Parts of Me That Have Been Missing

I lost so many things. All in the same time. 

.

First, my grandmother passed away.

Kehilangan kakek atau nenek mungkin adalah hal yang gak terlalu menyakitkan. Itu biasa karena selain usia mereka udah tua, beberapa dari kita juga jarang mengunjungi mereka. Palingan kalau libur lebaran aja.

Tapi buat aku ini gak biasa. I lived with my grandma for many months in her home. Waktu dia dirawat, aku salah satu orang yang jagain. Waktu dia mau minum obat, aku sering suapin. Waktu dia jatuh karena stroke, aku salah satu orang yang susah payah ngangkat dia.

Aku lagi nonton film berjudul Home waktu tetanggaku tiba-tiba dateng dan nyuruh aku untuk cepet-cepet mandi, terus ke rumah sakit. Aku nanya, "Ada apa, Mbak?"

"Gak tahu. Coba aja ke sana. Kayaknya Eyang-mu ada apa-apa."

I was so panic. Aku mandi secepet yang aku bisa, terus berangkat ke rumah sakit bareng budeku naik motor. Beberapa hari sebelum itu, aku latihan basket. Makanya kakiku kerasa sakit. But I forced myself to run. As fast as I could. 

Sampai di ruangan, udah banyak orang. Kakekku, saudaranya nenekku, sepupuku, dan lain-lain. They prayed. They whispered 'Allah' everytime. And I did nothing 'cause I was so shock. Tegangan darahnya nenekku cuma 80/60.

Then I went back home. Budeku harus jaga Iqbal.

At 01 p.m, aku baru selesai belajar, makanya aku mau tidur siang. Eh, baru aja liyer-liyer, tiba-tiba Mas Kevin (sepupuku) gedor-gedor pintu luar sambil teriak, "Dek! Dek!"

Aku terpaksa keluar. "Apaan, sih? Alay. Aku baru aja mau tidur, kenapa--"

"Yangti (nenekku) meninggal!"

"HAH?!"

We both ran to his house. When I arrived, my aunt had been cried. A lot. Iqbal di gendongannya kelihatan bingung. Aku langsung gendong Iqbal, terus budeku ganti baju. Kami mau langsung ke rumah sakit.

Begitu sampai di sana, pakde-ku dan keluarganya dari Jogja udah di sana. They just cried. And when I saw my grandmother, I also cried. Selama ini, nenekku orangnya kuat dan keras. Apalagi pas masih muda. Therefore, I didn't get it pas dia baring di sana dengan muka pucet dan badan dingin

It was really hurt. 

Singkatnya, seabrek administrasi dan proses pemakaman pun diurus. Pemakaman jenazah harusnya dilakukan secepat mungkin, tapi kali ini, semua orang sepakat kalau pemakaman akan dilakukan begitu keluargaku (terutama ibuku) dari Sulawesi udah datang.

Aku sempat berhenti nangis saking sibuknya, apalagi semua orang udah ikhlas. Kakekku dan pakdeku aja gak nangis.

Tapi begitu di pemakaman, aku gak tahan lagi. Aku gak suka ngeliat nenekku sendirian di bawah sana. Gelap. Kasihan.

Then, my father hugged me, and I cried in his arms. A lot. 

.
.
.

Second, pindah ke Bandung.

Pindah adalah hal yang wajar, dan aku suka konsep 'pindah'. Dengan pindah, kita bisa ketemu pelajaran dan teman-teman baru. Walaupun harus bersusah payah adaptasi dari awal lagi, tetap aja pindah itu seru.

Makanya, pas aku keterima di SMAN 3 Bandung, aku seneng banget. Apalagi aku masuk peringkat 15 besar pas tes masuknya. Soal tes-nya kan susah banget, hahaha (sumpah waktu itu 70% soal aku jawab pakai feeling dan cap-cip-cup).

Tapi ternyata, di balik kebanggaan itu, ada sesuatu yang harus dilepaskan. Yeah, apa lagi kalau bukan temen-temen di SMAN 4 Surakarta.

.

I spent much time with them. Aku pindahan dari Sulawesi, dan gara-gara mereka, aku gak kesusahan beradaptasi. Mereka bersedia 24/7 jadi penerjemah bahasa Jawa, bantu-bantu dikit pas ulangan, ngasih info tentang tempat-tempat di Solo, dan lain-lain. Kami baru ketemu setahun, tapi rasanya udah dekeeet banget.

Waktu awal-awal keterima di SMAN 3 Bandung, sebenernya aku gak mau ngasih tahu temen-temen SMAN 4. Tapi akhirnya aku kasih tahu.

"Aku mau pindah lho."

Tahu gak jawabannya apa? PADA GAK PERCAYA lol. Hahaha. Mereka pada bilang (1) "Bohong" (2) "Rani i gak bisa dipercaya" (3) "Kamu i gak bisa bohongin aku, Ran" (4) "Rani tukang prank amatiran."

Barulah pas aku nge-post foto surat keterima, mereka percaya. Dan pada sedih (beberapa doang sih ketoke). Temen-temen baik kayak Tika, Aliya, Ilyas, Ilham, Siraj, Fiona, Fania (mwah) dan lain-lain langsung pada nge-chat. Aku jadi sedih banget hiks.

Makanya, waktu acara bukber bareng yang sengaja kubikin, sempet nangis-nangis juga. Walaupun gak semuanya dateng, sih. Hehe.

Gak apa-apa. Dear guys, I'll be home soon. We'll meet again, okay? 

.
.
.

Third.... 

I won't talk about this much. For me, it's more than privacy. The point is, we (me and him) ever had such a misunderstanding, so we didn't communicate for a long time. But then he said hello, talked to me about so many unimportant (but funny) things, and... something.

It was about why we had rather stay away. If we still continued that, someone (actually two persons) would be hurted. And he (me, too) didn't want that to be happened. 

"We're friends," he said. "I know I can still count on you." 

It was quite sad. I did nothing except stood behind my door and (maybe) regretted everything. I didn't reply his text for a moment 'cause I was too busy to think (1) "Why him and why them?" (2) "Why it always ends like this?" (3) "Does this how love and destiny work?" (4) "Why, why, and why?"

Seriously, I had too much 'why' spinned inside my head

After minutes passed, I decided to text my last sentence. 

Then, sadly, I smiled.

.

Dengan terkirimnya pesan terakhir (yang rahasia) itu, selesai juga semuanya. Memori. Harapan. Waktu. Penantian. Senyum. Sakit. Hati. 

Dan yang tersisa hanyalah satu pertanyaan: "Talking about love, kenapa kalau bukan orangnya yang salah, pasti waktunya yang salah?"

Comments

Popular posts from this blog

Contact Me

About Me: The New Version

#1 Proses Novel "Inikah Rasanya Cinta"