Bab 2 Novel "Inikah Rasanya Cinta"
Contoh
Novel
Inikah Rasanya Cinta
Penulis : Narani Widodo
Penerbit : Media Pressindo
Tahun
terbit : 2014
xoxoxoxoxoxoxoxoxoxoxoxoxox
xoxoxoxoxoxoxoxox
xoxoxoxox
BAB 2,
MAK COMBLANG
”Apa? Ini doang yang jadi?!” tanya Raka dan
Olga bersamaan. Kaget.
Di hadapan mereka berempat saat ini—Olga,
Raka, ditambah dengan Shilla dan Putri—terhampar alat serta bahan-bahan untuk
membuat display mading. Ada karton
manila warna-warni, spidol, selotip, stapler, sampai hias-hiasan lucu, serta
laptop milik Putri.
Tapi bukan itu yang membuat Olga dan Raka
terkaget-kaget. Mereka kaget karena melihat selembar kertas A4 penuh tulisan
hasil wawancara, juga sebuah perekam suara yang memperjelas isi kertas
tersebut, tapi tanpa foto sama sekali.
”Iya,” jawab Putri cuek.
Olga mengernyit. ”Kalau nulis artikel, kita
bisa. Tapi gimana caranya gue dan Raka bis angedekor kalau foto aja nggak ada?”
”Kamera gue ketinggalan,” ujar Shilla cepat
sambil menyempil di antara Raka dan Putri. ”Daripada nggak jadi wawancara sama
sekali, gue dan Putri akhirnya wawancara tanpa ngambil foto.”
”Nggak bisa lewat HP?” tanya Olga.
”Bisa,” kata Putri. ”Tadinya gue juga
kepikiran gitu, tapi kalau gue pikir-pikir lagi… kamera HP nggak bisa bikin
foto yang kualitasnya bagus, kan? Gelap. Jadi buat apa?”
Olga mengernyitkan dahinya. ”Kalau tanpa foto,
emang bisa ditampilin di mading?”
”Bisalah,” kata Putri.
”Tapi nggak bagus,” timpal Raka. Ekor matanya
melirik Shilla yang pas berdiri di sebelah kanannya. ”Fotografernya gimana,
sih? Bisa-bisanya kelupaan.”
Putri dan Olga saling lirik. Mereka berdua
menyadari bahwa akan ada adu mulut hebat setelah ini.
Benar saja.
Shilla mendengus dan melipat kedua tangannya
di depan dada. ”Jadi lo mau protes karena gue nggak bawa kamera? Terus lo
sendiri gimana? Nggak dateng wawancara narasumber aja, pake protes segala! Lo
malah harusnya bersyukur karena nggak gue hajar.”
”Dasar sok! Ngapain gue bersyukur karena lo
nggak ngehajar gue?” tanya Raka. ”Hajar aja nih!”
Shilla melotot. ”Apaan, sih?”
”Ngaku aja lo nggak profesional,” ujar Raka
cuek. ”Udahlah.”
”Lo itu yang nggak profesional!” balas Shilla
kesal. ”Masih mending gue, karena gue kelupaan, sementara lo nggak dateng sama
sekali! Berarti gue punya usaha, dan lo enggak sama sekali!”
”Untuk apa usaha banyak, kalau barang yang
diperluin ketinggalan?” tanya Raka mencemooh. ”Sama aja nggak kerja, kali. Cuma
ngumpulin capek doang.”
”Eh, jangan nyolot ya! Gue lebih senior dari
lo untuk urusan mading!”
Raka membelalak. ”Senior atau junior itu bukan
masalah!” seru Raka marah, ikut terbawa emosi karena Shilla mulai membawa
masalah ’senior-junior’. ”Kalau juniornya lebih cerdas dan kreatif, seniornya
juga pasti kalah!”
”Aaaargh!”
jerit Shilla.
”Ish!”
dengus Raka.
Shilla dan Raka sama-sama membelalak kesal.
Shilla sudah mengepalkan tinjunya dan Raka membalasnya dengan cibiran, seolah
mengatakan ’tidak takut’. Mereka berdua mungkin akan benar-benar berkelahi di
lapangan setelah ini.
Yeah, selalu begitu. Setiap mereka bertemu, pasti ada masalah sepele yang
membuat mereka berdua ribut. Masalah bahan madinglah, narasumber yang akan
dihubungilah, bahkan sampai masalah merek baju atau kenapa rambut Shilla tidak
disisir….
Tidak jarang ada yang heran kenapa mereka
berempat—Raka, Olga, Putri, dan Shilla—masih bisa bertahan dalam satu tim
Jurnalistik Mading Sekolah (JMS) kalau harus mendengarkan perdebatan sengit
yang selalu terjadi itu.
”Stop, stop,” ujar Putri, mulai berpidato.
”Nggak enak, ah. Kita kan satu tim? Ngapain saling berantem? Lebih baik kita bahas
isi mading lainnya yang bakalan ditampilin satu minggu lagi….”
”Bener. Sekarang kembali ke pertanyaan awal
gue,” kata Olga mendukung Putri. ”Gimana gue dan Raka bis angedekor display tentang wawancara kita kalau
foto aja gak ada?”
”Mm… gimana ya?” Putri malah balik bertanya.
”Suruh dia aja tuh, nyari fotonya!” seru Raka
tiba-tiba sambil menunjuk Shilla. ”Bertanggung-jawab sedikit kek!”
”Oh, iya dong! Gue bakalan bertanggung-jawab!
Nggak kayak lo! Karena gue profesional!” timpal Shilla sambil melotot kesal dan
menekankan kata ’profesional’.
Raka membelalak. Lagi.
Putri dan Olga mendesah, stres karena Shilla
dan Raka. Pertengkaran yang sempat terhenti tadi malah berlanjut kembali.
xoxoxoxoxoxoxoxoxoxox
”Eh, display
baru!”
”Tentang butik fashion yang keren itu!”
”Wow!”
Mading dekat blok lima kali ini ramai oleh
siswa-siswi SMA Kartika—walaupun baru saja pagi hari tadi ditempel. Yang bikin
ramai sebenarnya karena di mading itu, ada display
hasil wawancara tentang salah satu butik fashion terkemuka yang dikerjakan oleh kelompok Shilla.
Butik fashion
yang baru hari Sabtu lalu diwawancarai oleh Shilla dan putri memang sedang
top sekarang. Baju-bajunya yang mengikuti tren dan tergolong murah sudah pasti
menjadi favorit semua perempuan. Termasuk siswi-siswi SMA Kartika.
Display tentang butik yang kelompok Shilla
kerjakan lumayan cantik dekorasinya. Dihiasi oleh warna-warna senja dan tulisan
Olga yang bagus—inilah yang diam-diam membuat Shilla heran. Olga laki-laki,
tapi tulisannya lebih rapi dari perempuan.
Masalah foto yang dulu sempat diributkan,
diakali Shilla dengan cara mengambil foto-foto di Google dan official website butik tersebut. Setelah
diedit agar lebih halus, akhirnya foto itu di-print dan diberikan pada Raka—melalui Putri, tidak langsung
diberikan oleh Shilla.
Meski sudah teratasi, pertengkaran Shilla dan
Raka masih berlanjut sampai sekarang. Padahal hal itu sudah lewat beberapa hari
dan tugas untuk membuat display baru
bahkan sudah berulang-kali diingatkan oleh Bu Icha.
Pertengkaran itu memang lebih baik dihentikan.
Sekarang saja, Shilla lebih memilih jalan bersama Ocha daripada bersama Putri
hanya karena Putri tadi berjalan bersama Raka. Padahal selama ini Shilla lebih
sering bersama Putri.
Oh. Kebetulan. Karena Ocha… sedang butuh
bantuan.
”…dia itu gitu,” kata Ocha pada Shilla,
mengakhiri ceritanya—atau gosipannya, mungkin.
”Wah? Serius?” tanya Shilla dengan nada agak
tidak percaya.
”Iya, jadi—” Kalimat Ocha seketika terhenti
ketika mendengar satu suara bariton dari belakang yang memanggil Shilla.
”Shilla!”
Shilla berbalik. Ternyata Olga. ”Apa?”
Setelah berjalan cepat dan sampai di hadapan
Shilla, Olga berkata, ”Gue dikasih tahu sama Bu Icha, materi mading kita yang
baru lebih baik tentang program OSIS yang baru.”
”Terus?” tanya Shilla.
Olga mencibir. ”Lu ngeledek ya? Ya terus, kita
harus tentuin pertemuan kita kapan dan kita harus kerja secepetnya, dong.”
Shilla nyengir lebar mendengar kalimat pertama
dari Olga. ”Hehehe… becanda doang, kok. Oke, oke. Suruh aja Putri yang ngatur
pertemuan. Dia kan otak kelompok kita.”
”Sip.” Olga mengangguk dan kemudian pergi.
”Sampe di mana kit tadi?” Shilla kembali pada
topik pembicaraannya dengan Ocha. ”Sampe di tabrakan ya?”
Ocha mengangguk. ”Oke, gue lanjutin ceritanya.
Gue kan sempet tabrakan sama dia, terus gue dan buku-buku yang gue pegang itu
jatuh! Dan dia dengan gentle-nya,
nolongin gue dan bantuin gue ngambilin buku-buku gue!”
Shiilla tertawa lepas, tak bisa ditahan-tahan.
”Hahaha… kayak sinetron aja! Persis, malahan.”
”Hahaha… awalnya juga gue mikir gitu,” kata
Ocha sambil ikut tertawa pelan dan merapikan bando pita putih di rambut lurus
pendeknya. ”Tapi yang ini bener-bener terjadi. Realitanya, bukan sinetron.”
”Hahaha, iya, iya. Nah, sekarang gue harus
ngebantuin lo dengan cara apa?” tanya Shilla. ”Lo mau nggak gue tembakin ke
depan orangnya langsung? Atau lo mau masuk ke rubrik Secret Admirer-nya mading? Nanti biar gue bicara ke Yuna, yang
ngurusin itu….”
”Enggaklah!” seru Ocha sambil menggeleng kuat-kuat.
”Kalau masuk ke rubrik Secret Admirer,
gue sih udah pernah!”
”Serius?” tanya Shilla tidak percaya. ”Wah, err… gila banget.”
”Emang gila,” sahut Ocha. ”Intinya, gue mau lo
ngebantuin gue yakinin Adit kalau gue sayang sama dia, tapi tanpa ngasih tahu
sama sekali kalau gue sayang sama dia.”
Shilla membelalak. ”Apa? Susah banget!
Emangnya bisa? Gue baru denger ada misi aneh kayak gini!”
Ocha tersenyum dan memasang puppy eyes-nya. ”Hehe… emang sih, tapi
bantuin gue yah, Say? Shilla kan baik. Yah? Yah?”
Shilla memutar bola matanya. Jujur, ia benci puppy eyes karena ia sama sekali tidak
tega mengatakan ’tidak ’ ketika wajah-wajah pengharapan sudah dipasang oleh
lawan bicaranya. ”Oke, oke. Nggak usah pasang puppy eyes, ah! Nggak tega gue ngeliatnya!”
Ocha nyengir. ”Makanya gue pasang. Supaya lo
mau bantuin gue.”
”Yee,” ujar Shilla sambil menjitak pelan dahi
Ocha. ”Gue tu horangnya nggak kayak gitu, kali. Tanpa lo paksa, selama itu
baik, pasti gue bantuin.”
”Thanks,”
kata Ocha sambil tersenyum manis.
”Yeah,
balas Shilla. ”Terus kira-kira apa nih, langkah pertama yang harus gue lakuin?”
”Gue kasih deh, nomor HP-nya,” kata Ocha
sambil mengambil HP-nya dan mengirimkan nomor HP Adit ke HP Shilla. ”Tunggu
bentar… bentar lagi… oke, udah kekirim! Inget, yah, bantuin gue?”
”Iya, iya,” kata Shilla. ”Eh, jujur gue bukan
tipe orang yang suka pegang HP, lho. Jadi… liat aja nanti.”
”Yaaaah,” tukas Ocha kecewa, siap-siap
memasang puppy-eyes-nya lagi.
Sebelum Ocha sempat memasang puppy-eyes-nya, Shilla cepat-cepat
berkata, ”Oke-oke. Gue bakalan isi pulsa nanti deh, padahal udah nyaris tiga
minggu gue nggak isi pulsa. Lo tenang aja, nanti Adit bakalan nyadar kalau lo
sayang sama dia, dan dia bakalan nembak lo.”
”Yeay!”
Ocha langsung memeluk Shilla seerat-eratnya. ”Thank you, Sistaaa!”
”Untung gue baek….”
Bersambung
Comments
Post a Comment