Waktunya untuk Pulang

Namanya Indy. Dia bidadari dalam balutan seragam pramugari. Terbang setiap hari, melintasi awan dan melesat di antara bintang-bintang.

Dia cinta terbang. Cita-cita keduanya adalah tinggal di lapisan tropopause (tempat pesawat biasa melaju). Seandainya maskapai penerbangan tak kasihan, mungkin mereka akan membiarkan Indy bekerja sebagai pramugari siaga 24/7. Indy sendiri malah akan senang (bahkan mungkin tanpa digaji) karena ia benar-benar cinta. Langit telah merebut hatinya. Jiwanya. Pikirannya.

Dan, mungkin karena terlalu lama tinggal di langit, ia sampai melupakan bumi. 

.

Tak hanya terbang di langit, ia juga suka mengudarakan pikiran serta keinginannya. Terutama masalah pilihan hati. 

Berkali-kali ia bertemu dengan lelaki, berkali-kali pula ia jatuh hati. Pada pilot, manager bandara, hingga teknisi pesawat (ya, profesi mereka selalu berkaitan dengan 'terbang'). Ia ajak terbang sosok yang ia impikan itu ke langit tertinggi. 

Namun sayangnya, sosok itulah yang menjatuhkannya dari atas sana. Ke bumi. Dengan percepatan 10 m/s2 dan ketinggian beribu-ribu kaki, siapakah yang sanggup menahan sakitnya? 

.

Tapi kali ini berbeda. 

Suatu malam, ketika aku sedang tenggelam di alam mimpi, ia meneleponku. "Rez, aku jatuh cinta."

Aku membuang napas kesal. Tak tahu karena mimpiku terganggu, atau karena lagi-lagi ia memvonis sesuatu yang sudah terlalu sering divonis. "Kau selalu jatuh cinta. Dengan orang yang berbeda dan dengan jeda yang terlalu sebentar." 

"Itulah cinta. Kau bisa menemukannya di mana pun. Kapan pun. Bersama siapa pun." 

"Ya, ya, terserah kau saja," kataku, malas ambil pusing. "Jadi, siapa orang yang tidak beruntung itu?" 

"Sialan," makinya sambil tertawa kecil. "Namanya Hendrik. Masih muda. Dia seorang sopir taksi." 

"Tumben kau jatuh cinta pada seseorang yang profesinya tidak berkaitan dengan udara," komentarku asal sembari melangkahkan kaki ke dapur. Mendadak haus. "Kenapa sekarang kau memilih seseorang yang bekerja di darat?"

Kukira dia akan tertawa kecil lagi, namun dia malah terdiam. 

Aku mengernyit. "Ada apa?"

Hening. Sunyi senyap.

Dia menghela napas. "Mungkin aku tak ingin terbang maupun menerbangkan mimpiku tentang hati lagi. Jika aku jatuh cinta saat terbang, aku bisa saja jatuh ke bumi. Namun jika aku jatuh cinta saat menapak bumi, aku tak bisa jatuh ke mana-mana, bukan?" 

Aku terkesiap. Manusia di seberang sana tak mungkin Indy. "...kau punya sayap. Kau sendiri yang mengatakan bahwa kau adalah bidadari." 

"Mungkin aku harus menerima kenyataan bahwa aku hanya manusia biasa," katanya dramatis. 

Aku tak menjawab. 

Telepon ditutup. Terdengar bunyi tut yang panjang.

.

Setelah percakapan (yang mungkin absurd) itu, tiba-tiba rutinitas kami berubah. Selama 4 tahun yang telah berlalu dalam kedipan mata ini, Indy jadi jarang meneleponku tengah malam lagi. Kukira, ia berubah karena ia memang benar-benar jatuh cinta di bumi, tapi ternyata...

Malam ini, ia bertandang ke rumahku. Badannya masih dibalut seragam pramugari bernuansa biru. Gincu merahnya hilang dan maskaranya luntur karena air mata. Berkali-kali ia tersedak menahan tangis. 

Aku terbelalak. "Ada apa?" 

Ia tak menjawab apa-apa. Dengan segera, kusuruh ia duduk di sofa ruang tamu dan kuambilkan segelas air putih hangat.

Mengalirlah kalimatnya, "Aku jatuh lagi." 

Perlu waktu bagiku untuk memahami apa makna kalimat ambigu itu. "Hah?" 

"Aku jatuh lagi," katanya sambil mengusap air mata. "Kali ini bukan dari langit, tapi dari angkasa." 

Aku langsung mengerti. Ia sedang membahas Hendrik (yang mencampakkannya). "...oh ya?" Dalam hati, aku bertanya-tanya bagaimana bisa sopir taksi itu membawa Indy ke angkasa dengan mobil bututnya.

Dia tersedak. 

Aku bertanya lagi, "Bukankah kau telah memilih untuk jatuh cinta di bumi?"

Dia tersedak lagi.

Mendadak aku tersadar bahwa aku tak membutuhkan jawaban. Mencintai seseorang di bumi tak memiliki resiko. Dan seperti aktivitas lain yang tak memiliki hal tersebut, cinta itu lama-lama jenuh. Lalu pudar. Lalu hilang karena tak ada 'adrenalin' yang mempertahankannya.

Karena itu, di detik-detik terakhir, Indy memilih untuk menerbangkan hatinya lagi. 

"Bayangkan. Angkasa tak punya gravitasi, tapi aku jatuh!" serunya. Air matanya tambah deras. "Cinta sekuat apa yang mampu melenyapkan gravitasi dari angkasa?" 

Aku tak tahu harus menjawab apa selain, "...umm... cintamu pada Hendrik?"

"Dan karena aku jatuh dari tempat yang lebih tinggi, hatiku terasa lebih sakit," ujarnya pilu. "Sejujurnya, aku bahkan heran kenapa telapak kakiku masih mampu membawaku ke sini. Harusnya ia remuk. Harusnya aku diamputasi. Jatuh dari angkasa akan selalu--"

"Mungkin karena sebenarnya kau tak jatuh." Aku berusaha menghibur. "Mungkin kau membentangkan sayap-tak-kasat-matamu di langit. Sayap itulah yang membawamu--" 

"Aku bukan bidadari," katanya tegas. "Aku hanya manusia biasa." 

"Menurutku, kau bidadari," celetukku asal. 

Di luar dugaanku, ia malah terkejut dan menatapku dalam-dalam. Lurus. 

Aku tersipu. Salah tingkah. "Kenapa?" 

Dia mengambil napas, lalu menggeleng. "Tak mengapa." 

Aku telanjur salah tingkah. Mulutku terdiam, begitu pun mulutnya. Kami larut dalam keheningan yang hanya diisi oleh bunyi binatang melata yang terlalu keras di halaman rumahku. 

Tiba-tiba Indy menghela napas sambil mengusap air mata terakhir, lalu berkata, "Kali ini aku benar-benar lelah terbang bersama seseorang." 

"Hmm?" Aku tak mengerti. 

"Aku tak butuh orang yang bisa kubawa pergi, tapi aku butuh orang yang akan tetap menahanku ketika aku akan pergi agar aku tak bisa jatuh lagi," ujarnya pelan. Aku lupa menyalakan lampu ruang tamu, tapi rona merah di wajahnya masih terlalu kentara untuk diabaikan. "Orang yang akan tetap menganggapku sebagai bidadari, bahkan ketika aku tak ingin terbang lagi." 

Aku terdiam. Mulutku terus terkatup hingga ia pulang.

Mungkinkah ia baru saja menyinggung cinta? Menyinggungku? 

.

Kalimat itu terus menganggu, dan bahkan mengacaukan sistem-sistem sarafku. Berkali-kali aku menyikat gigi menggunakan sampo, meminum teh dari mangkok, dan mengelap wajahku dengan lap cuci piring. Ah, begitu hebatnya apa yang bisa dilakukan sebaris kalimat terhadap dirimu, Reza. 

Berhari-hari, aku terjebak dalam pertanyaanku sendiri: Mungkinkah kalimat itu menyinggungku? 

Mungkinkah, kali ini, ia jatuh cinta padaku? 

Dan jika ia benar jatuh cinta padaku, mungkinkah karena aku adalah seorang desainer grafis sederhana yang takkan mampu membawanya ke angkasa sana, karena aku bahkan harus berlari mengejar angkutan umum ke tempat kerjaku? 

.

"Kali ini aku jatuh cinta lagi," katanya lewat telepon. 

Jantungku berdegup. Aku tahu sekali jawaban dari pertanyaan ini, namun aku berpura-pura tak tahu. "Pada siapa?" 

"Aku tak akan menyembunyikannya," katanya tenang. "Aku jatuh cinta padamu." 

Aku sudah menduga jawaban itu, namun aku tetap tak bisa setenang dia. 

Pelan, aku bertanya, "Mengapa?" Apakah karena aku tak punya kendaraan pribadi untuk kauajak ke lapisan tropopause sana? 

"Alasan pertama, karena kita akan jatuh cinta di bumi, sehingga aku tak perlu jatuh lagi," jawabnya. "Alasan kedua, karena walaupun kaki kita selalu menapak bumi, kita akan tetap bergerak pergi. Tujuan indah dari suatu perjalanan tak mungkin hanya angkasa, bukan?"

Aku terkesiap. Sedikit merasa pusing karena ini seperti mimpi. Aku tak tahu mengapa Tuhan membuat skenario seperti ini. Mengapa bisa seorang bidadari jatuh cinta pada seseorang yang selama bertahun-tahun ini hanya menatapnya terbang dari bumi? "...aku tak tahu harus menjawab apa. Maaf."

"Aku tak butuh jawaban," katanya. "Selamat malam." 

"....ya. Selamat malam." 

Telepon ditutup. 

Bunyi tut yang sama terdengar, namun kali ini, aku merasa ada kesakitan yang tersimpan di setiap tut. 

Comments

Post a Comment

Popular posts from this blog

Contact Me

About Me: The New Version

#1 Proses Novel "Inikah Rasanya Cinta"