Minggu Keduapuluhlima di Jerman (AFS Indonesia - Jerman 2016/2017)


Movie of the Week: Cuma nonton satu doang, judulnya Juno. 
Genre-nya komedi, tapi sarat kritik sosial. Aku nonton ini karena... sempat baca review-nya di buku cetak bahasa Inggris. Dapat lima bintang, lho! 

Song of the week: Lagi suka muter lagu-lagu lawas. Oh, Audition dari Emma Stone juga.

View of the week: Charles Bridge Prague waktu malam--Tuhan, I am in love.

Ngomong-ngomong, aku dan temen-temen AFS/YES Chapter Semarang 2016-2017 ngebikin video, lho. Judulnya Untuk Adik-Adik. Bagi yang punya kuota/pake wifi dan pengin nonton, mangga atuh diklik: https://www.youtube.com/watch?v=qTLCQYhi5Dc&t=120s

.

Sejujur-jujurnya, aku udah lupa ini minggu keberapa. Selain karena terlalu menikmati (asyik), aku juga males ngitung. Tapi nggak apa-apa. Anggap aja ini minggu keduapuluh lima. 

Ngomong-ngomong, mulai dari hari ini (30/03/2017), aku tinggal punya waktu 100 hari lagi di Jerman (tahu darimana? Bukan karena ngitung. Tapi karena tadi, Nia (AFS Indonesia - Swiss) ngepos foto di Instagram dengan caption "98 hari lagi". Dia pulang tanggal 7 Juli, sementara aku pulang tanggal 9 Juli. Berarti... 98 ditambah 2? 100).

Wow. Cepet banget.

Oh iya. Sebenarnya, aku udah nggak pengin ngelanjutin serial Minggu-Minggu di Jerman lagi. 

Kenapa?

Alasan pertama, karena secara nggak langsung, aku jadi ngitung detik-detik pulang ke Indonesia (halah). 

Alasan kedua, karena aku ngerasa nggak punya waktu. Serius. Sekarang, aku ngerasa waktu bener-bener berjalan dengan cepet. Setiap hari, aku punya waktu kurang lebih empat belas jam untuk bangun tidur, siap-siap ke sekolah, desak-desakan di bis (nyebelin, sih, ini), having fun di sekolah, pulang, makan siang bareng host family, ngelakuin aktivitas lain, mandi (kalau pengin), makan malam, terus tidur lagi. 

Tapi, rasanya kayak cuma dua sampai tiga jam aja.

Alasan ketiga, karena di seratus hari ini, ada banyak banget hal yang pengin aku lakuin. Contohnya, nyempurnain bahasa Jerman (ngomong-ngomong aku kesel banget, deh, udah ngapalin beratus-ratus kata baru, tapi tiba-tiba lupa), traveling ke tempat-tempat baru, bikin proyek, sampai nulis novel lagi (yes, mimpi itu masih ada). 

Alasan keempat, jenuh nulis. Sementara aku lagi asyik-asyiknya nikmatin waktu di sini.

Udah. Alasannya empat doang.

Tapi aku tetap ngelanjutin serial Minggu-Minggu di Jerman lagi, nih. 

Alasannya? Simple: aku pengin inget semuanya.

Kalau aku pulang nanti, aku pengin nginget secara detail apa yang pernah aku lakuin dan alamin di sini. Pencapaianku, temen-temen baruku, sampai pengalaman kocak yang kadang bikin aku shock setengah mampus. 

Aku juga pengin bagi pengalamanku ke temen-temen (atau adik-adik) yang belum dapat kesempatan ini. Jujur, sebelum berangkat, aku nggak tahu sama sekali apa untungnya jadi exchange student. Tahu, sih, tapi paling cuma alasan-alasan kayak 'menambah wawasan', 'menambah teman baru', dan hal-hal basi lainnya.

Tapi... really: this journey changes me. 

Buat adik-adik yang bingung/ragu/takut jadi exchange student, jangan, Dik. 

Aku nggak bisa ngejelasin alasan kenapa kalian harus jadi pelajar pertukaran, tapi pleasebelieve me.


.


Udahan, ah, basa-basinya. 

Jadi... ada apa dengan minggu ini?

Minggu ini (baca: tiga minggu terakhir ini), aku lagi sibuk-sibuknya. Banyak Klausur (ujian. I fucked up some), traveling (I went to Prague and Disneyland Paris, tapi ceritanya nyusul, ya), les Deutsch, sampai... MAIN!

Di sekolah, aku gabung sama 'geng' yang asyik banget. Geng ini berhasil matahin stereotipku tentang orang Jerman Utara yang dingin dan individualis--kenapa? Karena mereka bodor banget, asli. 

Ada Y, temen sebangkuku. Kalau dulu dia adalah emo berlipstik ungu yang pakai ikat pinggang berduri, sekarang dia berubah jadi cewek feminin pecinta unicorn yang ke mana-mana pakai cardigan. Oh iya, rambutnya udah nggak biru lagi, guys!

Kok bisa? Well, mungkin karena Y baru-baru aja punya pacar! LDR, sih, tapi cuma empat jam naik kereta, kok. Lagipula, mereka so sweet banget! Masa, pas kelasku lagi belajar, tiba-tiba pacarnya muncul dan ikut belajar...

Iya, empat jam naik kereta cuma untuk itu doang....


meanwhile me

Selain Y, ada juga S yang semakin lama semakin emo. Aku bener-bener bersyukur pernah kenal S, karena sejak kenal dia, aku nggak peduli lagi sama omongan/cap/stereotip orang-orang tentang penampilan, agama, maupun orientasi seksual. S itu biseksual, ateis (kayaknya), dan punya tindik di lidah, tapi dia orang pertama yang ngajak aku hang out dan nonton film Harry Potter bareng--kurang baik apa lagi, sih?

Dan... S ini... sering galau.

Kemarin (29/03/2017), kelasku dapat pelajaran Olahraga. Praktik. Materinya bola.

Waktu lagi ngambil bola di gudang, ada yang ngomong ke S, "S, fass dieses Ball an. Es ist kalt!" (S, pegang bolanya, deh. Dingin banget!).

S megang bolanya, kan. Eh, terus dia ngomong, "Ja. Wie mein Herz." (Iya, dingin. Kayak hatiku).

...

...kagak nyangka, dah, makhluk kayak gini bisa ditemuin di Jerman juga.

Lanjut, lanjut.

Ada juga M, salah satu manusia favorit aku. M ini orangnya sensitif dan baperan banget. Aku juga baperan, sih, tapi jauh lebih baperan dia. Asli. Nggak sengaja kesenggol aja dia langsung sayang--that's why aku sering banget dengerin dia curhat. Bukan cuma tentang satu orang, tapi lima sekaligus. 

Gila emang.

Kadang-kadang, aku juga jadi tumbal--sementara dia PDKT di aula sekolah, aku jadi obat nyamuk.

Gila emang (2)

Tapi, walaupun dia deket sama banyak orang, dia nggak pernah jadian WAHAHA--sama kayak aku.

Jadi, setiap kami ketemu dan duduk-duduk di aula setiap jam istirahat, kerjaan kami cuma dua: (1) ngeluh kalau kami bakal ended up forever alone, dan (2) nyinyirin orang-orang yang pacaran (banyak banget, asli. Noleh ke kanan ada yang gandengan, noleh ke kiri ada yang pelukan--dan kami semaput di tengah-tengah).

Dan, setiap dikasih perintah, M ini selalu ngelakuin yang sebaliknya--persis seperti temen di Indonesia yang kadang-kadang nge-chat minta solusi, tapi begitu dikasih solusi, malah ngelakuin hal yang sebaliknya (cc: Ratri dan Fiona). 

Tadi (30/03/17), pas pelajaran Seni, tugas yang kami kerjain minggu lalu dibagiin sama guruku dalam keadaan terbalik (nilainya nggak kelihatan).

Aku, yang nggak peduli (sekaligus agak takut), nggak ngebalik tugas itu. Baelah. 

Terus M nanya, "Was hast du?" (nilai kamu berapa?)

Aku jawab, "Nggak tahu. Nggak mau buka."

Eh, tanpa minta izin atau ngasih aba-aba, M langsung ngebalik tugasku.

Aku nutup mata. "Sag nicht. Ich möchte nicht wissen!" (jangan ngomong nilaiku berapa, aku nggak pengin tahu!)

"Oke," kata dia. EH TAPI, DUA DETIK KEMUDIAN, DIA NGOMONG, "Nilai kamu *piiiip*"

Hh. Kzl.

Lanjut.

Setelah Y, S, dan M, ada juga B. Aku nggak tahu, deh, pengin ngedeskripsiin B gimana. Pokoknya dia itu representasi sejati dari meme ini:



B suka banget cokelat, sama kayak aku. Jadi, kami sering saling bagi. Kalau aku beli, kubagi. Kalau dia beli, aku juga dibagi. Bedanya, kalau badannya B tetap langsing setelah makan cokelat, badanku melebar.

Setelah itu, ada juga duo J dan Z. Mereka selalu sama-sama. Mereka juga berencana liburan ke Paris sommer tahun depan. Asyik banget, kan? 

Oh iya, udah sebulan ini, J 'deket' sama kakak kelas--dan ini n.y.e.b.e.l.i.n banget! Kalau kami pengin ke kantin/toilet/supermarket/mana pun, J selalu maksa kami untuk memutar jauh banget hanya karena dia pengin ngintipin jendelanya kakak kelas. Kalau kami nggak mau, dia bakal ngomong "Bitte" (please) sampai lebaran kuda.

Udah, lah. Cukup deskripsinya. 

Lanjut.

Selain main sama geng yang bodor-nya keterlaluan itu, aku juga main sama... anak tetangga.

Karena musim dingin mulai berganti sama musim semi (asyik), suhu di luar udah mulai bisa diajak kompromi. Bahkan pernah, pada suatu hari di Lüneburg, suhunya sampai 22 derajat Celcius! Udaranya jadi kayak Bandung! 

Hari itu, aku ngelakuin banyak aktivitas di luar rumah. Mulai dari ngebantuin host mother berkebun (host mother-ku suka banget berkebun, deh, nggak tahu kenapa), nyuci sepatu, sampai akhirnya... main!

Aku nggak tahu lagi, deh; anak-anak itu lucu banget! Nama mereka Emil, Arthur, dan Oscar (kakak-beradik, laki-laki semua). Muka mereka mirip satu sama lain, tapi sifatnya beda jauh. Emil si sulung itu pendiem dan berkacamata tebel (entah karena kebanyakan baca buku atau kebanyakan main game), Arthur suka olahraga (kalau udah ketemu sepeda, nggak bisa lepas), dan si bungsu Oscar yang... total cute (umurnya masih empat tahun)!

Waktu aku dateng, cuma ada Oscar di halaman rumah, lagi main sepeda roda empat bareng Johan (tetangga lain yang kebetulan lagi main). Ngomong-ngomong, aku pernah 'kerja' di TK tempat Oscar dan Johan sekolah, jadi aku udah lumayan kenal mereka berdua.

"Halo," kataku. "Lagi main, ya?" (lah pakai nanya)

"Iya."

"Oh. Ngomong-ngomong, mana Arthur dan Emil?" 

EH, BUKANNYA NGEJAWAB, MEREKA MALAH MARAH--turns out, mereka lagi ngambek karena nggak dibolehin naik sepeda jauh-jauh. 

"Aku marah! Aku nggak pernah dapet giliran naik sepeda jauh-jauh kayak Emil dan Arthur!" kata Oscar. Lucu, deh.

Aku bales, "Loh, emang kenapa?"

"Karena aku masih anak TK!"

Bhak. 

Setelah itu, aku berusaha nasehatin mereka untuk sabar. Sebentar lagi juga mereka bakal lulus dari TK, kok. Lagipula lebih enak masa TK daripada masa SMA, atuh. Tiap hari main, nggak perlu mikirin hal-hal berat. 

EH, TAPI, MEREKA TETEP MARAH. Mereka tetap nggak sabar tumbuh (supaya bisa main sepeda jauh-jauh--kurang berfaedah apalagi, sih?).

Tapi waktu nggak mungkin dipercepat, kan, ya? Akhirnya, mereka terpaksa harus puas cuma dengan ngikutin gaya anak-anak SMA kekinian; topi (yang lagi mereka pakai) diputer ke belakang.

Dengan topi kedodoran bergambar logo perusahaan bapaknya, Johan cengengesan sambil nggaya di depanku. Dia juga nanya, "Rani, toll oder? Wie die Jungs?" (Rani, udah keren, kan? Udah kayak laki-laki (remaja), kan?).

IYA DAH IYA. Sebahagiamu aja, Dik.

Setelah itu, aku ikut main. Pesawat-pesawatan, sepak bola, dan... trampolin!

Di halaman belakang rumah Oscar, Emil, dan Arthur, ada trampolin yang gedenya naudzubillah. Dari dulu (terutama sejak baca novel Refrain), aku pengin banget main di trampolin segede itu, tapi nggak pernah nemu. Alhamdulillah sekarang kesampaian. 

Well, awalnya aku cuma ngejagain Oscar dan Johan yang asyik lompat-lompat, sih. Tapi, mungkin karena kasihan ngelihat aku ndomboh doang, Anja (ibunya Oscar) ngomong, "Rani, ikut lompat aja. Boleh, kok."

YEAH!

Akhirnya aku lompat, deh.

Tapi bentar doang. Soalnya, Oscar sama Johan selalu berusaha ngejatuhin aku--dan, begitu aku jatuh, aku dipaksa jadi kuda (mereka naik ke punggungku). Sedih, ah (ngomong-ngomong tentang kuda, kenapa aku jadi inget video clip-nya Awkarin, ya?).

Lanjut.

Ada kejadian yang nggak terlalu enak juga, sih. 

Pas lagi lompat-lompat, Oscar berusaha narik kerudungku. Terus, aku bilang, "Jangan."

"Tapi, aku pengin lihat rambut kamu. Warnanya hitam, kan?"

Aku, yang bingung harus ngejawab apa, akhirnya jujur. "Iya."

"Kenapa warnanya hitam?"

"..." Kenapa, ya? 

Oscar ini anaknya kritis banget. Dia juga pernah nanya kenapa kulit aku cokelat--aku jadi bingung, kan, kudu jawab apa.

Sebelum aku ngejawab apa pun, Oscar nanya lagi, "Kenapa aku nggak boleh lihat rambut kamu?"

"..."

"..."

"...umm... k-karena... kalau kamu lihat rambutku, rambutku berubah jadi biru."

"...echt?" (Asli?)

"Ho oh."

Itulah cerita kenapa Oscar nggak mau lihat rambutku lagi sampai sekarang. Kasihan kalau rambutku berubah biru.

Sebenarnya, seandainya kejadian itu terjadi di Waldkindergarten (TK) dan guru-guru TK di sana denger, kayaknya mereka bakal negur aku karena udah ngasih informasi yang salah. Tapi... ya udahlah. Well, selalu ada hal yang nggak akan pernah bisa dijelasin, tapi bakal dimengerti sendiri kalau udah waktunya--kalau Oscar udah gede, dia pasti bakal tahu sendiri alasannya. 

.

Ada apa lagi, ya, minggu ini?

Hmm. Alex, pacarnya host sister-ku, ulang tahun. 

Kartu ini diedit sealay mungkin pakai PhotoScape

Opa-ku (dari pihak host dad) juga ulang tahun. Ulang tahunnya dirayain secara meriah di Phönix, restauran all you can eat khusus masakan asia. Letaknya lumayan jauh (di daerah Hamburg). Untuk pergi ke sana, kami perlu naik mobil selama kurang lebih sejam (empat puluh lima menit doang, sih, soalnya host dad-ku pembalap).

Begitu sampai di restauran, kami langsung jalan menuju meja panjang yang udah direservasi oleh keluarga host dad. Aku ngasih selamat ke Opa, ngasih hadiah (beberapa kantong teh Tong Tji kiriman Mama dari Indonesia) (ketahuan lagi bokek) (ngomong-ngomong, Opa suka banget), terus... makan!

Ada kerupuk! Pangsit! Nasi goreng! Nyam... (ngomong-ngomong, sehari sebelum ulang tahun Opa, aku udah bertekad kalau aku bakal jadi vegetarian selama di Jerman. Tapi tekad ini cuma tinggal tekad doang begitu aku ngelihat tumpukan chicken wings) (aku belum makan chicken wings sejak hidup sama host family vegetarian - vegan, hiks).

Oh iya. Ada cerita dodol yang bikin sedih.

Jadi, setelah ngasih hadiah ke Opa, kami pengin duduk. Tapi kursinya kurang--kami empat orang, sementara kursinya cuma tiga. 

Empat, deng. Tapi salah satu kursi itu kursi untuk bayi.

Nah. Host dad-ku, yang suka ngeledekin karena badanku pendek, nunjuk kursi bayi itu sambil cengengesan dan ngomong, "Yak. Rani, itu kursimu. Duduk di sana, ya."

YAELAH DAD.

YAKALI.

Aku sebenarnya tinggi, kok, tapi untuk ukuran perempuan Indonesia (bohong, deng). Di Jerman, aku termasuk mungil banget. Apalagi kalau dibandingin sama host dad-ku yang bongsor (tingginya 190 cm lebih kali, ya).

Di kelas, aku juga jadi salah satu orang yang paling pendek. Nggak sendirian, sih, soalnya tingginya M persis sama kayak aku. 

Tapi, kemarin (31/03/2017), pas kelasku nonton teater bareng, aku bener-bener jadi orang yang paling pendek. M tega bener, dah, pakai high heels setinggi dosa. Pakai ngomong gini segala, lagi, "Wow. Akhirnya ada orang yang lebih pendek dari aku." (ngomongnya sambil ngelirik aku, terus naik-naikin alis dan nyengir).

"..."

Duh, untung sayang. Kalau kagak, tabok juga, nih.

Ngomong-ngomong, teaternya keren, deh. Beda banget sama teater pertama yang kutonton (kalau waktu itu aku ketiduran di 90% pertunjukan teater, kali ini aku ketiduran bentar doang pas udah  nyaris selesai) (kepalaku sampai dikeplak temen dari belakang) (kesel).

Jadi, teater kali ini (full balet, tanpa dialog) bercerita tentang Marie Curie. Marie Curie adalah ilmuwan kelahiran Polandia yang lanjut belajar di Prancis, dan satu-satunya ilmuwan penerima nobel Kimia sekaligus Fisika (tapi, teater ini lebih banyak nyorotin love life-nya Marie Curie sama suaminya (Pierre Curie), sih).

Waktu kecil, aku pernah baca tentang Marie Curie, sih. Tapi dikit doang. Pokoknya, aku cuma tahu kalau dia itu ilmuwan yang nemuin sebuah zat, terus meninggal karena radiasi yang dipaparkan oleh zat yang dia temuin sendiri itu (tragis banget).

Tapi, setelah nonton teater ini dan baca biografi singkatnya di internet, aku ketemu idola baru: Marie Curie!

Kariernya? GOALS! Profesor Sorbonne dan penerima Nobel, gitu, lho!

Love life-nya? GOALS! (nggak pernah pamer foto ciuman bareng Pierre, sih. Tapi mereka nemuin 'unsur' baru bareng). 

Kepribadian dan 'otaknya'? Lebih dari GOALS!!!

Setelah nonton teater ini, aku juga jadi nge-fans sama balet dan segala hal yang berhubungan dengan Prancis. Lagu-lagunya (standar, sih, sebangsa 'La Mer' dan 'La Vie en Rose'), sejarahnya (contoh: Hitler pernah ngasih perintah supaya Eiffel dihancurin!), sampai film-filmnya. Hari ini (01/03/2017), aku nonton film Prancis yang direkomendasiin host mom-ku: Qu'est-ce qu'on a fait au Bon Dieu?

Lucu, ih. Ceritanya tentang keluarga katolik yang religius dan punya empat anak perempuan yang udah dewasa. Anak pertama nikah sama seorang Jew, anak kedua nikah sama seorang muslim, anak ketiga nikah sama orang keturunan Cina, dan anak keempat belum nikah. 

Nah. Orangtuanya berharap si anak keempat ini bakal nikah sama orang yang menurut mereka 'normal'.

Iya, sih, tunangan anak keempat ini agamanya katolik. Tapi... dia dari Afrika....

Hahaha.

Kalau kalian pengin nonton film ini, sok aja. Tapi maaf, aku nggak tahu film ini judulnya apa dalam bahasa Inggris (kayaknya malah nggak ada versi Inggris-nya, deh). Aku nonton film ini dalam bahasa Jerman, judulnya: Monsieur Claude und seine Töchter (Tuan Claude dan Anak Perempuannya). 

Selain film Qu'est-ce qu'on a fait au Bon Dieu?, host mother-ku juga nyaranin aku untuk nonton film  Prancis berjudul Die Wunderbare Welt der Amelie (judul dalam bahasa Jerman, soalnya aku nggak tahu judulnya dalam bahasa Prancis maupun Inggris). Tapi aku belum nonton.

.

Pengin nyeritain apa lagi, ya?

Sekolah?

Well, seperti yang udah aku bilang di awal postingan ini, minggu ini aku lagi ada banyak ujian. I fucked up some (terutama ujian Matematika), tapi, for the first time in forever, aku berhasil ngejawab ujian Politik und Wirtschaft (Politik dan Perekonomian)! 

YEAH!

Setelah nganalisis teks panjang dan nulis dua lembar essai tentang permasalahan Uni Eropa (sambil buka kamus, of course), kepalaku mumet banget. Kliyengan. Dan... aku... laper.

Laper selaper-lapernya. 

Untung aja, pas aku pulang sekolah, host mother-ku kebetulan lagi masak pasta. Karena cuaca lagi hangat-hangatnya, akhirnya kami makan di halaman rumah--hari itu berkesan banget, karena untuk pertama kalinya, kami makan siang di luar! 

Cuacanya nggak panas banget, tapi sejuk karena ada angin sepoi-sepoi. Asyik, deh. Kami makan sambil ngobrol tentang banyak hal, terutama tentang sangkar burung (ngomong-ngomong, host mom-ku lagi terobesi sama burung-burung yang bikin sangkar di pohon apel deket jemuran) (obsesi yang aneh, emang) (tapi biarin aja, lah. Biarin host mom-ku bahagia).

Oh iya. Karena cuaca akhir-akhir ini sejuk, aku dan temen-temen geng sempat belajar di luar kelas. Waktu itu lagi pelajaran bahasa Jerman, terus kami ditugasin untuk bikin presentasi tentang puisi bertema perang--dan, bukannya bikin presentasi, kami malah tidur-tiduran di taman sekolah. I ended up tidur beneran.

Udah dulu, ya, postingan kali ini. Capek ngetik, hehe. See you, makasih udah baca blog ini!

.
.

Ngomong-ngomong, hari ini tanggal satu April....

Tepat setahun yang lalu, setelah bangun dari tidur siang, ada notifikasi di handphone-ku: aku dapet e-mail dari AFS tentang placement negara

Tulisannya: JERMAN.

Tapi, bukannya malah senang, aku malah naruh handphone-ku di atas meja, terus nutup mata lagi (lanjut tidur) (error emang). Aku, yang udah mulai putus asa nungguin pengumuman placement (dan sengsara ngebaca chat dari teman-teman yang udah dapat placement), mikir, "Ini pasti April Mop. Sorry aja, ya, aku nggak bisa dibegoin."

Tapi, tiga detik setelah nutup mata, aku mikir, "...e-mail dari Bina Antarbudaya mana mungkin nge-prank...."

Terus. Aku. Loncat.

Literally loncat dari kasur, terus ngambil handphone dan ngebuka email itu lagi, dibaca berulang kali dengan jantung deg-degan.

Beneran Jerman........... 

Bukan April Mop................

Dan, sekarang... here I am. Duduk di salah satu negara paling kece di Eropa melalui program AFS, berusaha nemuin siapa aku sebenarnya, dan sedikit bernostalgia.

Waktu dan takdir emang selucu itu, guys. 

Comments

  1. Ahh, you're really cool😭 Tolong jangan berhenti nulis ya, Kak, aku mungkin satu di antara banyak orang yang selalu nunggu update di blog ini, pingin baca cerita-cerita Kakak dari sana:")

    ReplyDelete
  2. Kakak negara pilihan pertamanya memang jerman ya kak?

    ReplyDelete
    Replies
    1. Kalau mau nanya pertanyaan-pertanyaan kayak gini, mending e-mail aja, Dek :)

      Delete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Contact Me

About Me: The New Version

#1 Proses Novel "Inikah Rasanya Cinta"