Bab 1 Novel "Inikah Rasanya Cinta"

Contoh Novel
Inikah Rasanya Cinta


Penulis            : Narani Widodo
Penerbit          : Media Pressindo
Tahun terbit    : 2014

xoxoxoxoxoxoxoxoxoxoxoxoxox
xoxoxoxoxoxoxoxox
xoxoxoxox


Bab 1, PIKUN

Hari ini hari Sabtu yang panas. Sangat panas. Mungkin matahari benar-benar niat membakar dunia hari ini. Dan hal paling nyaman yang bisa dilakukan adalah tidur-tiduran di atas kasur empuk sambil menyalakan AC plus menonton televisi. Mendengarkan lagu-lagu hits top forty juga bisa masuk dalam daftar, sebenarnya.

Walaupun begitu, Shilla dan Putri memilih tidak melakukannya. Mereka berdua malah mengayuh sepeda sekuat tenaga di siang bolong ini.

”Put, tungguin gue!” panggi Shilla pada Putri yang sudah jauh di depannya.

Putri pun menghentikan laju sepedanya sejenak. ”Cepetan, Shil! Udah jam satu, nih!”

Shilla mendengus dan terpaksa menambah laju sepedanya agar tidak ditinggalkan oleh Putri.

Begitu berhasil menyamai posisi sahabatnya itu, Shilla langsung mengeluh. ”Tunggu aja besok di sekolah! Olga dan Raka bakalan gue hajar. Nggak solider banget sih jadi temen!”

Putri mengangguk setuju sambil mengunyah permen karetnya dengan kuat, menahan kekesalan pada Raka dan Olga sebisa mungkin. Kemudian ia dan Shilla kembali mengayuh sepeda mereka. ”Setuju! Asyik-asyik aja mereka pada ngorok di rumah, sementara kita sepedaan nggak jelas cuma untuk pergi ke rumah narasumber….”

Shilla menyeka keringat di dahinya. ”Biar mampus! Katanya tim, tapi apaan nih? Mereka harus dilaporin ke Bu Icha supaya dikeluarin dari tim mading sekolah! Biar kita berdua aja yang kerja, Put!”

Putri diam sejenak, lalu berujar tidak setuju dengan pelan, ”Jangan dong.”

Shilla mendelik tajam. ”Heh? Lo ada di pihaknya siapa, sih? Katanya tadi kita sama-sama mau ngehajar Olga dan Raka? Tapi kenapa lo malah ngedukung mereka?”

”Yeee,” ujar Putri sambil mengunyah permen karet. ”Gue sih setuju aja ngebantuin lo ngehajar mereka. Tapi gue nggak setuju ah kalau mereka dikeluarin dari tim.”

”Lah? Kenapa?” tanya Shilla sambil menghentikan sepedanya mendadak. Putri, walaupun heran kenapa Shilla berhenti, mengikuti apa yang temannya itu lakukan. Tiba-tiba Shilla mengganti topik, ”Istirahat dulu, yuk. Duduk-duduk.”

Putri menatap rerumputan tebal sekitar jalan teduh yang kelihatan empuk untuk diduduki. Well, istirahat sebentar tidak ada salahnya, kan?

”Ayok!” Putri menyanggupi.

Mereka berdua pun duduk di rerumputan. Setelah mendapat posisi duduk yang nyaman, Shilla kembali pada topik semula. ”Kenapa lo nggak setuju Olga dan Raka dikeluarin dari tim? Mereka nggak ada kerjanya, kan? Buktinya sekarang, yang pergi ke rumah narasumber, cuma lo sama gue doang.”

”Gini… nulis laporan untuk mading itu kerjaan mereka, kan?” Putri berusaha menjelaskan, masih sambil mengunyah permen karet. ”Lo nggak inget pembagian tugas? Gue yang bertugas nyari ide untuk mading dan mempersiapkan wawancara, lo bagian foto-foto, dan mereka berdua yang nulis artikel sekaligus ngedekor. Lah? Siapa dong yang bakalan nulis di mading kalau mereka nggak ada?”

”Iya, iya,” ujar Shilla. ”Tapi kan, untuk tugas wawancara, kita harus kerjain bareng-bareng. Sementara yang ngerjain sekarang, gue sama lo doang.”

”Tapi kan tetep aja nggak ada yang nulis di mading kalau mereka nggak ada. Sori ya, tapi tulisan tangan lo jelek, kan? Gue juga. Dan kalau kita ngetik di laptop pun, artikel yang kita bikin nggak bisa sekeren artikel Olga.”

Pikiran Shilla melayang ke sindiran Bu Icha yang selalu mengatakan bahwa tulisannya persis seperti tulisan dokter—alias susah dibaca. Shilla hanya bisa memutar bola matanya dan karena ia sedang malas berdebat, ia hanya berkata, ”Terserahlah.”

Kemudian Shilla merogoh bagian dalam tasnya, berusaha mengambil botol minuman yang seingatnya selalu disimpan di sana. Rasa haus yang menyerang kerongkongannya sejak tadi tiba-tiba semakin dahsyat. ”Minuman gue mana, ya… haus banget nih.”

”Lupa kali,” timpal Putri sambi mengambil botol air minum dari dalam field bag-nya. ”Nih, minta minuman gue aja.”

Shilla meraih botol air minum yang disodorkan Putri. ”Thank you. Kayaknya gue emang lupa, deh.”

”Lo sih emang pelupa.”

”Ngomong-ngomong, kok lo nggak minum? Nggak haus?”

”Masih ngunyah permen karet,” kata Putri. ”Entar manisnya ilang kalau gue minum.”

”Perasaan tu permen dari tadi lo kunyah, deh,” Kata Shilla. ”Kok manisnya belum ilang?”

”Kalau yang ngunyah anak manis kayak gue, ya pasti manis walaupun manisnya udah hilang,” kata Putri sambil tertawa kecil.

Shilla ikut tertawa kecil. Tumben sahabatnya yang perfeksionis sejak kecilnya itu bercanda! Tapi kemudian tawanya berhenti ketika ia teringat isi tasnya yang baru saja ia buka.

Kalau ia tidak salah lihat… sepertinya ada barang penting yang tidak ada di dalam tasnya?

”Eh? Kayaknya gue lupa sesuatu, deh,” kata Shilla pelan sambil merogoh-rogoh isi tasnya lagi.

”Apa lagi, Shil?” tanya Putri lemas. ”Capek gue. Sifat pelupa lo nggak ilang-ilang dari dulu.”

”Bantuin gue, dong,” kata Shilla, meminta tolong dengan nada memelas. ”Kali aja barangnya bener-bener penting, dan gue nggak bisa ngelanjutin hidup gue kalau barang itu nggak ada.”

”Lebay!” komentar Putri. ”Sini deh, gue bantuin check! Tisu, ada?”

”Ada.”

”Uang?”

”Ada.”

”HP?”

”Ada.”

”Air minum?”

”Lo kan tahu sendiri kalau gue lupa bawa air minum,” ujar Shilla jengkel. ”Gimana, sih?”

Putri nyengir lebar. ”Sori, sori. Kan gue lagi berusaha nginget-nginget isi tas lo. Yang biasa gue lihat itu… cuma tisu, uang, HP, dan air minum! Nggak salah dong, kalau gue sempet nyebut air minum?”

Shilla memutar bola matanya. ”Terserah lo, deh. Yang jelasnya apaan ya, yang gue lupain?”

”Mana gue tahu,” timpal Putri cuek. Karena sudah malas membantu Shilla, ia pun berbaring ke rerumputan dan menutup wajahnya menggunakan kedua tangan, entah berusaha tidur atau malas menatap sekitarnya. ”Gue udah sebutin isi tas lo yang biasa gue lihat, dan… sebenarnya itu juga bukan urusan gue, sih.”

”Sadis,” kata Shilla. ”Eh, gue serius nih… kok gue jadi gak tenang, ya?”

”Ngomong-ngomong, udah jam berapa nih?” tanya Putri, masih sambil menutup wajahnya. ”Belum telat kan, wawancaranya? Narasumber udah dihubungin dan wawancara dijanjiin jam setengah dua, lho.”

Shilla menatap jam tangannya. ”Udah jam… satu lewat lima belas.”

Putri langsung terbangun dan berteriak, ”Gila! Ayo pergi! Kita cuma punya waktu wawancara sampe jam dua, lho! Pertanyaannya kan, banyak! Belum lagi foto-fotonya!”

Shilla menepuk dahinya. ”Nah! Itu dia!”

”Apa?”

Shilla teringat kameranya yang baru saja ia pakai semalam untuk memotret ratusan foto Ai, adiknya, dan tertinggal di dalam kamar—karena ia masih berusaha mengedit sekaligus memindahkan foto-foto itu ke netbook. ”Kamera gue ketinggalan! Gimana mau foto-foto sama narasumber?”

Putri melotot. Horor. ”Jadi… jadi… jadi… gimana ngambil foto-fotonya?”

”Ya, nggak bisa foto-foto. Eh, pulsa gue sekarat, nih,” kata Shilla buru-buru sambil mengambil Blackberry-nya dan memeriksa pulsa lewat *888#. ”Nggak bisa SMS apalagi telepon Olga, Raka, atau siapa pun buat bawa kamera.”

Putri mengambil napas beberapa kali, berusaha menenangkan diri.

”Udahlah,” ujar Putri lesu. Ia naik ke sadel sepedanya dan mulai mengayuh sepeda secepat yang ia bisa. Lalu ia berteriak ke Shilla yang jauh tertinggal di belakangnya, ”Lupain aja kameranya! Kita bisa wawancara tanpa kamera, kan? Atau bisa juga sih, pakai kamera HP. Tapi foto lewat kamera HP juga hasilnya nggak terlalu bagus!”

”Emm. HP lo mana, sih?”

Lowbatt,” kata Putri. ”Kalau nggak lowbatt juga pasti gue udah neror Raka dan Olga buat dateng.”


Bersambung

Comments

Popular posts from this blog

Contact Me

About Me: The New Version

#1 Proses Novel "Inikah Rasanya Cinta"