Tentang Pangeran Berkuda Putih
Dari lahir sampai tua
nanti, kita tetaplah kita.
A tetap A.
B tetap B.
Rani tetap Rani.
Nama di kartu pengenal kita
tetap sama. Wajah kita tetap sama (paling yang berubah cuma raut dan kulitnya
aja) (kecuali operasi plastik atau sulam-sulaman anggota wajah, ya). Personality
juga tetap sama. Kalaupun beda, bedanya pasti gak jauh-jauh banget dari
sifat dan sikap sebelumnya.
Tapi ada satu hal yang
mungkin selalu berubah: mind-set.
Yeah. Pikiran dan point of view kita dalam memandang
sesuatu pasti selalu berubah drastis, dipengaruhi oleh di mana kita bergaul dan
bersama siapa.
.
My parents raised me with
many Princess stories, such as Cinderella,
Snow White and the Seven Dwarfs, Beauty and the Beast, etc. Nah, karena
keseringan nonton pangeran-pangeran fiksi, waktu kecil, aku percaya kalau
cowok-cowok seperti pangerannya Cinderella-lah yang harus jadi 'panutan'.
Pokoknya, kalau cowok gak
pakai jas, mukanya gak bersih mengilap, dan gak naik kuda warna putih, berarti
dia gak ganteng dan gak pantes jadi pacar siapa pun.
Di zaman SD, entah kenapa,
semuanya berubah (halah). Di zaman itu, yang keren itu cowok-cowok yang jago
main bola, paling friendly, dan larinya paling cepet se-sekolahan.
Beranjak SMP, kriteria
cowok keren udah ganti lagi. Karena trends udah berubah dan mereka
mulai puber (wkwk aku ngetiknya geli sendiri), cowok keren adalah cowok yang
diem-diem nyoba rokok, pakai skinny jeans, dan ngumpul sama temen-temen
yang gak kalah keren. Wahaha.
Pas SMA, semuanya jadi
lebih kompleks lagi. Cowok keren adalah cowok yang memenuhi kriteria cowok
keren SMP, tapi ditambah dengan kriteria; perutnya sixpack, bawa
mobil sport (yang harganya astaganaga naudzhubillah min dzalik) atau
Ninja dkk, dapet invitation party di ballroom hotel atau
cafe mahal, mukanya putih berseri-seri (perawatan kali ye), ikut ekskul
beken, dan hits (semacam famous gitu).
.
Awal-awalnya, aku juga
mikir gitu (namanya aja kebawa pergaulan). Temenan sama cowok cupu, agak
melambai, dan sederhana sih gak apa-apa, tapi kalau sampai deket? Mm...
nanti-nanti dulu, ow-ow-ow *nyanyi*
But everything changed when
I met him (lebih tepatnya sih when
I realized that he was there) (badalah).
Pertama kali ngeliat dia...
biasa aja. I didn't even notice him. Mukanya biasa aja,
badannya ceking, kulitnya sawo matang (dan jelas gak perawatan), baju
seragamnya malah cenderung kaku dan cupu (bajunya jarang keluar dari pinggang
celana, lho).
Berbulan-bulan pun berlalu
(halah), sampai akhirnya ada sebuah chat yang masuk ke handphone-ku.
It was from him.
"Tugas
kita gimana?"
-_- Ya Tuhan. Hari
gini masih bahas tugas? Minggat o ae, Cup! Cupu!
Asli deh aku males banget
balas chat-nya, tapi demi silaturahim yang terjalin dengan baik dan
benar, aku bales deh (walaupun balasnya cuma 'bsk aj dbhs') (iya, singkat
banget).
Eh, gak tahu kenapa,
tiba-tiba chat kami mengalir panjang x lebar. Dari awalnya cuma bahas
tugas (aku jadi ketularan cupu deh) (ealah padahal dari awal emang udah cupu),
eh tiba-tiba bahas banyaaaaak banget. Aku bahkan tahu rahasianya, dan dia tahu
aibku (yeah, I'm full of aib).
Awalnya biasa aja, sih.
Iya, biasa. Aku kan gak baperan (badalah), tapi suatu hari, he texted
me.
"Besok
nonton yuk?"
"Nonton
apa?"
"XXX"
XXX adalah sebuah tontonan
(bukan film, drama, teater, dan lain-lain) yang biasa aja (sumpret deh), tapi
aku beneran mau nonton itu!
So, I replied:
"EH
AYO! NONTON! BENERAN, YA?!"
"Sure.
Hari Minggu, ya."
"HORE!"
(iya, aku emang heboh banget kalau udah excited)
Pas hari H XXX main, aku
berangkat dengan semangat (badalah) ke tempat pertunjukan, terus nunggu di
dekat pintu masuk. Iya, nungguin dia. Singkat cerita, I waited for him
sooooooo long. Tapi dia gak dateng-dateng! Akhirnya, aku chat:
"Jadi
nonton gak?" (nanyanya sok cool, padahal dalam hati udah mau memutilasi)
"Jadi,
kok. Kamu masuk duluan aja. Tunggu aku, ya."
(dalam
hati: HOW DARE YOU LET ME WAIT FOR 10 CENTURIES! (iya, lebay tenan)).
Kujawab: "Ya udah, iya."
Akhirnya aku masuk duluan
dengan bete. Pertunjukannya udah mulai sekitar 5 menit, jadi aku tambah bete.
Penginnya sih marah-marah, tapi hakku apaan? Mungkin dia punya kegiatan lain
yang lebih penting / lebih seru dari nonton XXX.
Then, I tried to enjoy XXX.
Setelah setengah jam
nonton, eh ternyata, XXX-nya seru banget! Padahal pertunjukan XXX-nya sendiri
belum selesai, lho! Sumpah! DAN HAHAHA DIA GAK NONTON! SYUKURIN! SIAPA SURUH
GAK DATENG?!
Supaya dia iri, di
tengah-tengah pertunjukan, aku buka handphone dan nge-chat dia.
Aku cerita kalau XXX itu seru banget dan dia rugi karena gak nonton.
Eh, pas baru aja aku mau
mencet tombol 'send', tiba-tiba chat dari dia masuk:
"Aku
udah di sini, lho :p" (pakai emoticon melet)
Aku
ngernyit, terus noleh ke pintu masuk dan balas: "Di mana?"
"Di
belakangmu."
Secara otomatis, aku noleh
ke belakang.
And yes, he was
there.
Dia gak pakai baju
bergambar simbol XXX dan berwarna orange seperti penonton lain,
tapi pakai seragam yang penuh keringet. Mukanya juga keringetan (tanda kalau
dia bener-bener capek). Tapi dia tetap semangat dan senyum.
Wow. Setelah semua
kegiatannya, dia bela-belain datang nonton XXX.
Aku balik ke depan lagi,
terus lanjut nonton. Tapi pikiranku udah gak fokus ke XXX yang tambah seru. I
dont' know why, tapi semenjak saat itu, aku ngeliat dia secara beda. Aku
ngeliat dia dari 'mata' yang lain.
Dia bukan pangeran yang
naik kuda putih. Bukan si friendly yang jago olahraga. Bukan kapten
basket ganteng yang bawa mobil sporty.
Dia cuma dia. Cowok biasa
dan sederhana. But, at least for me, he means like all my world.
.
Badalah. Serius tenan to
kowe.
Comments
Post a Comment