Minggu Kedua di Jerman (AFS Indonesia - Jerman 2016/2017)

Pada dasarnya, ini cuma kumpulan cerita bodor yang terjadi seminggu kemarin, sih.


Prolog


Jadi, setelah dua tahun berjuang seleksi, akhirnya aku berangkat ke Jerman untuk program pertukaran pelajar AFS tahun 2016-2017. Baca aja, deh.

1

Minggu ini, aku kebanyakan nangis. 

Bukan karena homesick, tapi karena kebanyakan ngupas dan ngiris bawang. Hiks hiks hiks.



2

Aku udah cerita ini ke Ratri, tapi nggak apa-apa.

Di jam istirahat hari kedua sekolah, aku ngumpul bareng temen-temenku di koridor depan kelas. Di sekolahku, kakak kelas emang sering gangguin adik kelasnya (dengan maksud bercanda). Temen-temenku juga sering gangguin adik kelas. Kalau ada adik kelas yang ganteng lewat di koridor, pasti ditanyain macem-macem, deh: 

1) Wie heißt du? (Nama kamu siapa?).
2) Komm hier! (Sini!).
3) (Nggak ngomong apa-apa, tapi bergerak pengin meluk). IYA INI HOROR.

Biasanya, adik kelas itu nggak ngomong apa-apa dan langsung pergi.

Tapi, hari itu, ada adik kelas yang (dengan polosnya) ngeladenin kakak kelas (bukan temenku, sih, tapi kakak kelasku).

Jadi, waktu kakak kelasku (cowok, kelas dua belas, badannya tinggi atletis) jalan di koridor, dia manggil salah satu adik kelas yang juga lagi lewat (cowok, kelas tiga atau empat SD, badannya kecil). "Hey, komm hier!"

Adik kelas itu datang beneran. "Apa?"

"Itu, di punggung kamu ada serangga," jawab kakak kelas. "Aku ambilin, ya."

Adik kelas itu agak nunduk supaya kakak kelas bisa ngambilin serangga yang (dia kira) ada di punggungnya. Tapi, kakak kelas itu malah mukul lehernya. Keras banget,  lagi! Sampai kulitnya berubah merah!

Gila, ya?!

Temen-temenku ketawa, tapi aku nggak. Aku malah melotot. Aku pengin ngebantuin adik kelas itu (apalagi dia kelihatan kesakitan), tapi nggak tahu mesti ngomong apa. Jangan-jangan, malah aku yang kena bully entar.

E TERUS. PEM-BULLY-NYA MINTA MAAF KE SI ADIK KELAS (DIMAAFIN, KARENA EMANG CUMA BERCANDA), TAPI SAMBIL NGELIATIN AKU.

Mampus. 

Dia marah, nih, sama aku. 

Ah, nggak apa-apa, lah. Paling juga lupa bentar lagi.

E TERUS.

Pas pulang sekolah, aku nunggu host dad-ku di aula sendirian.

Eh, tiba-tiba, si pem-bully datang dan ngehampirin aku.

*baca ayat kursi* 

Aku deg-degan banget, kan, ya. Mesti ngapain, nih? Pingsan? Lari? Pura-pura kesurupan? Meninggal sekalian? Mana badannya gede banget, lagi. Disentil dikit, aku terbang ke lapangan!

E TERNYATA NGGAK.

Dia baik banget. Dia nggak nge-bully aku, tapi dia nanya sambil senyum, "Sprichst du Deutsch?" (bisa ngomong pakai bahasa Jerman, nggak?).

Aku melongo. "E... e.... anu... nicht so gut." (nggak terlalu lancar).

"Welche Sprache sprichst du?" (bisa ngomong pakai bahasa apa?).

Bahasa kalbu, Mz.

YA ENGGAK, ATUH.

"E... e... Englisch und Indonesisch." (Bahasa Inggris dan Indonesia).

"Ha, Indonesisch."

Singkat cerita, nyawaku selamat hari itu.

3

Hari Jumat, aku salah naik bis. 

Kok bisa?

Gini ceritanya:

Jadi, untuk pertama kalinya selama di Jerman, aku pulang sekolah naik bis sendirian. Nggak sendirian, sih, tapi dibantuin sama Marlies (salah satu orang yang ngurusin AFS). Tapi Marlies nggak ikut naik bis sampai ke Südergellersen (tempat tinggalku). Dia cuma ngarahin aku ke bis yang bener aja, terus aku pulang sendiri.

Sebelum berangkat sekolah, host-famku udah ngewanti-wanti, "Rani, nanti kamu naik bis nomor 5920, ya. Bisnya dateng jam 01.30."

"Oke."

"Inget, 5920."

"Oke."

"Jangan lupa, 5920."

"Oke."

"5. 9. 2. 0."

"O.K.E."

"Jangan lupa juga ngecek jurusannya. Salzhausen!"

"O-o-o k-k-k e-e-e." 

Nah. Hari ini, sekolahku selesai jam 01.20, itu pun nambah dua menit (jadi 01.22) karena gurunya masih pengin ngejelasin sesuatu. Hanya ada waktu delapan menit untuk ke stasiun bis. Karena itu, begitu kelas selesai, aku langsung jalan cepat ke luar kelas dan nemuin Marlies.

"Hurry up, Rani! We don't have much time!" kata Marlies. Bis di Jerman emang sangat tepat waktu. Kalau dibilang bakal datang jam 01.30, ya berarti beneran 01.30. Dan, kalau telat, biasanya sopir bis itu nggak mau nungguin. Bodo amat, dah.

Akhirnya kami lari, deh. 

EH PAS KAMI BELUM SAMPAI, BISNYA UDAH SAMPAI DULUAN. 

PANIK DONG, YA.

"Marlies!" kataku. "Itu bis nomor 5920!"

"Yes!" Marlies panik. "Hurry up, Rani! Run!"

Akhirnya, aku lari sekuat tenaga. Dan, untungnya, aku masih bisa masuk ke dalam bis meskipun pintunya langsung nutup begitu aku masuk. Huft, lega. 

Setelah dadah-dadah sama Marlies, aku duduk, deh.

Sempat kepikiran juga, sih, kok bisnya lebih panjang dari yang kemarin, ya? Dan kok banyak penumpangnya? Perasaan, pas aku naik bis ini sama host-sis-ku, bisnya lebih pendek dan penumpangnya sedikit?

Tapi ya udah. Mungkin bisnya ganti.

E TERUS.

Bisnya berhenti di stasiun kereta (stasiun yang nggak aku lewatin kemarin).

Aku mulai curiga, kan. Aku nge-WA host-sis-ku, deh, "Am I taking the right bus? Why is the bus stopping in the train station?" (Bisku bener, nggak, sih? Kenapa bisnya berhenti di stasiun kereta?).

Dia balasnya agak lama, "I am not sure." (Aku nggak terlalu yakin).

E TERUS. 

Bisnya berhenti di stasiun kota (stasiun yang juga nggak aku lewatin kemarin).

Aku nge-WA lagi, deh, "Now the bus is in the city bus station." (Sekarang, bisnya berhenti di stasiun kota).

Host-sis-ku ngebales, "Oh, you are taking the wrong bus." (Oh, kamu salah bis).

WAH SANTAI SEKALI, YA. 

MANTAP.

Aku bales, "The bus is already going. I can't go down. What should I do?" (Bisnya udah jalan, jadi aku nggak bisa turun. Aku harus ngapain?).

"Go down to the next station, then chat me. Okay?" (Turun di stasiun berikutnya, terus kasih tahu aku kamu di mana. Oke?).

"Okay."

Singkat cerita, akhirnya aku turun di stasiun Uelzener Straße Kurz. 


Gelap dan dingin banget.



Ini pemandangan di depan stasiunnya.

Aku bener-bener nggak tahu itu di mana, tapi aku nggak khawatir atau pun panik karena stasiunnya nggak terlalu jauh dari Lüneburg. Host-sis-ku juga udah tahu aku di mana, dan aku bakal dijemput sama host-sis-ku yang satu lagi. 

Masalahnya, dingin, tjoy. 

Suhu di Jerman utara sekarang selalu di bawah 10 derajat Celcius, dan aku, yang nyaris seumur hidup tinggal di bawah sinar matahari sampai gosong, nggak tahan dingin. Selama dua puluh menit nunggu di stasiun bis, tanganku (yang nggak pakai sarung tangan) mulai mati rasa. 

Tapi aku tetap chattingan sama host-sis-ku, "Why am I taking the wrong bus? I am pretty sure that it is 5920 bus."

Host-sis-ku bales, "Yes, there are two 5920 buses."

HHHHHHHH GEMES.

Anyway, aku sempat foto #ootd untuk buang waktu. Tapi kaki doang soalnya nggak ada yang ngefotoin.



4

Aku punya temen, sebut aja Mawar. Dia itu salah satu temen paling baik, nggak pernah ngebiarin aku sendirian di kelas walaupun aku nggak pernah ngomong (for me, it is hard to hear German people speaking because they speak so fast). 

Dibanding dengan temen-temen yang lain, aku paling deket sama dia. Kami baru kenal seminggu, tapi udah banyak cerita tentang hal-hal personal. Tentang dia yang nggak sesempurna kakaknya, tentang dia nggak bisa makan makanan pedas, dan lain-lain.

Suatu hari, dia cerita tentang sahabatnya (cowok) yang baru putus sama pacarnya (cewek).

Aku iseng nanya ke dia, "Why don't you be with him?" (Kenapa kamu nggak jadian sama sahabatmu?).

E TERUS.

DIA, SAMBIL SENYUM MANIS KE AKU, NGEJAWAB, "Aku bahkan nggak tahu aku suka cowok atau nggak."

JENG JENG JENG JENG.

JENG JENG JENG JENG.

Aku deg-degan. Maksudnya apa, nih? Kamu suka cewek? SUKA AKU? (asli, lebay banget).

Tapi, karena nanyain masalah seksualitas itu sama nggak sopannya dengan nanyain agama (lagipula, kalau pun dia lesbian, yakali naksirnya aku?), akhirnya aku cuma ngomong, "O... ke."

Dan, sampai tulisan ini di-publish, aku nggak tahu maksudnya dia apa.

PS: Please, don't get me wrong. Aku nggak anti-LGBT. I don't care about sexuality, religion, etc. Kalau dia baik, aku juga baik. Kalau dia pengin jadi temenku, aku juga pengin. And, if he (or even she) loved me, I'd gladly say 'thank you'. 

Tapi aku masih deg-degan aja kalau ngalamin kejadian kayak gini secara langsung.

5

Hari Jumat pelajaran kedua (pelajaran Bahasa Prancis, tapi gurunya nggak masuk), tiba-tiba guru Kimia masuk, ngomong sesuatu pakai bahasa Jerman yang nggak terlalu aku mengerti, terus tiba-tiba temenku pada nyiap-nyiapin barang gitu.

Karena bingung, aku nanya, dong, "Ada apa? Kita mau ngapain?"

"Oh, kita mau ulangan."

JENG JENG JENG JENG.

JENG JENG JENG JENG.

*insert senyum pasrah*

Eh ternyata ulangannya tentang reaksi redoks, oksidasi, dan reduksi. Aku udah pelajarin ini di kelas sepuluh, jadi nggak ada masalah (walaupun aku nggak yakin sama jawabannya, karena (1) udah agak lupa sama materi ini, (2) pertanyaannya dalam bahasa Jerman).



E TERUS.

PAS NGELIAT AKU LAGI NGERJAIN TEST, GURUNYA NGOMONG, "Kamu nggak usah ngerjain test redoks ini. Kamu ngerjain ini aja."



... *muntah*

6

(Harusnya cerita ini masuk di post sebelumnya, http://naraniwidodo.blogspot.com/2016/10/minggu-pertama-di-jerman.html, tapi nggak apa-apa).

Keluargaku di sini melihara dua ekor kelinci besar. Bahasa Jermannya, Käninchen. 

Mereka lucu banget. Kelinci pertama namanya Fleur. Dulu badannya besar banget, tapi karena udah tua (umurnya delapan tahun) dan mulai sakit-sakitan, dia mengurus. Warna bulunya abu-abu. Dia suka banget dielus. 

Beda dengan Fleur, kelinci kedua (Juni, anaknya Fleur) benci dielus. Tiap disentuh dikit, dia pasti lompat menjauh. Walaupun nyebelin, dia tetep lucu, sih. Warna bulunya cokelat kekuningan, dan badannya gendut banget. Mirip kucing.

E TERUS.

Suatu hari, sakitnya Fleur tambah parah. 

Ya udah, deh, dibawa ke dokter hewan. 

Dan sedihnya, di sana, dokter itu ngomong kalau ada kemungkinan Fleur mati minggu ini. Dia emang makan, tapi pencernaannya udah nggak berfungsi lagi. Dia juga punya masalah sama kakinya. 

DAN. TERUS.

Sekitar dua atau tiga hari kemudian, aku dibangunin sama host-mom-ku. Dia ngabarin kalau Fleur mau mati hari ini, terus dia nanya, "Kamu mau nggak nemenin Fleur?"

Ya mau, lah. Masa, di saat-saat terakhir Fleur, aku nggak nemenin? "Iya. Sebentar, ya, cuci muka dulu."

Setelah semua urusan cuci muka dan gosok gigi selesai, aku pergi ke kandangnya Fleur di halaman rumah. Cuacanya dingin banget dan aku pengin meluk heater, tapi untuk ngejaga perasaannya host-fam-ku, akhirnya aku tetap ada di kandang Fleur. 

E TAPI.

Kok Fleur belum mati?

Katanya udah mati?

Gimana, sih?

Ternyata, di Jerman, kalau ada hewan peliharaan yang sakit keras, kebanyakan dari mereka disuntik mati (nggak tahu, deng). Intinya, mereka disuntik, tidur, nggak ngerasain sakit, terus mati. 

So sad.

Comments

  1. I love love love your blog so much! Keep posting ya ran. Ga sabar nunggu post minggu ketiga di Jerman :)

    ReplyDelete
  2. Hati hati ran sama kakak kelas itu nanti takut d apa apain sama dia :) servus!!

    ReplyDelete
  3. Sebenernya aku masih penasaran sama si kakak kelas, apa kabar dia sekarang?😂

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Contact Me

About Me: The New Version

#1 Proses Novel "Inikah Rasanya Cinta"