Minggu Keenam di Jerman (AFS Indonesia - Jerman 2016/2017)


CHAOS AND HECTIC WEEK!

1

Minggu ini dingin banget (winter is coming!). Suhu di daerah Lüneburg bahkan pernah jatuh sampai -8 derajat Celcius. Nggak sedingin negara-negara Skandinavia, sih (sampai -17 derajat Celcius), tapi tetap aja dingin. Aku mah apa atuh, sama air-conditioner (AC) aja menggigil.

Itulah kenapa aku sayang banget sama dua benda ini: heater (pemanas ruangan) dan mantel. 

Seandainya bisa, aku bakal meluk mereka terus. 24/7. 

Tapi mana mungkin aku terus-terusan meluk heater? Aku juga nggak bisa terus-terusan pakai mantel, karena orang-orang biasanya ngegantungin mantelnya di cantolan atau sandaran kursi begitu masuk ke sebuah ruangan.

Tapi, dua hari yang lalu, ruang kelasku dingin banget. Jauh lebih dingin dari biasanya. Kayaknya gara-gara Sophie, nih! Dia suka banget bukain jendela lebar-lebar, jadi angin dari luar masuk ke dalam kelas (asli, tiap ngelihat Sophie ngebukain jendela, aku ngerasain dorongan kalbu untuk nge-smackdown dia) (tapi nggak berani) (aku lemah, Guys). 

Karena keselamatanku terancam (apa, sih, Ran), akhirnya aku terpaksa ngambil mantelku dari sandaran kursi. Nggak kupakai di badan, tapi ku-uwel-uwel (bahasa Indonesia-nya apa, ya? Pokoknya kujadiin buntelan gede), terus kupeluk.

Es war sehr warm! (anget banget gila!).

Sambil tetap meluk buntelan mantel, aku (berusaha) belajar. Di sekelilingku, temen-temen lagi sibuk ngerjain tugas dengan serius. Suasana kelas tenang, kondusif, dan damai, dah, pokoknya. Nggak ada satu pun bunyi atau pun suara.

EH TAPI TIBA-TIBA...

Kling.

Kling.

Kling. 

KOIN RECEHANKU, YANG KUSIMPEN DI SAKU BUNTELAN MANTEL, JATUH.

MANA JATUHNYA PAS SUASANA LAGI SUPERTENANG, LAGI!

Aku deg-degan. Orang-orang mulai ngelihatin aku, termasuk guruku. Muka mereka campuran antara menghina, kasihan, dan pengin ketawa. Dalam hati, aku teriak, asdfghjkl naha sih hidup aing gini banget?!

Nggak ada yang bisa aku lakuin selain ngomong, "E-e-es tut mir leid." (Maaf).

2

Malam Senin kemarin, untuk pertama kalinya, aku dan host family-ku pakai jasa delivery sebuah restaurant untuk mesen makan malam. Kami sepakat untuk sama-sama mesen baguettes (semacam roti panjang), tapi isi rotinya beda-beda. 

Host sister dan host dad-ku pengin yang isinya selai strawberry.

Host mom-ku pengin yang isinya salad.

Aku pengin yang isinya perasaan tulus.

...

.......

Duh garing. Maaf, ya.

Lanjut.

Aku, yang kangen sama masakan pedes (asli, sambal terpedes yang pernah kucobain selama di Jerman rasanya kayak saus tomat), akhirnya mesen spicy chicken. Pakai curry sauce, dong, biar mantap. Kalau istilah anak-anak gaul Indonesia sekarang, sih, 'mantab jiwa' (asli, Guys, ini maknanya apa, sih?). 

EH SETELAH NUNGGU SEJAM LEBIH...

Mbak delivery-nya salah nganter pesananku. 

Aku mesen rasa spicy chicken, yang datang malah rasa selai strawberry. 

Bolot banget, yak (maaf). Spicy chicken sama Erdbeere Marmelade (selai stroberi) miripnya di mana, coba? 

Tapi baelah. Kalau udah lapar, mah, sikat!

EH TAPI...

Pas aku baru mau makan rotiku, tiba-tiba host sister-ku ngambil roti itu, ngebuka isiannya, TERUS NYAMPURIN ROTI ISI SELAI STRAWBERRY ITU DENGAN CURRY SAUCE YANG JUGA AKU PESEN TADI. 

CURRY SAUCE, LHO. 

CURRY SAUCE.

SAUS KARI.

DICAMPUR SAMA SELAI STROBERI.

DAN PAS AKU LIHAT LEBIH CERMAT, TERNYATA SUWIRAN AYAMNYA JUGA ADA.

Suwer, ngelihatnya aja nggak kuat! Merah neon nyampur sama cairan kuning kehijauan, terus ada gumpalan-gumpalan ayam dan potongan seledri. Geleuh!

Host sister-ku ngembaliin roti itu ke aku sambil senyum, tanpa sadar kalau aku shock berat. Dia bahkan sempat ngomong dengan nada bahagia yang kedengeran lembut, "Guten Appetit, Rani." (Selamat makan, Rani).

Aku pasrah sepasrah-pasrahnya. "....o-oke. Guten Appetit."

I've never been that sick!

3

Jadi, hari Senin, aku ketinggalan bis karena ternyata halte bisnya ganti tanpa ngasih pengumuman. Karena nggak mau ngerepotin host family untuk jauh-jauh ngejemput aku, akhirnya aku berusaha mandiri (mantap, kan). Ini rencanaku: 

1. Beli Milka dulu sebagai camilan. Wajib ini, mah. Fardlu 'ain.
2. Naik bis Kreideberg, turun di stasiun Bahnhof (stasiun utama Lüneburg).
3. Dari stasiun Bahnhof, naik bis tujuan Kirchgellersen (daerah dekat rumah host-fam-ku).

Siap!

Supaya nggak sepi-sepi banget, aku nunggu bis bareng salah satu temen kelasku. Sebut aja Putri (bukan nama sebenarnya).

Setiap jam istirahat, aku selalu ngumpul bareng geng-nya Putri. Tapi aku jarang banget ngomong sama Putri, karena dia pendiem. Agak serem juga, sih, soalnya penampilannya dia gothic, Man. Maskara tebel, smokey eyes, rambut dicat ungu, sampai lipstik cokelat tua. Tulisan di choker-nya aja: F*CK U ALL. 

Beda banget, kan, sama aku (please jawab iya). 

Sambil ngemil Milka bareng, kami ngobrol. Awalnya cuma tentang American Horror Story, cat rambut temporer, dan hal-hal lain yang sebenernya nggak penting. Biasa aja, lah, intinya mah. 


EH TERUS...


Aku dan Putri lagi ngobrol tentang cat kuku (kukunya dia panjang dan selalu dicat), waktu bis kami datang. Deru bis dan suara anak-anak yang lagi nungguin bis kedengeran ribut banget, jadi aku dan dia nggak bisa fokus ngobrol. Kami harus ngerasin suara dan fokus ngedengerin.

NAH.

Pada suatu kesempatan (asik), aku nanya ke dia sambil teriak, "Warum sind deine Nägel sehr lang?" (Kenapa kuku-kuku kamu panjang banget?").

Dia jawab pakai bahasa Inggris, "Because my blablablablablablablabla...." (Karena blabla-ku blablablablablabla).

Karena aku nggak denger, aku minta dia ngulangin jawabannya. Volume suaraku kunaikin (sampai kedengerannya kayak nyolot dan kaget) waktu aku nanya, "SORRY? ENTSCHULDIGUNG?!" (Sori, apa? Kagak denger).

EH MUKANYA DIA BERUBAH JADI AGAK KETUS. 

AKU BINGUNG, KAN. Aku salah apa, nih?

Ternyata yang dia ucapin tadi adalah... "My ex-girlfriend doesn't like it." (Mantan pacarku (cewek) nggak suka kuku pendek) (note: Putri juga cewek).

Aku diem bentar. "............oh." 

Ngelihat ekspresinya dia, aku deg-degan. Waduh, Putri marah, nih. Jangan-jangan, dia mikir kalau aku homophobic (semacam nentang LGBT). Padahal suwer aku nggak nyolotin dia. Tadi, pas dia ngomong, aku beneran nggak denger! 

Ah, baelah.

4


Sebenarnya aku nggak pengin nyeritain ini. Tapi mau nyeritain apa lagi, ya, supaya postingan ini panjang? Minggu ini nggak banyak cerita lucu, sih (note: buat orang yang ngerasa terlibat di cerita ini, please atuh, ya, jangan ilfeel).

Jadi gini...

Temenku, panggil aja Paijo (cowok, tinggal di Indonesia, bukan nama sebenernya) nawarin tuker-tukeran kartu pos. Karena ngirim kartu pos di zaman serbadigital ini menurutku unik dan lucu, aku setuju. 

Akhirnya, hari Senin minggu lalu, aku berangkat ke kantor pos, deh, dianterin sama host mom-ku.

NAH.

Di perjalanan menuju kantor pos, host mom-ku nanya, "Rani, wer sendst du deine Postkarte?" (Rani, kartu posnya mau dikirim ke siapa?)

Kujawab, "Paijo."

"Paijo (bukan nama sebenarnya)? Ist er Deutscher? Sein Name ist oft in Deutschland." (Paijo? Dia orang Jerman? Banyak, lho, orang Jerman yang pakai nama itu).

"Nein, er ist Indonesier. Der Name ist oft in Indonesien auch." (Bukan, dia orang Indonesia. Nama itu nggak cuma banyak di Jerman, tapi di Indonesia juga. Pasaran emang) (LAH JAHAT)

"Ach so. Wer ist Paijo?" (Oh... Paijo itu siapa, sih?)

"Mein Freund." (Temenku).

LAH EKSPRESI MUKA HOST MOM-KU KOK TIBA-TIBA BERUBAH? Tadinya mukanya agak datar, tapi sekarang sambil senyum-senyum gitu. DAN, host mom-ku tiba-tiba nanya puluhan pertanyaan yang agak personal (nggak apa-apa, sih, tapi aneh aja). Paijo umur berapa? Tinggal di mana? Bandung juga? Kalian ketemunya gimana? Lalalalala?

Aku, yang nggak curiga, ngejawab-jawab aja, dong. 

Eh tapi, setelah seminggu berjalan, aku mulai curiga. 

Kenapa? Karena host sister-ku somehow tau Paijo dan pernah nanyain tentang Paijo ke aku.

Aneh, kan?

Walaupun sempat bingung, akhirnya aku ngebiarin aja, sih. Da gak penting-penting amat. 

Tapi akhirnya kebingungan itu terjawab waktu hari ini, host sister-ku ngobrol sama temennya tentang temennya dia yang lain, terus dia pakai kalimat 'ein Freund'. Bukan 'mein Freund.'

Aku, yang penasaran, akhirnya nanya, "Was ist die Differenz von 'ein Freund' und 'mein Freund'?" (Perbedaannya ein Freund dan mein Freund apa, sih?).

Host sister-ku ngejawab pakai bahasa Inggris, "ein Freund means 'a friend of mine', mein Freund means 'boyfriend'." (ein Freund artinya temen, mein Freund artinya pacar (cowok).

Aku mangap.

"......oh......." 

Berarti minggu lalu aku salah ngomong.

Berarti udah seminggu ini host family-ku ngira aku punya pacar.

Padahal mah......................

.........KAGAK...........

............

......

....

Duh jadi bingung pengin ketawa atau mewek.

5

Minggu ini nggak cuma hectic dan chaos buat aku doang, tapi juga buat temen-temenku di sini. Minggu ini banyak Klausur (semacam ulangan penting), dan banyak dari mereka yang stres. Salah satu temenku bahkan sempet nangis selama dua jam pas nerima hasil Klausur Matematika-nya. 

Sebenernya ini cerita sedih, sih. Nggak lucu.

TAPI JADI LUCU WAKTU SALAH SEORANG TEMENKU BAWA TISU KOTAK GEDE, TERUS SALAH SATU SISINYA DIA TEMPELIN KERTAS DENGAN TULISAN: Im Fall von Klausur, Mathe, und dummen Menschen (untuk kegagalan karena ujian, Matematika, dan manusia-manusia bego).

Kebaca, nggak? Kalau nggak, coba dinaikin brightness handphone/laptop-nya

HAHAHAHAHAHAHAHA.

HAHAHAHAhahaha...

hahahah-a-h-a...

...

Please bilang ini lucu.


6

JALAN-JALAN BAHAGIA BARENG PPI HAMBURG KE HAMBURGER DOM! 








7

Sebelum pergi ke Jerman, aku sempat bikin daftar hal-hal yang pengin aku lakuin sebagai exchange student di sini. Salah satu hal itu adalah: ikut tim olahraga!

Jujur, aku nggak jago olahraga. Nggak jago banget, malah. Pernah nekat ikut latihan tim basket SMA, sih (BARENG ALIYA), tapi bukan karena jago atau pengin nyari pengalaman. Tapi karena pada suatu hari, nggak tahu dapat hidayah dari mana, tiba-tiba kami pengin berubah jadi cewek  YANG PRODUKTIF DAN NGGAK MAKAN TERUS.

Alasanku pengin ikut tim olahraga di sini bukan karena pengin sok produktif dan kurus kayak dulu, sih. Tapi karena aku pengin nyobain hal-hal baru. Aku emang nggak bisa olahraga. Mageran. Gembul. Disuruh push-up sekali aja, nyawa melayang setengah.

Tapi apa salahnya untuk nyoba?

.

Akhirnya, setelah mikir-mikir olahraga apa yang cocok, aku milih salah satu olahraga yang paling jarang aku temuin di Indonesia: handball!

Makin asing permainannya, makin seru!

Handball mirip dengan basket, tapi nggak terlalu perlu badan tinggi karena nggak perlu loncat-loncat masukin bola ke dalam ring. Cukup lompat dikit (atau malah nggak usah) untuk masukin bola ke gawang sepakbola. Udah.

Gampang banget.

KAGAK DENG BOONG.

SUSAH.

Pertama kali main, napasku ngos-ngosan karena 1) nggak biasa olahraga, dan 2) lapangan indoor-nya gede banget. Terus, karena aku gabung di tim yang udah jago, otomatis aku jadi yang paling bego. Untungnya temen-temenku pada baik mau ngajarin dan nggak ngusir (walaupun kadang ngetawain karena aku mainnya aneh). 

SEDIH, DEH.

BERASA KAYAK BADUT. 

MANA CAPEK BANGET, LAGI.

Pas latihan selesai dan aku pulang, asli deh, badanku rasanya remuk (PS: besok paginya, aku susah gerak karena badan sakit semua). Aku sempat nyumbang dua gol, sih (sombong, dong), tapi tetep aja sedih (dikit) karena nggak bisa sebagus mereka.

Di rumah, host mom-ku ngomong, "Jangan sedih dan jangan terlalu dipikirin. Ini latihan pertama kamu. Nggak ada orang yang bisa jago secara instan, Rani."

Aku balas, "Iya. Nggak apa-apa, kok."

"Tapi kalau kamu nggak kuat atau nggak mau, nggak usah dipaksa," kata host mom. "Badan kamu pegel semua, ya?"

"Iya."

"Kamu mau keluar dari tim handball dan berhenti main?"

Aku diem sebentar. Apa?

Berhenti?

Dari dulu sampai sekarang, buat aku, nggak pernah ada kata berhenti. Aku boleh istirahat, ngeluh, atau bahkan nangis supaya lega, tapi aku nggak boleh berhenti (kecuali kalau aku udah berhasil, atau aku mati).

Itu prinsipku yang paling kuat. Dan, percaya nggak percaya, prinsip itu berhasil ngebawa aku sampai ke tempat dan posisi yang bagi orang lain (mungkin) cuma mimpi.

Orang-orang cuma ngelihat aku happy-happy di Jerman, tanpa tahu perjuangan sebenernya gimana. Untuk sampai ke sini, aku perlu ikut bertahap-tahap seleksi selama setahun dan ngalahin 7.000 lebih peserta tes se-Indonesia. 

Orang-orang cuma ngelihat aku pindah dan tinggal sendirian di Bandung, sekolah di sekolah bagus, dan berhasil beradaptasi di sana, tanpa tahu rasanya gimana. Ada waktu di mana rasanya pusing ngurusin makan, kamar kos, sekaligus sekolah sendirian. Ada waktu di mana rasanya nyaris gila ngerjain soal SIMAK UI, SBMPTN, dll yang nyaris selalu dijadiin soal ulangan harian (yes, this extreme thing exists in my school). Ada waktu di mana aku ketiduran di karpet kamar temen kos (itu pun cuma satu jam) setelah ngerjain tugas gambar teknik yang naudzubillah ribetnya. Ada waktu di mana aku ngerasa tolol banget, sampai bingung pengin tetap jujur atau ngambil 'jalan pintas'. 

Orang-orang cuma ngelihat aku promosi blog dan launching fiksi-fiksi, tanpa tahu kalau ada hari di mana jariku kaku dan sakit setelah ngetik lebih dari 10.000 kata dalam sehari. Ada hari di mana karya aku ditolak setelah berbulan-bulan struggling. Ada hari di mana aku nggak bisa tidur karena mikirin revisi dan plot cerita (sampai kebawa mimpi pas tidur). Ada hari di mana aku ngerasa mimpi untuk jadi penulis itu nggak akan kesampaian--cuma bakal jadi bulan yang selamanya dimimpiin pungguk.

But, after all those hard and tiring times, I did not stop. 

Dan itu yang buat aku berhasil nyentang sebagian besar wishlist-ku.

"Nggak," jawabku ke host mom. "I will never stop."

Comments

  1. Rani makasih banget loh yaaa ceritanya ngehibur banget ditengah-tengah kegalauanku #apaansih bakal nungguin cerita-ceritamu selanjutnya yaaa xoxo

    ReplyDelete
  2. Rani, this post is (somehow) still funny, your humor skill on writing has not (yet) decreased, don't be sad, keep writing!!!

    ReplyDelete
  3. You really motivating me!;;;; Danke schön! Kadang baca blog ini juga bikin aku percaya kalau segala impian itu bisa tercapai jika bener-bener mau berusaha.
    Oh iya, guru deutsch-ku pernah cerita soal "mein Freund" dan "ein Freund" itu di kelas, jadi saat baca dialog "mein Freund" itu aku udah curiga kalau host-mom Kak Rani bakal salah paham, ternyata beneran xD

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Contact Me

About Me: The New Version

#1 Proses Novel "Inikah Rasanya Cinta"