.000, mending aku beli siomay maha-enak di depan Keraton Kasunanan. Dapet 3 mangkok, es teh, dan masih ada kembaliannya lagi!

Dodol.

Comments

Post a Comment

Popular posts from this blog

Contact Me

About Me: The New Version

#1 Proses Novel "Inikah Rasanya Cinta"