Minggu Keduapuluhenam di Jerman (AFS Indonesia - Jerman 2016/2017)

Prolog: 
Setelah berbulan-bulan ikut seleksi AFS, akhirnya aku berangkat juga ke salah satu negara di Eropa yang terkenal karena automotif, bahasanya yang astaganaga, dan film Habibie - Ainun: 

JERMAN! 

Grundsätzlich, serial Minggu-Minggu di Jerman ini cuma cerita tentang pengalaman pribadiku setiap minggu aja, sih. Update-nya setiap hari apa? Nggak tentu. Kalau lagi pengin nulis, ya update. Kalau nggak... tetep update, sih. Tapi digabung sama postingan lainnya.

Makanya follow aja atuh hehehe (lah).

Ngomong-ngomong, pengin promosi Wattpad boleh? https://www.wattpad.com/story/103483462-kinan-dan-juni


Song of the Week: 
Tell Me If You Wanna Go Home - Keira Knightley
Oh Sugar, you don't have to be so sweet
I know who you're going to meet 
Don't say that I don't

Movie of the Week:
Minggu ini, aku nonton banyak banget film. Tapi... sepertinya... Amelie (Le Fabuleux Destin D'Amélie Poulain) harus jadi movie of the week.

View of the Week:
Can't write it.
Too fabulous 'til it left me shivering.

.

Minggu ini adalah minggu yang... hmm... let's just say: Highlight week of my exchange year!

Minggu ini diawalin oleh film Le Fabuleux Destin D'Amélie Poulain (dalam bahasa Jerman: der Wunderbare Welt der Amelie). Film ini pasaran, sih. 80% orang Jerman dan Prancis kayaknya udah pernah nonton (sotoy). Tapi tetep aja: aku suka banget! 

Saking sukanya, tiap pulang sekolah pasti aku tonton lagi. Lagi. Dan lagi. 

Sampai hapal. 

1

Jujur, sebenarnya aku sempat bingung pengin ngehabisin weekend ini (07 - 09 April) dengan cara apa. Temen-temenku pengin dateng ke pesta, temen-temen exchange students-ku pada ngumpul di Hamburg (mereka selalu ngumpul, sih, tapi aku nggak pernah dateng), dan ada workshop. Tapi, akhirnya, aku milih... ikut workshop!




Judul workshop-nya adalah Ankunft bis Zukunft (Ankunft artinya arrival, sementara Zukunft artinya masa depan). Workshop-nya dilaksanain di sebuah wisma di Barendorf selama tiga hari (nginep). Pada dasarnya, workshop ini ngebahas tema integritas yang didasarkan pada pengalaman pengungsi-pengungsi dari daerah perang. 

Kami ngebahas banyak banget, dah. Mulai dari topik diskriminasi, ekstremismus, sampai sesi sharing dari beberapa pengungsi. 

Menurutku, topik yang paling argh itu adalah... topik diskriminasi. 

Jadi, kami duduk di lingkaran besar, terus kami saling berargumen tentang keadilan. Kalau semua orang dapatnya sama, adil nggak? Kalau adil, kenapa? Kalau nggak adil, kenapa? Apa keuntungan dan kerugiannya? Blablablabla?

Pokoknya mumet. Mana ujung-ujungnya argumen itu ngejurus ke filosofi, lagi (sesuatu yang selama ini aku hindarin). Percaya, deh, berfilosofi pakai bahasa yang bukan bahasa ibu kita itu susah (sebenarnya ada penerjemah, sih, tapi hanya bahasa Farsi dan Arab).

Bahasa Indonesia? Kaga ada. Apalagi basa Sunda -_-

Tapi ada juga topik yang seru banget: sesi sharing dari beberapa pengungsi.

Beberapa pengungsi ini nyeritain pengalaman mereka 'nyusup' ke tanah Eropa. Mulai dari berangkat dari Iran, jalan kaki berhari-hari untuk nembus perbatasan Turki, naik kapal ke Yunani, sampai akhirnya tiba di Sisilia (Italia), terus lanjut bergerak ke utara.

Ada pengalaman lucu, nih (nggak lucu, deng). 

Jadi, Abduh (salah satu pengungsi) cerita ke para peserta workshop kalau temennya di Suriah pernah ngomong, "Abduh, kalau kamu udah sampai di Prancis, santai aja. Kamu bakal baik-baik aja, kok. Tapi, kalau kamu sampai di Jerman, kamu harus hati-hati. Mereka serem. Pokoknya ribet, deh, masalah visanya." (bener, sih) (jadi inget perjuangan ngurus visa)

"Oke."

EH TAPI, DI PRANCIS, ABDUH MALAH KETANGKAP DUA KALI--mana ribet, lagi.

Sementara, pas di Jerman... dia ketangkep juga, sih. Sekali. Tapi....

Petugas imigrasi Jerman (atau polisi, ya? Lupa) nanya, "Paspor kamu mana?" 

Ditanya kayak gitu, Abduh panik. Kenapa? Pertama, karena dia nggak bisa bahasa Inggris maupun Jerman. Kedua, karena di dalam paspornya itu nggak ada visa apa pun. Bersih! Kalau ketahuan petugas imigrasi, dia harus pindah ke negara lain lagi... 

Tapi, instead of pura-pura kesurupan (something I'd like to do if I were him) (garing, Ran), Abduh ngasih paspornya. Jantungnya deg-degan. Dia pasrah. Badannya juga lemes, apalagi waktu ngelihat petugas itu ngebolak-balik paspornya untuk nyari visa. 

EH TAPI, akhirnya, petugas itu ngomong sambil senyum, "Ya, silakan lanjut."

Abduh natap mata petugas itu. "......"

"......"

"..."

"..."

Terus, dalam keheningan... mereka... 

...jatuh cinta.

EEEEE YAKALI WKWK.

Sorry, sorry. Jangan di-close, atuh, bercanda doang ini. 

Lanjut, ya? Lanjut.

Terus akhirnya Abduh pergi, deh. 

Oh iya. Ada satu cerita yang bikin aku merinding. Salah satu pengungsi lain (sebut aja Ronaldo) cerita kalau dari Libya, dia datang ke Eropa naik kapal berukuran 8 x 8 meter (itu pun melancip di bagian ujungnya) bareng 153 orang selama dua hari.

8 x 8 meter. Bareng 153 orang. Dua hari.

Bujubuneng. Naik pesawat Jakarta - Hannover aja aku setengah mampus, apalagi ini...

Setelah Ronaldo nyeritain itu, pemateri workshop nyuruh para peserta untuk maju ke tengah-tengah ruangan dan berdesakan. Aku yang pendek ini kehimpit di tengah-tengah--jangankan gerak, napas aja gerah. 

Terus, pemateri workshop ngomong, "Bayangin kalian ada di posisi itu dalam kapal yang bergerak-gerak selama dua hari."

"..."

Abduh nambahin, "Sebenarnya lebih parah dari itu, sih."

"..." (2)

Well, kesimpulannya, kita (kita? Lo aja, kali) (Ya Gusti receh amat) harus banyak-banyak bersyukur dan belajar untuk tetap kuat ngehadapin masalah. Tingkat kesulitan masalah masing-masing manusia emang nggak bisa diukur, sih, tapi kenikmatan bisa makan tiga kali sehari, tidur di atas kasur, dan punya baju bersih itu udah cukup untuk disyukuri, kok (lah bijak).

Selain belajar banyak dari workshop ini, aku juga kenal sama orang-orang baru yang asli keren pisan. 

Aku kenal sama Mohammad, pengungsi asal Afganistan yang udah satu setengah tahun tinggal di Jerman. Dia punya bakat musik yang luar biasa. Dia baru nyentuh gitar selama delapan bulan, tapi mainnya udah keren banget! Sungha Jung! (ngomong-ngomong, nulis nama Sungha Jung gimana, sih?). 

Dan, yang paling bikin salut: setelah belajar gitar, dia udah bertekad bakal belajar piano secara otodidak lewat Youtube. Keren, keren....

Selain Mohammad, ada juga Yafar (dari Afganistan juga). Aku udah kenal Yafar sejak lama, sih, tapi baru kali ini aku tahu hobinya dia.

"Aku suka bahasa Inggris," kata Yafar bangga.

Kubalas, "Keren. Kayaknya aku nggak pernah ketemu orang Afganistan lain yang bisa bahasa Inggris selain kamu."

"Aku nggak terlalu jago, sih," kata Yafar. "Tapi aku pernah belajar sedikit di Afganistan. Aku juga sempat jadi penerjemah antara supervisor dan temen-temen dari Afganistan. Oh iya, aku tahu semua tenses, lho. Ada dua belas, kan?"

"Kalau nggak salah, ada enam belas atau delapan belas (lupa). Tapi yang sering dipakai emang cuma dua belas, sih."

Asli, keren!

Aku juga kenal sama salah satu pengungsi (sebut aja Oyon) (kenapa Oyon? Nggak tahu. Tiba-tiba inget sinetron Kepompong) yang kocak banget. Kerjanya ngerusuh, bikin ketawa, dan ngajak ngobrol.

Pada suatu malam, dia nanya aku, "Warum bist du in Deutschland?" (kenapa kamu di Jerman?)

Kujawab, "Ich bin Austauschülerin. Ich muss hier lernen." (aku ikut student exchange, jadi aku harus belajar di sini) (nggak harus, deng) (kemudian dikeplak Kak Sari) (sorry, Kak, bercanda).

Oyon diem bentar. Kayaknya dia nggak paham konsep pertukaran pelajar. "...bist du alleine?" (Kamu sendirian di sini?)

"Ich bin alleine gekommen, aber hier wohne ich bei einer Deutsche Familie." (Aku datang sendiri, tapi aku tinggal bareng keluarga Jerman di sini).

Oyon diem lagi, masih belum paham. "Umm... hast du Eltern in Indonesien?" (Kamu punya orangtua, nggak, di Indonesia?)

Kujawab, "Punya." 

"Kamu nggak sayang sama orangtuamu? Kenapa kamu malah tinggalin mereka dan pindah ke sini?"

"...................." (berusaha nyari kalimat yang tepat untuk ngejelasin konsep student exchange) "Bukan gitu, Yon, tapi aku--"

Oyon, sambil gulang-guling di atas meja (manusia yang satu ini emang nggak bisa diem), ngomong, "Kalau aku masih punya orang tua, aku nggak bakal tinggalin mereka. Aku bakal tetap tinggal di Iran. Sayangnya, mereka udah meninggal."

"..."

Ya Gusti, nggak sanggup aku dengernya.... please, stop the war....

Oyon ngelanjutin, "Sebenarnya aku pengin pulang, Ran. Keponakanku (umurnya lima tahun) tiap hari nelepon dan nanyain kapan aku pulang."

"...terus kamu jawab apa?"

"Kujawab, aku bakal pulang kalau kamu udah nanam bunga di depan rumah."

"............terus?"

Oyon nyengir. "Eh, dia nanam bunganya beneran. Hahaha. Terus, dia nelepon aku lagi, ngabarin kalau bunganya udah ditanam, dan nanya aku di mana. Kujawab aja, maaf, kapan-kapan, ya. Aku nggak bisa pulang sekarang.

"....................." (jujur, aku bingung antara pengin nimpuk atau ngasih simpati).

Udah, ah. Sedih aku ngetiknya.

Lanjut.

Selain belajar dan ketemu orang-orang baru, kami juga seneng-seneng, kok. Ada acara api unggun (sayangnya, aku ketiduran), dance, dan energiser (semacam game gitu). Karena salah satu panitia workshop ini adalah anak AFS yang bakal berangkat ke Panama tahun depan, kami banyak main game yang sering kumainin di camp AFS (aku bosen banget!). 

Tapi, ada juga game yang superseru:

Jadi, seluruh peserta workshop dibagi ke dalam kelompok-kelompok kecil berisi dua puluh orang. Kelompok ini duduk melingkar, terus berhitung (satu sampai dua puluh) (satu orang dapat satu nomor) (ngerti, nggak?)

Nah, salah satu dari dua puluh orang itu harus berdiri di tengah-tengah dengan mata tertutup. Tugasnya dia adalah nyebutin dua nomor (contohnya: dua dan lima), terus orang yang dapat dua nomor itu harus tukeran tempat duduk (nomor dua pindah ke tempat nomor lima, dan sebaliknya). Sementara itu, orang yang berdiri di tengah-tengah (matanya ketutup) tadi harus berusaha nangkap salah satu orang yang tukeran tempat duduk. Kalau berhasil, gantian.

Seru banget! Gak bisa dijelasin, deh, serunya kayak apa.

Selain seneng-seneng, kami juga ngelakuin banyak hal yang berguna, kok. Di hari terakhir workshop, kami disuruh ngebikin proyek untuk pembangunan kota Lüneburg (pemerintah Lüneburg bakal ngebantu bidang finansial!)

Awalnya, kami ngumpulin ide-ide proyek barengan,  terus para panitia workshop ngelompokin ide-ide itu menjadi lima kelompok besar: Musik, Olahraga, Bahasa, Sosial, dan Proyek Besar. 

Nah, para peserta workshop disuruh masuk ke salah satu kelompok yang paling menarik minat mereka.

Dari awal ngebaca ide-ide proyek, aku langsung tertarik untuk masuk kelompok Proyek Besar. Kenapa? Karena ide-idenya menarik banget. Ada ide untuk ngebuat restauran, bikin tour sepeda, sampai bikin Statdführung (tur kota) untuk ngepromosiin kota Lüneburg (menurutku, ide terakhir ini adalah ide yang paling menarik). 

Untuk ngerjain proyek-proyek kelompok Proyek Besar, jelas kami butuh banyak orang. EH TAPI, CUMA ADA DUA ORANG YANG NIAT GABUNG KE KELOMPOK PROYEK BESAR!! 

Orang pertamanya jelas aku.

Orang keduanya... sebut aja Andy.

:(

Jujur, aku takut sama Andy. Andy ini salah satu 'otak' organisasi Jugend für Geflüchtete (organisasi pemuda yang bergerak di bidang sosial, terutama masalah pengungsi-pengungsi dari negara perang). Dia cerdas dan kalem, sih... tapi jarang senyum... pokoknya serem, ah. 

Begitu tahu kalau aku bakal kerja bareng dia nanganin proyek besar, aku pengin pindah ke kelompok Sosial. 

Tapi nggak. 

Hanya karena ada orang yang nggak aku suka, bukan berarti aku bisa mundur.

Akhirnya aku coba bertahan, deh (e jadi inget Glenn Fredly), walaupun nggak tahan. Kelompok lain kerjanya sambil seneng-seneng santai, aku sama Andy ngerjainnya bener-bener serius dan secepat mungkin. Kami ngebahas konsep, persiapan, dan lain-lain.




Terus udah.

EH, SETELAH ITU, TERNYATA HARUS PRESENTASI.

Kelompok lain presentasinya mah gampang. Selain karena anggotanya puluhan (anggota kelompok Bahasa jumlahnya tiga puluhan, guys), para peserta yang nggak berasal dari Jerman juga nggak harus bicara (ikut tampil doang).

Lah, aku apa kabar....

Karena cuma berdua bareng Andy, aku terpaksa harus ikut bicara. Aku deg-degan setengah mampus! Aku suka, sih, bicara di depan umum. Tapi dalam bahasa Jerman? Tanpa teks? Mendadak? Di depan banyak orang, termasuk salah satu petinggi perusahaan yang diundang? Astaga. Big no.

But I did it. 

Dan, walaupun presentasiku amburadul, proyek ini bakal berlanjut! Tiga bulan lagi aku pulang ke Indonesia, tapi semoga aku masih dapat kesempatan untuk bantu ngurusin. 

.

Aku rasa workshop ini bener-bener salah satu highlight exchange year-ku. I found the other side of myself here, sesuatu yang terlalu susah (bahkan nyaris nggak mungkin) untuk kujelasin cuma lewat tulisan blog. Well, aku selalu ngerasa kalau aku tuh kurangnya banyak banget--but, for the first time in forever, I am proud of myself. 

.

PS: Ngomong-ngomong, aku sempat sedih (banget) di hari ketiga. Kenapa?

Karena, pas sarapan bareng-bareng di hari kedua, ada bertumpuk-tumpuk telur rebus setengah matang di buffet prasmanan! Aku, sebagai penggemar terberat telur rebus setengah matang digaremin, semangat, dong. Tiga telur ludes di perutku, bahkan aku sempat kepikiran untuk nambah atau bawa beberapa butir ke kamar. 

Terus, setelah seharian ikut workshop, aku cepet-cepet tidur dengan harapan bakal ketemu telur rebus besok paginya.

Tapi ternyata, besoknya nggak ada telur rebus :(

Padahal udah sampai kebawa mimpi :(

Dikasih harapan palsu mah aku udah biasa. Tapi baru kali ini aku ngerasa kecewa banget, kayak dikhianatin gitu (apa, sih, Ran) (tapi serius) :(

2

Tepat setelah workshop, aku langsung pergi ke rumah temenku yang lagi ngerayain ulang tahunnya. J.

Sebenarnya aku malu banget, sih, dateng ke sana sambil ngegeret-geret koper dari workshop. Mana mukaku kucel banget, lagi. Aku juga takut nggak bisa berbaur sama temen-temen di pesta, secara aku kan orangnya kalem banget (ada yang muntah nggak, pas baca ini?).

Tapi... baelah. Hajar. 

EH beneran nggak bisa berbaur he he he.

Bisa, sih. Tapi lama. Pesta udah berjalan berapa jam, baru aku ikut dance di tengah-tengah ruang tamu yang udah disulap jadi diskotik. Ruangannya gelap banget, tapi ada cahaya dari stik glow in the dark. Keren, deh. 

Aku cuma dance bentar, sih. Terus kecapekan. Terus ngeringkuk di pojok sofa sambil ngemil cheetos dan selimutan. Sempat ikut keluar dan jalan-jalan sebentar bareng temen, tapi akhirnya balik ke rumah J lagi karena ngantuk. Terus pas yang lainnya main game/dance/ngobrol, aku ketiduran di sofa. 

Eh, pas aku bangun, udah pagi....

....dan cuma ada aku sama M di ruang tamu. M tidur di sampingku, pules banget. 

Ya udah. 

Aku tidur lagi.

He he he.

Sebenarnya pestanya lebih seru dari yang aku tulisin di blog, sih. Pestanya juga ngebawa perspektif lain dalam otakku (apa, sih, Ran, nggak jelas amat). Tapi aku bingung pengin nulis apa. Udahlah. 

Ngomong-ngomong, pas pulang ke rumah, host family-ku udah pada pergi liburan (Host mother-ku udah berangkat ke Kroasia dan bakal stay di sana selama dua minggu, sementara host sister-ku lagi ke pantai dan baru pulang malam nanti). Tapi aku seneng banget deh, host mom-ku ninggalin cokelat buat aku!

MILKAAAAA!!

3

Minggu lalu, aku dan Marina (AFS Brazil - Jerman) ngelukis telur dalam rangka Paskah! 


Lagi tergila-gila sama City of Stars

Aku sempat bete, sih, soalnya 1) aku salah baca jam. Acaranya mulai jam tiga sore, eh aku kira jam dua siang (dodol emang), 2) aku nyasar. Akhirnya kudu keliling-keliling sambil bawa kotak telur, dan 3) pagi-pagi kudu nyedot isi telur.  



Untuk nyedot isi telur, alat yang dibutuhin cuma peniti dan obeng. Caranya, kita ngebolongin salah satu ujung telur pakai peniti, terus ngelubangin ujung yang lain pakai obeng. Kalau udah, kita niup ujung telur lewat lubang yang lebih kecil (lubang yang dari peniti), terus telurnya keluar lewat lubang yang lebih gede, deh (iya, niupnya pakai mulut).

Emang susah. Pipi jadi sakit. Untung aja, host mother-ku punya pompa kecil gitu. Jadi, alih-alih niup pake mulut, aku cuma mompa aja. 

Oh iya, selama kami ngelukis telur, salah satu wartawan dari koran Lüneburg juga dateng untuk ngewawancarain kami (dalam rangka promosi AFS). Dia pernah jadi volunteer untuk AFS di Kolombia, lho. Keren banget mbaknya, wawasannya luas.



4

Pada suatu hari (asyik), aku ngebaca pengumuman di perpustakaan dekat sekolah: ada acara bedah buku setiap hari Selasa jam tiga sore.

Aku nggak baca dengan lengkap, sih, soalnya kepanjangan. Aku cuma baca judulnya aja ("Bedah Buku"). Tapi aku (yang lagi giat-giatnya nyari kegiatan supaya produktif) tetap dateng, dong. Akhirnya, hari Selasa, jam tiga siang kurang sepuluh menit, aku nongol di perpustakaan.

Masih sepi.

Ya udah aku baca buku dulu. 

Terus, lima menit kemudian, orang-orang pada mulai dateng.

...tapi kok kebanyakan ibu-ibu yang nganterin anaknya, ya....?

Sementara perpustakaan mulai penuh sama anak-anak kecil (mulai dari yang belum bisa jalan sampai anak usia empat tahun), aku bingung. Kok banyak anak-anak, sih? Ini bedah buku jenis apa, ya? Apa ibu-ibu ini pengin datang ke acara bedah buku, tapi terpaksa ngebawa anaknya ke sini karena nggak bisa ditinggal di rumah? (walaupun nggak masuk akal, biasakan selalu berpikir positif, gan) (pesan moral macam apa ini).

Kemudian, beberapa detik setelah jam tiga sore, akhirnya bedah buku dimulai.

EH TERNYATA, JUDUL BUKUNYA: Günther si Angsa Mencari Teman.

........

PANTESAN ISINYA ANAK-ANAK DOANG.

LAH BUKUNYA TENTANG GüNTHER SI ANGSA KESEPIAN.

Aku, di tengah kerumunan anak kecil, berusahan nyari jalan keluar. Tapi nggak bisa, ramai banget. Lagipula, kalau aku keluar sekarang, percuma. Bisku baru bakal datang satu jam lagi, dan di luar lagi berangin. 

Akhirnya, dengan terpaksa, aku ikut ngedengerin cerita tentang perjuangan Günther mencari teman bareng anak-anak kecil.

Sangat berfaedah.

Ngomong-ngomong, setelah keluar dari perpustakaan, aku nemu kertas (semacam poster) yang tertempel di dekat pintu masuk. Isinya adalah ucapan 'selamat datang' dari berbagai bahasa (tapi nggak ada bahasa Indonesia). 

Tanganku gatel, dong.

Akhirnya, setelah celingak-celinguk mastiin gak ada petugas, aku ngeluarin pulpen dan nulis ini:

"Selamat datang"
Vandalisme berfaedah. Sayangnya, tulisannya kurang gede.

5

Hasil ujian matematikaku udah keluar, guys.

Berapa nilainya? Hahaha, sudahlah. Nggak tega aku nulisnya.

Sebenarnya, matematika di Jerman itu gampang. Serius. Tapi syaratnya ada dua: 1) bisa bahasanya, dan 2) tahan sama perpindahan tema yang cepet banget. Belum tuntas melajarin satu materi, eh pindah ke materi lain, eh terus balik lagi. 

.

Jujur, I excelled mathematic at my first three months. Gampang banget, dah, cuma logaritma dan sistem persamaan linear dua variabel (mungkin aku ngerasa gampang karena materi ini murni cuma angka, nggak pakai bahasa Jerman).

Tapi, setelah tiga bulan berlalu, DYAR. 

S U S A H.

Dari logaritma dan persamaan linear, tiba-tiba kami pindah ke materi yang judulnya pun aku nggak tahu. Pokoknya teorinya banyak. Contoh soalnya: ada dua Bretter (apa, ya, bahasa Indonesia-nya? Papan, gitu?) yang disambung-sambungkan untuk mengisi air. Di sudut terbesar berapakah papan tersebut dapat menampung air terbanyak? 

Untuk ngerjain soal ini, wir müssen mit der Zielfunktion und den Nebenbedingungen etwas zu tun. 

Pokoknya ribet. 

Jujur, beberapa jam sebelum ujian Matematika, aku gugup banget. Aku udah belajar semampu mungkin, but I somehow knew that I would fail this exam, although I already tried. 

Tapi baelah. Hajar.

Jujur, baru ngelihat soalnya aja, aku udah... DYAR. Mati. Kok panjang dan belibet banget... pakai beranak a-b-c-d segala, lagi... 

Tapi, dari dulu sampai sekarang, nggak peduli sesusah apa pun sebuah ujian, pasti aku selalu berusaha untuk ngejawab soal-soalnya (atau at least nulis 'diketahui-ditanya-dijawab'). Walaupun ngawur sengawur-ngawurnya, hajar. Pokoknya tulis aja semua yang aku tahu. Yang penting udah beneran belajar.

Hasilnya... guruku ngegambar emoticon di jawabanku yang paling ngawur. Pasti ngakak, dah, pas meriksa ini.

Gokil.

Tolong jangan diterjemahin di Google Translate. Entar mati ketawa kalian.
Ngomong-ngomong, itu aku ngegambar bangun datarnya karena nggak tahu namanya dalam bahasa Jerman and I was so done with dictionary.

Comments

  1. Aku ngakak di bagian telur rebus. Dan takjub bgt soal omongan si Oyon.
    Jadi pengen kembali nulis baca post kamu, rajin amat nulisnya (maaf ya ga tahan sampai akhir). Keep going!

    ReplyDelete
    Replies
    1. Gapapa, Teh. Makasih banyak, ya! :) Teteh juga lanjut nulis atuh di blognya. Kemarin aku baca entah kenapa sedih...

      Delete
  2. Yaampun Oyon, bikin sedih tau ga:") Sebenernya aku kagum banget sama Kak Rani, hehe, bisa gitu ikut workshop yg sangat berfaeda, demi keproduktifan yg hqq, di saat aku selalu gagal saat ingin jadi manusia yg produktif:") But it's okay, I'll try harder! Thank you so much because your post always encouraging me, haha. Kutunggu post selanjutnya, Kak~

    ReplyDelete
    Replies
    1. Ya Gusti aku baca komenmu setengah nangis.
      Nggak, kok, aku juga sering ngalamin kegabutan yang hakiki--sebenarnya semua manusia pasti ngalamin. Tapi udahlah, yang penting selalu nyoba untuk aktif :) Thank you!

      Delete
  3. Ohiya maaf karena aku berasa nyepam komen:v

    ReplyDelete
  4. Foto yang terakhir itu made my day kak
    'Sejujurnya saya gak mengerti'
    Ampe dijelasin gitu ya kak

    Ada hmm nya juga

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Contact Me

About Me: The New Version

#1 Proses Novel "Inikah Rasanya Cinta"