Minggu Kesembilan dan Kesepuluh di Jerman (AFS Indonesia - Jerman 2016/2017)

Akhir-akhir ini flat banget, deh. Sampai bingung pengin nyeritain apa. Minggu kesembilan dan kesepuluh aja digabung jadi satu pos.




Anyway, turut berduka untuk Valent (AFS Indonesia - Jepang) dan Indah (AFS Indonesia - Argentina) yang ayah-ayahnya dipanggil ke pangkuan Yang Maha Esa. Semoga amal ibadahnya diterima di sisi-Nya.
Stay strong!

1

Kayaknya ini nggak patut diumbar ke publik, sih. Tapi baelah, supaya postingan blog kali ini lebih panjang.

Christmast is coming!

Aku nggak terlalu antusias, sih. Biasa aja. Tapi aku masih harus nyariin hadiah natal buat semua anggota host family dan beberapa temen, dong.

Karena itu, hari Senin sepulang sekolah, aku mampir ke sebuah toko di Lüneburg (rekomendasi host sister-ku). Tokonya besar dan lengkap banget. Banyak barang-barang ngegemesin! Aku, yang tadinya pengin cepet pulang, malah ngehabisin waktu sejaman lebih di sana (kalau Kak Sari baca ini, tenang, Kak. Cuma lihat-lihat. I am not going to be the second Odie walaupun aku juga ngutang pas sesi budgeting Ornas) (kalau Odie baca ini, sorry, Die. Kamu tetep temenku, kok).

Nah, pas aku sampai di pojok toko, aku nemu sebuah barang. Bentuknya tali panjang horizontal, ada segitiga di tengah, dan dibentuk dari permen bulet warna-warni!  Pink, baby blue, kuning pucet, dll. Cute banget, dah. Aku sampai mikir, kayaknya lucu, nih, kalau dijadiin hadiah natal.

Sambil terus ngelihatin barang itu, aku mikir, kalau ini dijadiin hadiah natal, buat siapa, ya? Harganya berapa, ya? Blablabla?

Waktu itu, orang-orang di sekitar mulai ngelihatin aku dengan raut muka aneh.

Aku heran, dong, ya. Emangnya aku kenapa?

Perasaan nggak ada yang salah?

Akhirnya, aku tahu apa yang salah waktu aku ngecek sisi samping kardus pembungkus permen itu,  terus nemuin tulisan: Candy G-string.

Candy G-string.

Candy G-string, dude.

.

Anyway, minggu lalu, temenku cerita ke aku, "I hate my boyfriend."

Kujawab, "Why?"

"He is so stupid, ugly--oh, no, he is not ugly--but he's still stupid--and he often pissed me off. Tomorrow is my birthday, and I think I need to break up with him."

"....ok, then. Do it."

"Oh, no. I will do it after Christmast."

"..........why?"

"So I will still get Christmast present from him."

".........................." 

Sakarepmu, Mbak. 


2

Karena aku bingung pengin nyeritain apa, aku pengin nyeritain ceritanya host mother-ku aja, deh, tentang kenapa dia jadi vegetarian.

Jadi...

Waktu masih kecil, host mother-ku tinggal di sebuah rumah sekaligus peternakan yang luas banget. Karena itu, host mother-ku punya banyak sahabat akrab: sapi, babi, ayam, dan hewan-hewan ternak lainnya.

Suatu hari, pas host mother-ku (umurnya masih tiga atau empat tahun) lagi makan siang, dia iseng nanya ke mamanya (Oma), "Muti, was habe ich in meiner Teller?" (Mama, lauk yang di piring ini apa, sih?)

Oma jawab, "Schweinefleisch." (Daging babi).

Host mother-ku kaget banget. "APA? BABI? DARI PETERNAKAN KITA?"

"....ja."

"Aber es ist mein Freund!" (Tapi babi itu temenku!)

"........"

......yak. Sejak saat itu, host mother-ku nggak mau makan daging hewan.

Tamat.

3

Dua minggu ini temanya cokelat, sih. Aku dapat banyaaaak banget cokelat.

1. Pas jalan-jalan ke kafe bareng host mother, Opa, dan host sister, dapat hadiah, hehe.





2. Pas perayaan Nikolaus, dapat cokelat dari host mother!



3. Dapat cokelat dari Frau Frenzel (wali kelasku)! Dan, karena Maria (temen kelasku) vegan (nggak makan cokelat), cokelat punya dia dikasih ke aku! Ye, dapat dua plastik!



4. Temenku, Nils, juga ngebawa sebotol penuh cokelat.



5. Di hari terakhir sekolah, ada acara tuker-tukeran kado (tapi anonim). Aku cuma ngasih toner ke seseorang, tapi Santa Claus anonim ngasih semua barang yang aku tulis di Wunschzettel-ku (list barang-barang yang aku pengenin)! Bola salju, kotak musik, buku, dan... cokelat!

6. Di hari terakhir les, temenku bawa kue terus dibagi-bagiin.




7. Di awal bulan, Opa ngasih aku cokelat juga :)

Banyak, ah.

4

Selama ini aku nggak pernah ngerasa kalau aku pendek, sampai akhirnya, dua minggu lalu, aku pengin dateng ke konsernya Bosse di Hamburg (buat yang nggak tahu, Bosse ini salah satu penyanyi Jerman favorit host family-ku. Aku pribadi nggak terlalu suka, sih) (kalau boleh jujur, lagu-lagu pop Jerman nggak terlalu bagus menurut seleraku) (tapi seleraku juga kayaknya nggak bagus, sih) (yak).



Nah.

Sebelum pergi ke konser, host mother-ku ngomong, "Kayaknya kita harus bawa bangku kecil." (itu lho, bangku rendah yang biasa dipakai untuk duduk selama nyuci baju).

Host sister-ku nanya, "Kenapa?"

"Jadi Rani bisa ngelihat Bosse di atas panggung."

Aku speechless. "........" 

EH TERUS...

Host father-ku nyeletuk, "Ah, jangan. Terlalu ribet. Nanti kalau Rani nggak bisa ngelihat panggung, aku bisa ngangkat Rani, kok." (sambil meragain cara ngangkat leher kucing).

".........................."




5

Pas lagi jalan-jalan ke kafe bareng Opa dan host family-ku, Opa-ku tiba-tiba ngomong, "Rani, kayaknya bagus, deh, kalau hadiah teddy bear dari kamu dikasih nama." (buat yang belum tahu, coba baca pos sebelum ini).

Aku, sih, iya-iya aja. "Oh, gute Idee."

"Tapi harus kamu yang ngasih nama."

"........." 

Asli, aku bingung banget. Terakhir kali aku punya boneka itu kapan, ya? Kayaknya SD kelas satu. Setelah itu, aku nggak terlalu suka boneka (selain teddy bear) (tapi aku nggak pernah punya teddy bear) (jadi, intinya, aku nggak pernah punya boneka).

Dan, sekarang, aku harus ngasih nama?

Akhirnya, setelah beberapa menit mikir, aku ngomong, "I have no idea."

"Actually, I already googled some name yesterday."

".........." 

Aku speechless. Bayangin geura, kakek-kakek umur delapan puluh tahun nge-googling nama boneka untuk teddy bear-nya.

Opa ngomong lagi, "I was thinking to give 'Muhammad' name to my teddy bear."

"........................" 

Waduh.

Gimana, nih.

Aku bingung. Kalau dilarang, entar Opa ngambek. Kalau nggak dilarang... jujur, aku nggak tahu apakah ngasih nama 'Muhammad' ke teddy bear itu legal atau nggak (karena, menurutku, kesannya nggak pantas).

Akhirnya aku ngomong (seperti biasa, ngeles), "Mm... I think... it'll be great if we use a football player name." (teddy bear-nya punya logo bola sepak di dada).

"Ah, das geht!" (ah, bisa juga!)

Hah, lega!

Opa-ku nanya lagi, "I am not a fan of football. Do you have a name?"

"......................"

Waduh (2).

Aku mikir semua nama pemain sepakbola yang aku tahu. Mulai dari Messi, Marco, Lionel, Abby (ini bukan nama pemain sepakbola, tapi nama salah satu tokoh perempuan di film tentang sepakbola), Gonzales, Andik, sampai Marcus Horizon (please jangan bully aku, guys).

"Do you have a name?" Opa-ku nanya lagi.

"........mm... Irfan?" (Irfan Bachdim).

"Irfan? Who is he?"

"He is a... football player in Indonesia."

"Oh, good!" kata Opa. "I'll take Irfan name!"

Yak.

Jadi, itulah cerita kenapa ada teddy bear bernama Irfan Bachdim di sebuah panti jompo Niedersachsen, Jerman Utara. 

6

Aku ngasih presentasi tentang film Laskar Pelangi di hari terakhir sekolah.

Gimana presentasinya?

Jangan tanya.

Berantakan.

Sebenernya, aku udah bikin presentasinya sejak sebulan lalu. Tapi aku nggak pernah dapat giliran maju. Nah, sehari sebelum giliranku maju (tapi aku nggak tahu kalau aku bakalan maju besoknya), aku nggak enak badan. Flu dan sakit tenggorokan gitu, doang, sih, tapi tetep aja aku pengin istirahat. Akhirnya aku nggak nyiapin apa-apa untuk presentasi, deh.

EH BESOKNYA,

Pas guruku masuk kelas, guruku ngomong, "Rani, today is your turn. You will start the class today."

Waduh. 

7

Tiga minggu lalu, aku ulangan Fisika. 

Susah banget, karena soal-soalnya pakai bahasa Jerman level tinggi (sementara aku baru level A2). Mana pengetahuan Fisika-ku jongkok, lagi.

DAN, karena aku nggak punya kalkulator scientific, aku ngerjain soal-soalnya pakai kalkulator biasa. Iya, kalkulator yang biasa dipakai penjual sayur keliling dan rentenir pas nagih hutang (asli, pas ngeluarin kalkulator ini dari dalam tasku, aku malu banget).

Baelah.

Sebisa mungkin, kukerjain soalnya. Aku udah belajar, sih, jadi nggak masalah kalau soal-soalnya hitungan. Untuk soal teori... yak, berpasrah aja, lah, ke Tuhan Yang Maha Esa.

Nah. Dua minggu lalu, hasilnya dibagiin.

Perlu kalian tahu, nilai terendah di Jerman itu 6, nilai tertinggi itu 1, dan nilai 'lumayan' itu 3. 

Sebelum hasilnya dibagiin, aku udah mikir, dari skala 1 - 6, kayaknya nilaiku 7, deh (wkwk, parah banget, yak). 

EH TAPI...

AKU DAPET 3!

LUMAYAN!

"Congratulations," kata guruku sambil senyum lebar banget. "Du schreibst schon sehr gut."

.

Well, aku nulis ini bukan untuk pamer. Sumpah. Nilai tiga itu biasa aja. Dalam hati, aku juga nyadar kalau sebenernya aku nggak pantes dapat tiga. Dari semua soal hitungan, yang bener-bener 'bener' cuma satu. Sisanya ngisi, tapi ada yang kelupaan satuan, lah, ada yang kurang lengkap, lah, dan lain-lain. Soal teori? Cuma ngisi dua soal--yak, innalillaihi wa innalillaihi rajiun. 

Aku nulis ini karena aku pengin ngebahas tentang guru.

Guruku di Jerman, meskipun dia dan aku sama-sama tahu kalau aku nggak pantes dapat tiga, tetep muji dan ngehargain aku. Dia paham kalau nggak semua anak punya bakat di Fisika. Dia juga ngehargain proses, bukan hasil.

Dan karena dia, for the first time, I think that Physic is not that bad (padahal, dulu, tiap mau ujian Fisika, rasanya aku pengin daftar jadi pasien RSJ).

.

Beberapa waktu yang lalu, kasus 'siswa ngelaporin guru ke polisi karena dicubit, dipukul, dan lain-lain' sempat booming di Indonesia. Banyak banget masyarakat yang ngebela guru. Mereka berpendapat kalau guru nggak salah, karena emang siswanya yang kurang ajar dan cocok 'dihajar'.

Iya, sih, siswanya emang ndablek. 

Tapi, menurutku, guru tetap nggak boleh pakai kekerasan sedikit pun untuk nanganin kekurangajaran separah apa pun. Kenapa? Karena (1) itu sama aja dengan mendukung kekerasan, dan (2) guru itu profesi mulia. Tapi apanya yang mulia kalau siswanya jadi korban kekerasan, fisik maupun mental?

Beberapa dari kalian mungkin pengin ngomong ke aku, kamu belum tahu rasanya jadi guru, sih! Belum tahu sakitnya nggak dihargain sama siswa itu gimana!

Yaelah, kalau mau dihargain terus mah, jadi tiang bendera aja sana. 

Kaga, kaga. Bercanda.

Garing, ya.

Ya udah.

Nggak dihargain sama siswa itu emang kesalahan siswa, tapi di situlah tugas guru 'yang sebenernya'. Guru harus ngebuat siswanya punya empati dan rasa menghargai terhadap sesama (asik, bahasanya gini banget, ya) tanpa pakai kekerasan. 

Susah, sih. Aku tahu, kok.

Tapi itu dia kenapa guru disebut pahlawan tanpa tanda jasa. Mana ada pahlawan kerjanya ongkang-ongkang kaki? 

(didedikasikan untuk hari guru, sebulan lalu).

(telat, ya?)

(baelah)

Comments

  1. Dein Artikel ist sehr gut, ich liebe es. Wann kommst du nach Indonesien zuruck("u" nya umlaut)? ich mochte("o" nya umlaut) nach Deutschland gehen...

    ReplyDelete
  2. Preach!👏 Sangat setuju sama Kakak😁 Meski sampai sekarang aku masih berandai-andai kapan bisa ketemu guru yang kayak gitu, haha.

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Contact Me

About Me: The New Version

#1 Proses Novel "Inikah Rasanya Cinta"