Bab 3 Novel "Inikah Rasanya Cinta"
Contoh
Novel
Inikah Rasanya Cinta
Penulis : Narani Widodo
Penerbit : Media Pressindo
Tahun
terbit : 2014
xoxoxoxoxoxoxoxoxoxoxoxoxox
xoxoxoxoxoxoxoxox
xoxoxoxox
BAB 3
(Laci Keenam)
”Hmm… kayaknya kerjaan kita kali ini gampang
banget,” komentar Olga sambil duduk-duduk santai di salah satu kursi
perpustakaan. ”Udah ngerjainnya di sekolah, yang diwawancarain cuma Kevin,
lagi. Asyik, nggak perlu susah-susah lagi ke rumahnya narasumber.”
”Untung gue anak OSIS,” timpal Raka sambil
menyerahkan perekam suara pada Putri yang dari tadi memintanya. ”Kalau gue
bukan anak OSIS, mana mau Kevin dateng ke sini dan ngeluangin waktu jam pulang
hanya untuk diwawancarain?”
”Biasa aja, dong! Santai!” ujar Shilla kesal
tanpa menatap Raka sedikit pun. Ia sedang membuka-buka galeri foto di kamera
DSLR-nya. ”Gue aja, kalau jadi presiden, nggak bakalan sesombong itu.”
”Kalau,” balas Raka meledek. ”Cih.”
Shilla menirukan cara berbicara Raka dengan
bibirnya tanpa suara.
Putri menggelengkan kepalanya heran. ”Udah ah,
berantemnya, entar kerjaan kita malah nggak selesai-selesai hanya karena ini.
Bukannya kali ini kita udah sepakat ngerjain semuanya sampe pulang supaya nggak
ada kerjaan lagi? Jadi, jangan berantem.”
Baik Shilla ataupun Raka hanya diam. Malah
Olga yang menyeringai, entah kenapa.
Tiba-tiba pintu perpustakaan—yang dipakai
sebagai tempat berwawancara—terbuka tanpa diketuk lebih dulu. Lalu Kevin yang
ditunggu-tunggu sejak tadi, muncul sambil mengunyah permen karet. ”Hai,
semuanya. Jadi wawancaranya?”
”Jadi, dong,” jawab Olga.
”Hai, Kev!” sapa Raka.
”Yo.”
Putri langsung memulai wawancara. ”Oke, Kev,
silakan duduk. Thanks udah mau dateng
ke sini dan diwawancarain.”
”Sama-sama,” jawab Kevin sambil tersenyum.
”Gue sih oke-oke aja diwawancarain. Toh ini menyangkut OSIS dan mading
sekolah.”
Putri mengangguk. ”Boleh kan, wawancaranya
kita mulai?”
”Silakan.”
Putri menyalakan alat perekam suara, dan
Shilla mulai memfoto Olga dan Raka yang berganti-gantian bertanya pada Kevin.
”…oke, cukup sekian pertanyaan dari kita,”
ujar Olga menutup wawancara. ”Thanks,
Vin, udah mau diwawancarain. Di sekolah dan pas jam pulang, lagi.”
Kevin berdiri dan memakai tas sekolahnya.
Ketika melewati Olga, ia menepuk pundak Olga. ”Alaaah… biasa ajalah. Untuk
kemajuan sekolah kita, gue sih oke-oke aja.”
Lalu Kevin beralih ke seluruh anggota Tim
Mading Sekolah. ”Eh, Shil, Put, Mas Bro Raka, gue pulang duluan, ya? Udah
selesai, kan?”
Raka mengangguk.
Kevin pun bersalaman dengan semua anggota tim,
lalu keluar dari perpustakaan. Meninggalkan Raka, Shilla, Putri, dan olga yang
masih mau bekerja. Mereka akan langsung lanjut mengerjakan display-nya agar lebih cepat dan tidak mengganggu pelajaran mereka.
Hari-hari selanjutnya memang akan dipakai oleh sekolah untuk melaksakan ulangan
harian.
Olga mengeluarkan berbagai macam kertas
bersama spidol warna-warni untuk mengerjakan display. ”Ayo deh, langsung kerja. Udah jam empat, dan ini semua
harus kita usahain selesai pas jam lima.”
Semua mengangguk setuju. Mereka pun mulai
sibuk bekerja serius.
Shilla mengambil laptop Putri dan
menyambungkannya dengan printer perpustakaan.
Setelah memindahkan foto dan mencetaknya dengan photo paper, ia menyerahkan lima foto-foto terbaik pada Olga.
”Nih, Ol,” ujar Shilla sambil menyerahkan
foto-foto. ”Udah gue print.”
”Bagus,” kata Olga sambil mengamati foto yang
Shilla print. ”Lo berbakat jadi
fotografer.”
Shilla tersenyum. ”Baru gini, kok. Gue bukan
fotografer profesional yang mikirin aperture,
jenis-jenis lensa… yang gitu-gitu deh. Seenggaknya belum.”
Putri menimpali, ”Belum mikir gituan aja,
foto-foto lo udah bagus. Kalau udah mikirin, gimana? Lo dapet award kali ya, jadi best photographer.”
”Emang ada, ya?” Walaupun tidak yakin, Shilla
tetap tersipu. ”Emm, cita-cita gue emang fotografer, sih….”
Karena tidak ada pekerjaan lain, akhirnya
Shilla membantu Olga, Raka, dan Putri mendekor display kelompok mereka.
Shilla mengambil gunting bergerigi dan mulai
menggunting bagian pinggir artikel. Sementara itu, Raka kesusahan memperbaiki
stapler superbesar milik perpustakaan yang memang rusak.
”Ah, nyebelin amat sih nih stapler,” omel
Raka. ”Mencret!”
Olga dan Putri tertawa kecil, tapi tidak
menanggapi. Shilla nyaris saja ikut tertawa, tetapi ia tahan karena ia sudah
terlalu asyik menggunting sekaligus meneliti satu per-satu nama yang tercantum
sebagai pengurus OSIS. Walaupun merasa geli dan ingin tertawa, ia sedikit
berharap namanya ada di sana—walaupun sama sekali tidak mungkin.
Secara sifat dan sikap, Shilla memang tidak
cocok bergabung dengan organisasi sebesar OSIS. OSIS jelas menginginkan
pengurus-pengurus perempuan yang anggun, pintar, dan cekatan, sementara Shilla
bahkan tidak memenuhi satu pun kriteria-kriteria tersebut. Padahal keren banget kalau gue bisa pake jas OSIS, batin Shilla.
Raka menggaruk-garuk kepalanya—yang sebenarnya
tidak gatal—dan meminta Shilla untuk mengambil selotip di meja Bu Icha. Shilla
memang berada di posisi yang paling dekat dengan meja ibu penjaga perpustakaan
itu. ”Shil, ambilin selotip di mejanya Bu Icha, dong!”
Saking asyiknya bekerja, mereka sampai lupa
kalau mereka sedang bertengkar. Selama ini memang selalu begitu. Pertengkaran
yang mereka sering alam itu terlupakan bukan karena permintaan maaf, tapi
karena mereka sendiri memang lupa.
Shilla pun terpaksa berdiri dan mencari. ”Di
mana?”
”Cari aja,” perintah Raka. ”Kalau nggak di
atas meja, ya di dalam lemari.”
Setelah menyadari bahwa selotip itu sama
sekali tidak ada di atas meja, Shilla mulai membuka laci lemari. Di laci
pertama, tidak ada. Di laci kedua, juga tidak ada. Dan seterusnya, bahkan
sampai laci keenam—terakhir—dibuka.
”Nggak ada,” ujar Shilla akhirnya. ”Beneran.”
Raka mendengus. Lalu ia berjalan ke samping
Shilla dan ikut mencari selotipnya. Remaja laki-laki berambut jabrik ini mulai
membuka-buka laci—dari laci pertama sampai terakhir.
Dan ketika ia hendak membuka laci terakhir….
Shilla juga ingin membuka laci tersebut
sehingga tangan mereka bersentuhan.
Raka dan Shilla sontak tersadar. Mereka berdua
langsung menjauh dan melupakan stapler yang belum ditemukan.
Deg.
Dag-dig-dug dag-dig-dug dag-dig-dug.
”Eh? Kamera gue mana ya?” tanya Shilla,
berusaha menghilangkan kesalahtingkahannya.
”Tuh, lo kalungin,” balas Olga cuek dari jauh.
Wajah Shilla sudah seperti kepiting rebus yang
baru dimasak saking merahnya.
”Eh… kalo nggak salah, gue liat Putri bawa
selotip, deh,” seru Raka cepat sambil menggaruk kepalanya yang sama sekali
tidak gatal. Lagi. Sebenarnya Raka tidak melihat Putri membawa selotip, tapi ia
sengaja mengatakannya agar tidak terlihat salting di depan Shilla karena
kejadian tadi. ”Lo bawa gak, Put?”
Putri yang terlalu asyik menempelkan dan
menghiasi foto sehingga tidak melihat rona merah di wajah Raka dan Shilla,
menyahut, ”Bawa.”
”Dari tadi kek!” seru Raka jengkel. Kalau
Putri bawa dan bilang sejak tadi, ia tidak perlu berusah-payah mencari selotip
di meja Bu Icha dan tidak sengaja menyentuh tangan Shilla.
Ketika mengambil selotip dari tas Putri, tanpa
disadari, Raka melirik Shilla dengan ujung matanya. Dan bersamaan dengan itu,
Shilla juga melirik Raka.
Lalu mereka berdua secepat kilat mengalihkan
pandangan dan kembali sibuk dengan aktivitas-masing-masing, berusaha
mengabaikan kejadian yang masih terputar di pikiran mereka seperti film.
Selesai
—tapi masih mau dilanjutkan dengan sedikit cuplikan dari
bab agak akhir
Comments
Post a Comment