Di Kaki Senja
Di kaki senja, aku dan dia selalu bercengkrama, berbagi cerita tentang
apa pun. Tentang betapa benci dia pada mata biru yang ia warisi dari ayahnya.
Tentang adik bungsuku yang akhirnya tamat SD setelah dua kali tinggal kelas.
Tentang ayahnya di Amerika yang tak pernah kembali. Tentang kegemaranku pada
debur ombak yang berkejaran. Ah, pokoknya
apa pun.
Termasuk juga masa depan.
Aku, si sederhana yang tak ingin neko-neko
ini, hanya memiliki andai-andai yang biasa saja: belajar baik-baik, lulus
kuliah, mendaftar jadi Pegawai Negeri Sipil (PNS), punya istri cantik yang bisa
memasak ayam rica enak, ikut program KB, dan naik haji. Selesai.
Tapi dia tidak begitu. Dia, si cantik dengan jiwa pemberontak dan
pikiran yang kompleks itu, memiliki cita-cita yang luar biasa: merantau ke luar negeri, melamar jadi freelancer di National Geography,
menerbitkan novel tentang perjuangan seorang relawan di daerah perang,
mendirikan sekolah alam, dan mendaki hingga ke puncak Everest.
Mungkin kalian bertanya-tanya bagaimana bisa dua orang (yang diibaratkan sebagai kutub utara dan selatan magnet) duduk berdampingan, lalu berbagi cerita. Jangan tanya aku, aku juga tak mengerti.
Intinya, ada sesuatu di antara kami yang membuatku dan dia tak bisa berhenti mengunjungi kaki senja. Hanya berdua.
Dan mungkin semuanya akan tetap sama jika hari-hari itu tak pernah datang.
.
Di hari itu, masih di bawah senja, kami mengobrol. Topik awalnya
adalah tentang ayam rica kampung kesukaanku, namun tiba-tiba merembet jadi
calon istri yang kelak akan memasakkanku ayam rica itu.
Sambil memeluk lutut, dia bertanya, ”Apa kau sudah punya gambaran
tentang calon istrimu itu?”
”Belum. Aku masih sibuk belajar.” Sambil mengangkat bahu, aku
menatapnya. ”Pokoknya harus cantik dan pintar memasak. Kalau bisa sih berkerudung.”
Dia terdiam sejenak. Hanya pelukan pada lututnya saja yang tambah erat,
dan helaian rambut brunette-nya yang
berkibar-kibar. Tertiup angin tepi pantai. ”Oh.”
Agar tak berhenti di ’oh’, sebenarnya aku ingin bertanya balik. Namun
aku tak yakin kalau bertanya tentang jodoh padanya adalah ide bagus.
Sebelum ini, dia tak pernah menyinggung apa-apa selain passion-nya terhadap dunia luar. Dia tak
pernah menganggap sebuah bangunan sebagai rumah. Dia tergila-gila pada konsep
pindah. Dia bahkan bercita-cita menjadi kuda liar yang kerjanya hanya berlari
di luasnya padang rumput.
Melihatku terdiam, dia mengulang, ”Oh.”
.
.
Esoknya, kami mengobrol lagi. Tentang guru
yang tadi siang memujiku karena aku berhasil meraih nilai sempurna di Geometri,
dan cita-cita baruku: menjadi guru Matematika.
Tapi kali ini dia tak antusias seperti
biasa. Pandangannya kosong. Wajahnya muram. Tangannya berulang kali meraup
pasir, lalu mengembalikannya lagi di tempat semula. Seolah ada yang salah.
”Ada apa?” tanyaku.
Dia menggeleng. ”Tidak apa-apa.”
Dia
bohong. Aku tahu itu. ”Jujur saja.”
Akhirnya dia mengaku. Sambil menepuk
pundakku, dia bertanya, ”Apakah salah jika cita-citaku, yang telah kuimpikan
selama bertahun-tahun, berganti?”
”Tidak,” jawabku tegas. ”Tidak ada
cita-cita yang salah. Lagipula, kita masih muda. Tenaga kita masih ada, mimpi
kita masih banyak, dan jalan kita masih panjang. Berbagai pilihan menanti kita
di depan sana.
”Benarkah?” Dia tampak ragu.
”Ya?” jawabku meyakinkannya. ”Memangnya
sekarang kau mau jadi apa? Pilot? Petualang? Rekan dari Dora the Explorer?”
Dia tidak menjawab. Raut wajahnya tambah
muram.
.
.
Esoknya, kami mengobrol lagi. Tentang
ayahnya yang akhirnya menghubungi setelah bertahun-tahun hilang kabarnya.
Katanya, ayahnya akan pulang ke Indonesia dalam beberapa bulan lagi.
Dia tampak geram. ”Aku benci sekali
padanya. Dia meninggalkan kami tanpa kabar. Dia membuat kami menunggu. Dia membuat ibuku menunggu dan menolak semua lamaran lelaki lain. Padahal
keluargaku hidup kurang dari sederhana, dan jika ibuku menikah lagi, kami bisa hidup lebih baik. Adik-adikku bisa sekolah. Aku bisa mencari kesempatan ke luar
negeri. Ibuku juga bisa membuka toko kelontong dan—”
Aku, yang merasa tak nyaman, memotong,
”Setidaknya ayahmu kembali.”
Dia terdiam.
Aku juga.
Entah didorong oleh apa, namun sisa senja
itu kami habiskan dengan pikiran masing-masing dalam diam.
.
.
Esoknya, kami mengobrol lagi. Topiknya
masih sama, namun kali ini diselingi dengan perdebatan.
”Berani taruhan, dia pasti akan
meninggalkan kami lagi,” katanya. Masih geram. ”Kalau akhirnya begitu, lebih baik
dia tak usah pulang.”
Aku, yang tak berani su’udzon terhadap orang lain, menggeleng. ”Jangan pernah
berprasangka buruk di awal, apalagi terhadap ayahmu. Aku yakin kalau sebenarnya
beliau sangat menyayangimu.”
”Jika dia menyayangiku, dia tidak akan pernah
pergi.”
”Mungkin beliau sudah berubah,” kataku
ringan. ”Semua bagian dari dunia ini selalu berubah. Bumi saja berputar,
apalagi manusia. Kemarin, kau sendiri yang bilang bahwa cita-citamu berubah.
Hal seperti cita-cita saja bisa berubah, apalagi sifat buruk. Lebih-lebih jika
diikuti oleh kesadaran dari hati.”
”Perubahan cita-cita tak pernah mengganggu
siapa pun, namun perubahan sifatnya menganggu keluargaku!” teriaknya kesal.
”Mungkin, jika ibuku tak menunggunya pulang, sekarang kami sudah makmur. Sejahtera. Bahagia.”
Aku mengangkat bahu. ”Kita tak pernah tahu
apakah ibumu lebih bahagia jika ia menunggu atau melepaskan.”
Dia tersentak.
Aku mengangkat alis. ”Kenapa?” Bukankah menunggu kadang-kadang lebih baik
daripada melepaskan?
.
.
Esoknya, kami mengobrol lagi.
Dan
topiknya terlalu rumit untuk kusarikan menjadi satu kalimat.
Dia mengawali dengan sebuah kalimat, ”Di
masa depan nanti, aku tak ingin ke mana-mana.”
Aku agak kaget. Bertahun-tahun, ia selalu
bercerita tentang dinginnya salju. Dalamnya Palung Mariana. Lebarnya Sungai
Amazon. Hebatnya hutan hujan Afrika. Luasnya Samudera Pasifik. Panasnya Gurun Sahara. Tapi sekarang? Ia ingin menetap di desa kumuh ini?
”Kenapa?”
”Aku sudah menemukan
rumah.”
Mulutku ternganga. ”Hah? Di mana?” Kau tak mengenal rumah! Kau tak suka konsep pulang!
”Di kaki senja ini.”
”Hah? Bagaimana bisa?” Kau tak suka senja! Rumahmu bukan di sini!
”Aku suka senja.”
”Hah?” Kau
bohong!
Dia terdiam.
Aku menggeleng kencang. ”Tidak! Kau harus
kuliah di Eropa! Kau harus berkelana, kalau perlu ke ujung dunia! Kau harus
merasakan kepuasan mendaki gunung tertinggi, bukan hanya duduk memeluk lutut di
sini! Kau harus menggenggam salju, bukan meraup butiran pasir pantai ini! Kau
harus—”
Dia memberi isyarat dengan tangannya agar
aku diam, lalu ia berbisik, ”Baru beberapa hari lalu aku tersadar bahwa aku hanya ingin di sini setiap senja. Tumbuh
dengan diiringi oleh deburan ombak. Mendengar ceritamu. Tawamu. Nasehatmu."
Aku terkesiap.
Dia menambahkan, "Hanya bersamamu.”
Selama jantungku nyaris pecah, mulutku
terkatup. Rapat sekali. Ini pasti mimpi... ya... percakapan ini mungkin hanya khayalanku....
Namun, ketika aku mencubit tanganku sendiri, aku tak terbangun dari tidurku. Dia malah mengomel, "Kau terlalu rapi dengan plan-mu itu. Kau tak pernah berusaha menyadari sekelilingmu. Kau dibuat buta. Kau tak pernah menanyakan mengapa aku di sini tiap hari."
"A-aku... memang ti-tidak sadar...."
Dia menatapku. Tajam. "Aku di sini karena kau."
Aku tambah terkesiap.
"A-aku... memang ti-tidak sadar...."
Dia menatapku. Tajam. "Aku di sini karena kau."
Aku tambah terkesiap.
”Kau masih ingat ketika aku bilang cita-citaku
berganti? Ya. Aku tak ingin mendaki. Aku tak ingin berenang. Aku tak ingin
salju." Dia mengambil napas. ”Yang aku inginkan hanya memasak ayam
rica kesukaanmu, menunggumu pulang, mendengar cerita tentang kepenatanmu
mengajar matematika, dan duduk di sampingmu tiap senja tiba. Hanya itu.”
Aku masih membisu. Mimpi apa aku semalam?
Dia melanjutkan,
”Aku tahu bahwa kau ingin aku menunggu. 10 tahun. 20 tahun. 100 tahun.
Sepanjang umurku. Sebutkan saja berapa, aku pasti menunggu.”
Aku mencubit lenganku berulang kali. Siapalah aku ini? Aku hanya orang udik yang tak berani bermimpi.
Tak
mungkin perempuan cantik bermata biru yang ingin menimba ilmu hingga ke negeri
Cina itu ingin duduk di sampingku selamanya. Di kaki senja ini. Tak mungkin.
Dia menatapku, menunggu kata-kataku. Menunggu keputusanku.
Dengan gugup, mulutku bergerak sendiri, ”Ka-kau…
harus pergi....”
Hening.
Hening.
Tiba-tiba dia beranjak pergi. Berlari
meninggalkanku. Hanya menyisakan jejak-jejak kaki yang tak dijangkau sapuan ombak.
Aku terpaku. Sepi mengimpitku.
.
Senja sudah tergelincir, diganti oleh
gelapnya malam. Tapi aku tetap di sana, berbisik pelan seolah-olah dia ada dan
masih di sampingku, ”Kau harus pergi karena aku bukanlah orang yang kaucari.
Bukan aku yang patut kau pilih lebih dari dinginnya salju. Bukan aku yang bisa
mewujudkan segala mimpimu. Bukan aku dan
takkan pernah aku.”
.
.
Esoknya, dia tak datang ke kaki senja.
.
Berminggu-minggu setelahnya, dia tak datang
juga.
.
Bertahun-tahun setelahnya, dia tetap tak
datang.
.
.
.
.
.
Mungkin
dia takkan pernah duduk di sampingku lagi. Di sini.
.
.
10
tahun kemudian…
Rutinitasku tetap sama. Setiap sore, aku
selalu ke sini.
Ke
kaki senja. Demi menunggu
seseorang bermata biru yang tak pernah datang lagi.
Tapi ada beberapa hal yang berubah: (1) Aku
ke kaki senja jika sudah selesai mengoreksi ulangan matematika murid-murid
asuhanku.
(2) Aku didampingi seorang istri
berkerudung yang cantik sekali, yang ayam rica masakannya jauh lebih enak dari masakan ibuku (3) Aku juga sudah ditemani oleh
sepasang anak kembar lucu-lucu. Wajahnya sangat mirip dengan istriku (4) Aku dan istriku sedang menunggu antrean haji dari pemerintah.
Dan (5) sejauh yang kulihat, senja bukan
lagi berwarna oranye. Tapi biru.
Seperti
matanya.
.
.
Aku kerap bertanya-tanya pada diriku
sendiri: bagaimana jika sepuluh tahun lalu aku setuju agar dia di sini? Di
sampingku selamanya? Memasakkanku ayam rica terenak sedunia? Menemaniku
menghabiskan hari tua di bawah langit senja?
Akankah senja tetap berwarna oranye?
Akankah kaki senja tak sesepi ini?
Comments
Post a Comment