Minggu Keduapuluhtujuh dan Keduapuluhdelapan di Jerman (AFS Jerman - Indonesia 2016/2017)

Prolog: 
Setelah berbulan-bulan ikut seleksi AFS, akhirnya aku berangkat juga ke salah satu negara di Eropa yang terkenal karena automotif, bahasanya yang astaganaga, dan film Habibie - Ainun: 

JERMAN! 

Grundsätzlich, serial Minggu-Minggu di Jerman ini cuma cerita tentang pengalaman pribadiku setiap minggu aja, sih. Update-nya setiap hari apa? Nggak tentu. Kalau lagi pengin nulis, ya update. Kalau nggak... tetep update, sih. Tapi digabung sama postingan lainnya.

Makanya follow aja atuh hehehe (lah).

Ngomong-ngomong, pengin promosi Wattpad boleh? https://www.wattpad.com/story/103483462-kinan-dan-juni
xoxoxoxoxoxoxoxoxoxoxoxoxoxoxoxoxoxo
xoxoxoxoxoxoxoxoxoxoxoxo
xoxoxoxoxox
xoxox
xo



Movie of the week: 
Banyak. Salah satunya adalah The Intouchables (Ziemlich Beste Freunde). Ceritanya kurang-lebih tentang seorang penyandang tuna daksa (kelumpuhan) yang nyari pengasuh pribadi. Selama ini, yang ngelamar pekerjaan itu banyak banget. Tapi nggak pernah ada yang cocok. 

Nah, suatu hari, seseorang yang 'petakilan' ikut daftar, tapi tujuannya bukan supaya diterima kerja--melainkan supaya dia dapat tanda tangan. Nantinya, tanda tangan itu bakal dia tunjukin ke 'pemerintah', sebagai tanda kalau dia udah ikut interview kerja, tapi nggak diterima (jadi, dia bakal tetap dapat uang dari pemerintah) (di sebagian besar negara Eroga, pengangguran emang dibiayai negara).

Eh tapi, sialnya, orang itu malah diterima kerja HAHAHA.

Aku juga nonton Beauty and the Beast di bioskop. Sempat streaming Titanic juga tengah malam (diikuti oleh mimpi buruk).

Music of the week:
Kahitna - Andai Dia Tahu
Musiknya dreamy dreamy gimana, gitu. Lirik 'Andai dia tahu' juga nyes. 

Bilakah dia tahu
Apa yang telah terjadi 
Semenjak hari itu
 Hati ini miliknya

Andai dia tahu.... 
 View of the week:
Salju di atas pegunungan! I am in love!

xoxoxoxoxoxoxoxoxoxoxoxoxoxoxoxoxoxo
xoxoxoxoxoxoxoxoxoxoxoxo
xoxoxoxoxox
xoxox
xo

Lagi liburan paskah dan musim semi, nih!

Kalau liburan gini, rasanya seneng, deh. Bebas ngelakuin apa pun selama dua minggu. Tapi, ada sisi negatifnya juga, sih: susah ngumpulin cerita lucu. Cerita kocak nan koplak emang biasanya terjadi di sekolah.

1

Minggu ini, aku ngelakuin banyak hal. Mulai dari ikut kuliah bareng Teh Nisa (mahasiswi di Lüneburg) di Leuphana Universität (ngomong-ngomong, kuliahnya susah), nulis cerpen, sampai nge-volunteering untuk yang kesekian kalinya di Waldkindergarten (TK).

Ngomong-ngomong, waktu hari pertama nge-volunteer di sana, Klaus (salah satu guru TK) ngelihatin aku tongkat jalan (biasa dipakai oleh kakek-nenek) buatan dia sendiri. Tongkat itu dibuat dari kayu dengan tinggi kurang lebih semeter. Bentuknya mirip dengan tongkat sihir Harry Potter, tapi jauh lebih panjang.

Terus, Klaus nawarin aku tongkat itu. "Rani, kamu mau, nggak?" 

Aku heran. Kenapa Klaus nawarin, yak? Aku kan belum butuh tongkat jalan? 

Tapi ya udah, lah. Jawab aja 'mau' biar cepet. "Mau."

"Nih."

EEEEE.

DIKASIH BENERAN.

Aku kaget. "Eh, nggak usah, deh. Nggak apa-apa. Lagipula tongkatnya kebesaran, nggak bisa aku bawa pulang ke Indonesia."

"Ya udah," kata Klaus. "Tapi, kalau kamu mau, aku bisa bikinin tongkat dengan ukuran yang lebih kecil."

Aku, sih, ngangguk-ngangguk aja. "Siap."

EEEE, DI HARI KEEMPAT NGE-VOLUNTEER, BENERAN DIKASIH, DONG.

BUKAN TONGKAT JALAN, SIH, TAPI... TONGKAT SIHIR HARRY POTTER BENERAN!



Jujur, setelah dikasih tongkat ini, aku nggak ngebantuin Klaus dan guru-guru TK lagi. Aku malah asyik main sihir-sihiran sama Kimmy dan Greta (dua siswi TK yang gemesnya minta ampun) di halaman TK. 

Kimmy jadi kuda berkaki dua, Greta jadi orang yang berdiri di belakang Kimmy sambil megangin tali di leher Kimmy (penunggang kuda), sementara aku jadi penyihir yang tidur-tiduran di bangku sambil ngegerak-gerakin tongkat sihir. Kalau tongkatku ke kanan, Kimmy dan Greta lari ke kanan. Kalau ke kiri, Kimmy dan Greta lari ke kiri. Kalau ke atas, Kimmy dan Greta lompat. Kalau ke bawah, Kimmy dan Greta jatuh.

HAHAHAHA emang sangat berfaedah diriku ini.

2

He he he he he.... biar jelek yang penting sombong....



3


Setelah ngehabisin seminggu pertama liburan di Lüneburg doang, akhirnya aku liburan ke tempat lain juga: München, Konstanz, Zürich, dan Friedrichshafen. Friedrichshafen ini adalah tempat placement-nya temenku, Bela (AFS Indonesia - Jerman). 

Ngomong-ngomong, letak kota placement-nya Bela jauh banget dari letak placement-ku, dah. Aku di  Lüneburg yang mendekati Hamburg (utara banget), sementara dia di tepi Bodensee mendekati Swiss (selatan banget). Sebenarnya aku nggak pengin dateng ke sana, tapi karena kasihan (Bela maksa-maksa terus, gengs), akhirnya aku yang baik ini datang juga.

Ada banyak banget hal absurd yang kejadian selama di sana. 

Pertama, kami ketemu sama orang Indonesia!!! asdfashkgsadlfj!! (biasa aja, sih).

Gini ceritanya:

Jadi, kami lagi naik U-Bahn (semacam KRL bawah tanah) dari München Hauptbahnhof (stasiun kereta api Munich) menuju salah satu stadion sepak bola paling terkenal di dunia, yaitu Allianz Arena (hehe, iya. Kami berdua yang sama-sekali-nggak-ngerti-sepak-bola ini nonton pertandingan sepak bola di sana).



Nah, di U-Bahn itu, kami duduk di bangku berkursi empat yang desainnya kurang lebih begini:


Ya Gusti, ilustrasinya gini amat, yak. 
Mana nyolong dari TokoBagus, lagi.

Pertama-tama, aku dan Bela duduk bersampingan di bangku bagian kiri, sementara bangku di depan kami kosong. Tapi, setelah ngelewatin dua stasiun, dua orang (satu laki-laki, satu perempuan) (kayaknya pacaran) (atau malah udah nikah) masuk ke dalam U-Bahn dan duduk di depan kami. 

Sementara Bela asyik main handphone, aku ngelihatin dua orang itu secara saksama. Kenapa? Karena, kayaknya, mbaknya (yang juga lagi main handphone) itu orang Indonesia! Yakin ini mah! Setelah hidup enam bulan di Jerman, aku punya kemampuan untuk membaui orang Indonesia lain, guys

(((( membaui ))))

Lanjut. 

Aku ngelihatin Mbaknya terus, sambil sesekali ngelirik Masnya di sampingnya (secara fisik, Masnya jelas orang Eropa).

Nah. Mungkin karena risih, akhirnya Masnya ngelihatin aku juga. Terus dia ngebisikin sesuatu ke Mbaknya. 

Aku nggak mau kalah, dong. 

Aku ngomong ke Bela, "Bel, kayaknya Mbak di depan kita ini orang Indonesia, deh."

Bela diem doang, nggak mau nanggepin (jahat emang) (ngomong-ngomong, pas Mbak dan Masnya udah pergi, Bela ngomong ke aku: Tau nggak, Ran, kenapa aku diem aja? MALU, RAN, MALU) (HAHAHA jadi aku yang malu-maluin, Bel?).

Terus, walaupun Bela diem, aku masih nyerocos, "Bel, mbaknya orang Indonesia. Aku yakin. Aku bisa tahu itu."

Bela tetep diem, malah tambah nunduk.

Aku nyenggol sikunya Bela. "Bel, ngobrol pakai bahasa Indonesia, yuk. Kalau mbaknya orang Indonesia, pasti di-notice, deh."

Tepat setelah aku ngomong gitu, Mbak-nya nyolek kami (atuh si Mbak nyolek-nyolek) sambil nanya, "Mbak, dari Indonesia, ya?"

YIIIHHHHAAAA!

Maaf, guys. Entah kenapa, tiba-tiba aku ngerasain atmosfir kemenangan. 

Dengan antusias, aku dan Bela ngejawab, "I-iya, Mbak. LHO? MBAKNYA JUGA?!" (SENGAJA SOK KAGET BIAR DRAMATIS).

Singkat cerita, setelah itu, kami ngobrol banyak. Sementara aku dan Bela nyeritain rasanya jadi exchange students di Jerman, Mbaknya nyeritain tentang kehidupannya di Swiss. Mbaknya juga cerita kalau dia pernah kuliah di Malang sebelum akhirnya nikah sama orang Swiss dan ngambil Ausbildung (sekolah lanjut) untuk kerja jadi suster.

Sementara Mbaknya cerita (Masnya juga kadang-kadang nimpalin), aku dan Bela melongo. Mereka kelihatan bahagia banget, deh. Pegangan tangan, saling bercanda pakai bahasa campur-aduk, dan ngejelasin enaknya hidup di Swiss gimana. We can see their happiness in their eyes! 

Well, sejak saat itu, cita-citaku dan Bela adalah nikah sama orang Swi--EEEEEEE KAGA. 

3

Di liburan kali ini, aku dan Bela ngujungin empat tempat: München, Konstanz, Friedrichshafen, dan Zürich. Tapi, dari empat kota itu, nggak ada yang benar-benar terencana. Semuanya kami datengin dengan modal nekat, kemendadakan, dan koin-koin Euro kembalian supermarket

.

#1
Hari pertama, kami ke München. Seperti yang udah aku tulisin di atas, kami ke Allianz Arena.

Sebenarnya, kami nggak ada rencana apa-apa selain foto di luar Allianz Arena. Hemat waktu dan biaya, coy. Tapi, herannya, pas kami tiba di sana, udah ada ribuan orang yang pakai seragam biru-biru! Bahkan ada orang Malaysia segala!

TERNYATA LAGI ADA PERTANDINGAN!

MASA UDAH JAUH-JAUH KE SINI, NGGAK NONTON PERTANDINGAN?!

YAKALI??!

Akhirnya beli tiketnya, deh, walaupun nggak tahu apa-apa. Kami bahkan baru tahu nama klub yang main pas udah duduk di dalam stadion, hehe. Greget, kan?

KAGA.

GENDHENG ITU NAMANYA. 

Dan, begitu masuk ke dalam stadion, AKU DAN BELA SALAH TEMPAT DUDUK! Kami, cewek kerudungan slim (ea), duduk di tengah-tengah penggemar bola fanatik yang barbar. Barisan di depan kami nonton sambil minum-minum, di samping kanan-kiri kami ngerokok, dan di belakang ada yang teriak-teriak mulu (literally teriak-teriak sampe kami budek) karena gawang tim yang dia dukung nyaris kebobolan puluhan kali.

Mantap #learningnewcultures #TerimaKasihAFS




.

#2
Hari kedua liburan? Kami jalan-jalan ke... KAGAK TAHU KE MANA.

Awalnya, kami pengin ke Meersburg. Tapi, di bis menuju stasiun kereta, tiba-tiba kami pindah haluan ke Freiburg. Tapi karena Freiburg jauh banget, akhirnya kami ganti tujuan ke Lindau. Tapi, pas udah sampai di depan mesin tiket kereta otomatis, kami malah ganti haluan ke Konstanz. Karena Konstanz gak bisa dicapai menggunakan kereta, akhirnya kami nyari bis menuju Konstanz. Eh, malah ketemu bis menuju Zürich. Akhirnya pengin ke Zürich. Eh, jadwal bisnya nggak pas sama plan kami. 

Akhirnya, setelah perdebatan sengit dan kami nyaris cakar-cakaran, kami pergi juga ke Konstanz. 

EH TAPI, SETELAH PERJALANAN PAKAI KAPAL SELAMA EMPAT PULUH MENIT DAN KAMI UDAH SAMPAI DI KONSTANZ, KAMI MALAH BENERAN PENGIN KE ZÜRICH.

#TerGendheng2k17 

Well, karena rencana itu bener-bener mendadak, kami sama sekali nggak punya persiapan. Kami harus rela beli tiket kereta yang Allahu Akbar mahalnya (karena nggak beli dari jauh-jauh hari), makanya uang di dompet kami bener-bener habis. Sisa serpih-serpih koin Euro doang! Serius! Mana ada insiden salah beli tiket kapal segala, lagi (harusnya beli dua, malah kebeli tiga) (pintar emang). 

Setelah beli tiket kereta, kami punya waktu lima menit untuk ngejar kereta sekaligus ngambil uang dulu.

EH TAPI...

1) Nggak ada layar/pengumuman tentang kereta kami ada di jalur mana; dan...
2) MESIN ATM-NYA RUSAK!

*insert senyum ikhlas* 

Alhamdulillah, setelah panik luar biasa, kami masih sempat ngejar kereta. Pakai lari sekuat teenage segala, lho. Jadi, pas udah duduk di dalam kereta, kami kecapekan + gelisah (karena nggak bawa duit). Dan, karena itu, secara nggak sengaja kami duduk di gerbong 1. Klasse (first class) (padahal tiket kami second class)!

Kelihatan, kan, plang 1. Klasse-nya

Ya Gusti, untung kami nggak dapat pemeriksaan tiket. Kalau dapet, modyar--di dompet kami bener-bener cuma koin doang. Aku punya enam Euro, Bela punya delapan Euro. Kalau disuruh bayar denda, bayar pakai apa, he?

Perjalanan menuju Zürich kami lewatin dengan agak gelisah. Kenapa? Ya iyalah. Kami sedang dalam perjalanan menuju salah satu kota termahal di Europa hanya dengan uang 14 Euro di dompet (ngomong-ngomong, just in case ada yang nggak tahu, Zürich itu ibukota negara Swiss). Mana yang bawa kartu ATM cuma aku, lagi. Bela bawa upil doang.

Tapi baelah. S a n t a i... kan masih bisa ngambil uang lewat ATM di Zürich.

.

Setelah sampai di Zürich Hauptbahnhof (stasiun kereta utama Zürich) yang besarnya naudzubillah (noraknya kelihatan), aku dan Bela nyusun rencana dulu: 1) ngambil duit, 2) beli tiket pulang, 3) makan siang di tempat yang ada Wi-Fi-nya, 4) ngehubungin temen-temen AFS yang dapat placement di Swiss, dan 5) jalan entah ke mana karena kami bener-bener gak tahu pengen ke mana. 

Akhirnya, pertama, ngambil duit dulu di ATM dekat Burger King. 

EH, DAPAT MASALAH BARU: kami baru inget kalau mata uangnya Swiss itu CHF!

Sambil ngotak-atik mesin ATM, aku nanya ke Bela, "Bel, satu Euro berapa CHF, sih? Searching Google, dong."

"Nggak ada Wi-Fi."

"Wkwk gendheng."

"Wkwk elu yang gendheng."

"Ya udah, deh, balik ke mesin kereta otomatis dulu, ya? Lihat harga tiket balik ke Jerman berapa, terus kita ambil uangnya lebihan dikit untuk biaya makan dan jalan-jalan."

"Siap."

Eh, pas kami balik ke mesin tiket kereta otomatis, kami dapat masalah baru: kagak ngerti gimana cara pakenya. 

Ya Gusti, satu masalah belum kelar, masalah yang lain malah dateng.

Untung kami strong.

Akhirnya terpaksa ngotak-ngatik lagi, deh (dan baru berhasil sepuluh menit kemudian, itu pun nggak ada keterangan jam berapa dan di jalur kereta yang mana) (asli, kagak ngerti lagi aku sama mesin tiket kereta Swiss). 

Setelah itu, kami balik ke mesin ATM, ngambil 100 CHF (ngomong-ngomong, uang CHF kayak uang monopoli, hehe), terus beli tiketnya, deh. Mahal banget, hehe. Pokoknya sisa uang kami bener-bener dikit, hehe. 

Akhirnya, kami makan siang di Burger King!

Dalam rangka penghematan karena kondisi finansial kami benar-benar memprihatinkan, akhirnya aku dan Bela sepakat cuma beli enam potong chicken wings, terus dibagi dua. Nggak beli minum. Malu, sih, tapi nggak apa-apa, deh. Muka harus ditebelin dulu demi numpang nge-Wi-Fi.

Sambil makan, Bela coba nge-chat Ichi dan Nia (AFS Indonesia - Swiss). Sayangnya, mereka berdua nggak bisa nemenin. Sebenarnya, Bela sempat ketemu sama Ichi (yang kebetulan lagi menuju Zürich Hauptbahnhof), sih. Tapi sebentar doang, soalnya Ichi lagi ngejar kereta. 

Aku? Aku lagi sibuk makan, hehe. Jadi nggak bisa ketemu Ichi.

#Tergembrot2k17.

Lanjut. 

Setelah selesai makan di Burger King dan dapat rekomendasi ke Zürich Lake dari Nia, kami berangkat, deh. Sempat pusing nyari letak S-Bahn nomor 11 di mana, tapi akhirnya ketemu setelah nanya ke orang-orang di halte. 

S-Bahn di Zürich mahal, ih. Dua kali lipat dari harga Jerman (ngomong-ngomong, coba tebak, deh: kami beli tiket S-Bahn-nya atau nekat langsung naik aja?) :)

Tapi, akhirnya, kami sampai juga di Zürich Lake. Foto-foto dan keliling-keliling sebentar doang, sih.

Oh iya, kami juga sempat naik bianglala di taman bermain dekat Zürich Lake!

Sebenarnya, pas ngelihat bianglala itu, aku nggak pengin naik. Aku udah pernah naik bianglala di Hamburger Dom dan rasanya biasa aja, mana harganya lumayan, lagi. Tapi karena Bela maksa-maksa, akhirnya kami naik, deh. 

Eh tapi, pas kami udah beli tiket (pake uangku, karena Bela nggak megang duit sama sekali) dan naik, ternyata kagak ada sabuk pengamannya!

Biasanya juga kagak ada, sih. Tapi bianglalanya rapuh, gan! Goyang-goyang mulu!

Aku sebenarnya agak takut, sih. Nggak kebayang kalau bianglala ini tiba-tiba rusak, jatuh, terus aku terlempar entah ke mana. Tapi, aku coba nikmatin aja. Dengan kameraku, aku ngambil banyak foto pemandangan Swiss dari atas. Cantik!

Setelah itu, aku nyuruh Bela untuk senyum. "Bel, foto, Bel."

EE KAGAK MAU DIA.

"Emoh, ah," kata Bela. Mukanya campuran antara takut, nyengir, dan gelisah. Persis kayak waktu  kebelet. "Aku takut."

EE BUSET.

DIA YANG MAKSA NAIK, DIA JUGA YANG TAKUT.

MANA AKU YANG BAYAR, LAGI.

Siap.

Muka kebelet HAHAHA

Setelah turun dari bianglala, kami jalan-jalan ke sekitar Hauptbahnhof. Karena chicken wings Burger King terlalu kecil untuk perut kami yang besar, akhirnya kami pengin makan lagi. 

Sebelumnya, kami udah tahu diri: dengan sisa-sisa uang kami (cuma sebuah koin 10 Fr yang malang), kami nggak bakal mampu makan di restauran. Akhirnya kami masuk ke restauran cepat saji penyelamat: McDonald's!

Hormat kami padamu, Ronald

Tapi, begitu masuk dan ngelihat menu yang terpampang... KAGA ADA MENU DI BAWAH 10 CHF.

KAGA ADA. 

TISU DOANG SAMA SEDOTAN.

Akhirnya... kami keluar lagi. 

Pengalaman yang berkesan. 

4

Selama liburan di Friedrichshafen, aku nginep di rumahnya Bela.

Jujur, aku agak takut. Host mother-nya Bela itu... gimana, ya... baik, sih. Tapi serem. Badannya besar, rambutnya hitam kaku, kacamataan, raut mukanya tajam, dan di setiap fotonya dia jarang senyum. Dia juga sebenarnya bukan orang Jerman, tapi Kazakhstan (she speaks Russisch). 

Kan aku jadi deg-degan. 

Apalagi pas hari terakhir.

Jadi, di hari terakhirku di Friedrichshafen, Bela harus praktikum di rumah sakit (apa itu praktikum? Anggap aja kayak nge-volunteer). Pokoknya, dia harus berangkat jam setengah delapan pagi dari rumah dan baru pulang sore nanti, jadi dia nggak bisa nganterin aku ke stasiun bis pas pengin pulang. 

Nah. Karena dia nggak bisa, jadi yang bakal nganterin aku itu host mother-nya dia (nggak cuma nganterin, sih, tapi juga sarapan bareng, dll). 

Nah, ada cerita pas sarapan. 

Aku dan host mother-nya Bela sarapan di ruang televisi. Kami ngobrol, sih, tapi nggak terlalu banyak. Terus, karena aku lagi lapar-laparnya, aku cicipin aja semua yang ada di meja makan. Pisang, apel, roti (dua malah), telur, sampai yoghurt. 

Nah, pas lagi sibuk ngunyah, tiba-tiba host mother-nya Bela ngomong dengan nada datar, "Rani, du isst viel." (Kamu makannya banyak, ya).

PRANG! 

Masih dengan pipi menggembung karena makananku belum ditelen, aku diem. Bengong. Suasana tiba-tiba hening. Host mother-nya ngelihatin aku dengan muka tajam. Jantungku rasanya njeder-njeder nyeri. 

KUDU GIMANA, DONG...

AKU MAKANNYA EMANG BANYAK.... (ketahuan gembrotnya).

Di dunia ini, ada dua tipe budaya. Pertama, budaya 'tuan rumah senang kalau tamunya makan banyak, karena berarti tamunya menghargai', dan kedua, budaya 'tuan rumah nggak suka kalau tamunya makan banyak, karena berarti tamunya nggak tahu diri'. 

NAH... HOST-MOTHER-NYA BELA MASUK TIPE YANG MANA...


Terus, di tengah-tengah keheningan (kenapa jadi kayak puisi, ya), tiba-tiba host mother-nya Bela ketawa lepas sambil ngusap-usap lenganku dengan tangannya yang besar. "Nggak apa-apa, Rani... nggak apa-apa... saya suka kalau kamu makannya banyak." 

"...................he... he...." (pengin ketawa tapi takut dipiting). Alhamdulillah... selamat nyawaku....

Host mother-nya Bela nyodorin yoghurt lagi. "Yak, makan lagi! Ayo!"

Siap, Mom. 

Kagak disuruh juga bakal aku telan.

Nggak garing, kan, ya

Comments

Popular posts from this blog

Contact Me

About Me: The New Version

#1 Proses Novel "Inikah Rasanya Cinta"