Minggu Ketigapuluh Tujuh - Minggu Keempatpuluh di Jerman (AFS Indonesia - Jerman 2016/2017)

Catatan: Sebenarnya, aku udah lupa ini minggu keberapa. Tapi kayaknya udah masuk minggu keempat puluh. 


Song of the Week: 
Moon River - Audrey Hepburn

Moon river, wider than a mile
I'm crossin' you in style, someday
Oh, dream maker, you heartbreaker 
Wherever you're goin', I'm goin' your way 
 Movie of the Week:
Dead Poets Society
Breakfast at Tiffany's juga bisa, sih.

View of the Week: 
Ladang rumput di dekat rumah! Luas membentang, penuh rumput (ya iyalah, namanya aja padang rumput), dan dilatarbelakangi sama langit biru terang. Waktu lagi di sana, rasanya kayak lagi jadi model video clip.

------------------------
--------------
----

Sebagai pembuka postingan kali ini, aku bakal cerita tentang... lebaran. 

Aku beruntung banget dapat placement di dekat salah satu 'wilayah istimewa Indonesia' di Jerman, yaitu Konsulat Jenderal Republik Indonesia (KJRI) Hamburg! Yeay! KJRI Hamburg emang rutin mengadakan perayaan hari-hari besar, termasuk Idul Fitri. Jadi, kesimpulannya, aku shalat Ied di sana. 

Sebenarnya, sehari sebelum lebaran, aku nggak berniat untuk pergi ke KJRI. Selain karena aku lagi banyak aktivitas, aku juga nggak mau ngerepotin host family; jadi, untuk pergi ke Hamburg, aku harus naik kereta dari stasiun kereta Lüneburg (Hauptbahnhof). Untuk pergi ke Hauptbahnhof, aku harus naik bis dari rumahku. Tapi karena lebaran jatuh pada hari Minggu, bis nggak beroperasi. Jadi, aku harus minta tolong ke host mom untuk nganterin aku ke Hauptbahnhof naik mobil. 

Tapi, karena nggak mau nyesal, akhirnya aku pergi, deh. Ngerepotin host mom, sih, karena harus berangkat pagi-pagi. Tapi untungnya host mom-ku baik banget....

Untuk pergi ke KJRI caranya gampang, sih. Ini dia yang kulakuin:
  1. Naik mobil ke Lüneburg Hauptbahnhof. Bisa juga naik bis 5201.
  2. Dari Lüneburg Hauptbahnhof, naik Metronom (semacam kereta) ke Hamburg Hauptbahnhof.
  3. Dari Hamburg Hauptbahnhof, naik U-Bahn (kereta bawah tanah) U1, turun di Lattenkamp. 
  4. Begitu keluar dari Lattenkamp, nyebrang jalan, terus belok kiri, terus jalan lurus sampai ketemu KJRI yang letaknya tepat di samping Konsulat Iran. Sampai!
Waktu aku lagi melamun duduk di Metronom menuju Hamburg, tiba-tiba handphone-ku bunyi. 

Eh, ada chat dari Syairin. 

Jadi, Syairin ini adalah siswi exchange student dari Indonesia ke Jerman juga, tapi berangkat lewat organisasi YFU. Sebelumnya, kami udah pernah chat, sih, tapi belum pernah benar-benar ketemu, soalnya aku mager  nggak sempat. 
Syairin: "Ran, hari ini kamu ke KJRI ya?"
Aku: "Iya. Kamu?" 
Syairin: "Aku juga. Tapi kayaknya nyampainya agak telat, soalnya ketinggalan kereta. Aku nggak sempat shalat Ied.
Aku: "Ya udah, nanti ketemu, ya! Cari aja yang paling gembel (serius, aku ngetik gini). See you!"

Singkat cerita, aku sampai di KJRI, ngisi daftar kehadiran (tanda tangan doang), terus langsung persiapan shalat Ied (aku shalat di halaman KJRI yang penuh rumput). Waktu itu, jam udah menunjukkan pukul 08.40, sementara shalat Ied dimulai tepat jam 09.00. Jadi, aku masih punya waktu dua puluh menit yang kupakai untuk 1) nungguin Syairin, 2)  dzikir (pencitraan), dan 3) merenung: keluarga besar lagi ngumpul di Solo, nih... shalat ramai-ramai, makan opor... sementara aku... sendirian....


Sedih, sih. Dikit. Tapi nggak lama-lama, kok, soalnya kami langsung shalat Ied!

Sementara shalat, aku khusyuk banget, sumpah (pencitraan lagi, dong). Padahal biasanya, kalau shalat Ied di Indonesia, aku suka goyang-goyang gitu. Baru kerasa khusyuknya gimana pas lebaran sendiri! 

Tepat setelah shalat Ied, aku pengin ngedengerin ceramah dengan khusyuk juga (ea), tapi hujan turun. Lumayan deras, lagi. Akhirnya aku dan orang-orang yang shalat di halaman langsung bubar, deh. Ada yang neduh di tenda makanan, di bawah pohon, dan lain-lain. Aku, sih, di bawah pohon. Adem. 

Eh, pas lagi asyik-asyiknya berdiri di bawah pohon (apa asyiknya, coba?), tiba-tiba ada yang manggil aku. "Rani?"

"Eh, Syairin!" 

Setelah itu, kami berdua ngobrol, deh. Temanya macem-macem. Mulai dari kehidupan exchange di Jerman, apa yang bakal kami lakuin kalau udah balik ke Indonesia, sampai... latar belakang diri masing-masing!

Ternyata, di Indonesia, Syairin sekolah di SMAN 17 MakassarSebagai siswi yang SMP-nya di Sorowako (Sulawesi Selatan), aku akrab banget sama SMA itu. Bahkan, salah satu temenku juga sekolah di sana. Akhirnya, kami ngobrol tentang temenku itu, deh (note: dunia itu beneran kecil, guys)!

Selain itu, Syairin juga sempat iseng ngetes logat Sulawesiku. 

Syairin: "Jadi mengerti ji ko apa yang kubilang sekarang?"
Aku: (malu-malu) "Iyo, ngerti ji ka.
Syairin: "WOAAAAA!" 

Rasanya kayak jago banget, ya? Padahal nggak juga, sih. Aku emang sepuluh tahun tinggal di pojok Sulawesi Selatan dan bisa ngomong bahasa Indonesia pakai logat Sulawesi, tapi nggak bisa bahasanya.

Ngomong-ngomong, kalau lagi bicara tentang latar belakang diri, aku suka ngerasa jadi Mrs. Worldwide, deh (note: kesombongan detected. Kalau nggak suka, gak usah baca!).

Kalau ngomong sehari-hari, aku emang pakai bahasa Indonesia yang baik dan benar. Tapi karena waktu kecil sering ke Solo, bisa dibilang bahasa Jawa adalah mother language-ku yang kedua (aku ketawa pas ngetik ini, hehe). Pas masih kecil, aku bahkan bisa ngomong bahasa Jawa yang beneran Jawa (dan aku bangga). Serius. Tapi sekarang udah lupa. Sekarang, kalau ada orang yang ngomong bahasa Jawa, aku ngerti, tapi nggak bisa ngomongnya. Waktu sekolah setahun di Solo, aku sempat belajar banyak kata baru, sih. Tapi, lagi-lagi, udah lupa. Cuma inget 'enggih' dan 'njagong' doang. 

Dan, setelah setahun di Solo, aku jadi... medok.

Jadi, setelah sekolah setahun di Solo, aku pindah ke Bandung. Pas pertama kali pindah, semua orang ngomong kalau aku medok banget. Bahkan aku pernah di-bully gitu, hehe. Nggak kupikirin banget, sih, soalnya aku tahu mereka bercanda. Tapi... kadang-kadang nyelekit banget... sampai trauma....

Makanya, sampai sekarang, aku nggak mau ngomong pakai 'lo-gue' walaupun yang ngajak ngomong 'lo-gue' banyak (terutama temen-temen di grup AFS). Bukan karena sok lembut, sumpah. Tapi karena takut medoknya kelepasan.... 

Dan medok itu bertahan sampai sekarang! Medoknya cuma muncul waktu aku ngomong huruf 'd' aja, sih. Tapi tetap aja ada (padahal, aku mulai nyaman ngomong pakai logat Sunda)! Jadi, kalau kalian ketemu sama manusia yang pakai bahasa Indonesia berlogat Sunda tapi medoknya ada... jangan heran, ya. Manusia jenis itu emang beneran hidup, kok. 

Lanjut, ah.

Ngobrol sama Syairin rasanya lumayan seru. Walaupun baru ketemu sekali, obrolan kami udah nyambung. Mungkin karena kami 1) sama-sama exchange students, dan 2) sama-sama kangen makanan Indonesia! Setelah shalat Ied, kami bahkan ngantre barengan di barisan paling depan tenda makanan.

Ngomong-ngomong, makanannya enak banget, deh. Lontong, opor, sayur kacang buncis, dan tempe sambal goreng!



Sebenarnya, aku dan Syairin sempat berencana untuk mampir ke restauran Asia setelah urusan kami di KJRI selesai, tapi kami udah terlalu kenyang. Maklum, pas ngantre makanan (prasmanan), kami ngambil porsi jumbo. Pakai nambah kerupuk segala, lagi. Orang-orang di belakang kami sampai takut kehabisan. 

Tapi, walaupun nggak jadi mampir ke restauran Asia, kami sempat ngelaksanain 'misi' yang lain: ngebungkus opor ayam!

Bukan buat dimakan di rumah, sumpah. Tapi buat Fai (YFU Indonesia - Jerman) yang kebetulan nggak bisa ikut berlebaran di KJRI (walaupun dia tinggal di Rostock) karena dia lagi ada pertandingan baseball di kota tempat tinggal Syairin. 

Fai sempat nge-chat Syairin, minta dibungkusin makanan. Bercanda doang, sih, pastinya. Tapi kami, sebagai teman yang ngerti rasanya kangen makanan Indonesia, tetap ngelakuin amanah itu, dong. Karena Syairin malu ngebungkus sendiri, akhirnya aku bantuin. Caranya? Aku dan Syairin ngambil masing-masing satu piring (satu piring dipakai sebagai alas makanan, satunya lagi dipakai sebagai penutup). Terus, Syairin ngambil dua potong opor ayam. Terus, kami lari ke semak-semak (#TerBermutu2k17). Terus, opor itu dibungkus sama jaket. Terus, kami pulang. 

Iya, pulang.

Pulang gitu aja. 

Kehidupan exchange kita emang berfaedah banget, ya, Syairin. 



.

Dua minggu lagi, aku... pulang. 

Sebelum pulang, aku bener-bener sibuk nikmatin hari-hari terakhirku di Jerman. Aku lagi sering jalan-jalan, ngelakuin hal-hal baru, sampai nge-quality time bareng orang-orang terdekat.

Aku juga lagi sibuk perpisahan, sih. Salah satunya dengan AFS. 

Jadi, tanggal 18 Juni 2017, AFS ngadain acara perpisahanku dan Adrien (AFS Kosta Rika - Jerman). Perasaanku campur aduk banget, deh. Pertama, seneng (soalnya bisa kumpul bareng volunteers AFS). Kedua, sedih (soalnya Adrien ngajak pacarnya yang dari Norwegia). Ketiga, sedih lagi (soalnya ini pesta perpisahan), dan keempat: tegang. 

Soalnya aku kudu nyampein pidato perpisahan di depan banyak orang!

Jujur, pas disuruh bikin pidato, aku panik. Aku nggak tahu harus ngomong apa! Akhirnya aku memutuskan untuk ngomong secara spontan aja. 

Eh. Pidatonya nyentuh (soalnya langsung dari hati banget).

Host mother-ku sampai terharu.

Aku jadi ikut nangis, deh.

:(

Yang bilang aku gendut, kucium

Oh iya, untuk acara perpisahan AFS ini, aku sempat masak martabak. Bikin tiga, yang berhasil satu (itu pun baru berhasil setelah host mother campur tangan).

Membingungkan. 
Atasnya belum mateng, bawahnya udah gosong.


Yang pertama gosong banget, yang kedua terlalu tipis, yang ketiga lumayan.

.

Tanggal 23 Juni 2017, aku dan host mom jalan-jalan ke Hamburg. Hal pertama yang kami lakukan begitu sampai di sana adalah main di Elbphilharmonie, alias salah satu ikon Hamburg yang baru selesai dibangun. Aku seneng banget, sumpah. Selain karena dari dulu pengin ke sini, ternyata tiketnya juga gratis! Padahal, aku udah nyiapin 2 Euro... hehehe....

Cantik banget...




Setelah puas foto-foto di Elbphilharmonie, kami langsung masuk ke agenda utama: nonton teater sirkus. 

Jadi, temenku sekaligus anak temennya host mom-ku (namanya Max) tampil di teater sirkus. Tempatnya lupa di mana, yang jelas di dalam tenda sirkus.

Sebenarnya aku nggak niat, sih, soalnya cuacanya jelek banget. Aku juga nggak tertarik sama teater atau pun sirkus. Tapi ternyata, teater sirkus itu keren banget! Judulnya adalah Anderswo (bahasa Indonesia: Tempat yang Lain). Ceritanya kurang-lebih tentang sekumpulan masyarakat yang kena teror waktu. Supaya teror itu hilang, harus ada semacam pengorbanan gitu, deh. 

Tema teaternya emang serius, tapi teaternya lucu, kok. Apalagi, Max meranin tokoh yang berotot, tapi canggung dan (maaf) nggak punya otak. Aku jadi ketawa terus. Kadang-kadang, aku melongo juga, sih. Kagum! Terutama waktu adegan sirkus (trapeze-nya keren!). 



Selain teater Anderswo, aku juga sempat nonton teater berjudul 7 Todsunden (bahasa Inggris: 7 Deadly Sins) di Lüneburg. Awalnya aku juga nggak pengin nonton, sih. Tapi karena temenku (Lea) tampil di teater itu, akhirnya aku berangkat, deh. Tapi aku nggak nyesel, sumpah. Teaternya keren! Apalagi, setelah teaternya selesai, aku ditraktir sama keluarganya Lea untuk makan di cafe. Teaternya jadi tambah keren! (lah apa hubungannya).

Oh iya, sebelum pergi ke teater 7 Todsunden, aku sempat mampir ke kedai Döner. Döner adalah makanan khas Turki (eh, nggak tahu, deng) yang umum ditemuin di Jerman. Aku sukaaaaaaaaa banget makan Döner. Bahkan, kalau disuruh pilih doi atau Döner, jujur aku pilih Döner (soalnya gak punya doi) (apaan, sih, Ran).

Nah, pas lagi asyik-asyiknya nikmatin Döner, tiba-tiba empat orang temenku dateng! Mereka adalah temen dari komunitas pengungsi-pengungsi Afghanistan/Suriah/Iran yang lumayan dekat sama aku (kalau ada yang pernah baca postinganku sebelumnya, mungkin kalian tahu aku pernah ikut demo di Hannover. Nah, aku demo bareng mereka).

Terus, mereka nemenin aku makan, deh. 

Hehe.

Dan, besoknya, mereka datang ke rumahku! Ngebawain bunga! Ah, baper!

.

Waktu ulang tahunku empat bulan yang lalu, aku dapat hadiah voucher ke Heide Park (taman rekreasi, semacam Dufan) dari Finja dan Alex (host sister-ku dan pacarnya). Nah, tanggal 24 Juni kemarin, voucher itu akhirnya kupakai juga! Aku, Finja, dan Alex main ke Heide Park! Yeah! 



Aku sempat agak sedih, sih, soalnya 1) aku jadi obat nyamuk, dan 2) cuacanya nggak bagus banget. Hujan melulu! Tapi kesedihan itu langsung hilang waktu aku sadar: antrean di Heide Park, yang biasanya sepanjang dosa, jadi pendek! Yeah!

Kami bertiga nyobain banyak wahana, terutama wahana roller coaster yang jenisnya ada banyak.


Ralat: bukan 'kami bertiga', sih, tapi cuma aku dan Alex. Soalnya, Finja takut sama wahana ekstrem. 

Ada kejadian yang kurang mengenakkan, nih. 

Jadi, setelah nyobain roller coaster dengan percepatan tertinggi (percepatan, bukan kecepatan), perutku rasanya diaduk-aduk. Aku pernah naik roller coaster, sih, di Trans Studio Makassar dan Trans Studio Bandung. Tapi kayaknya nggak separah ini, deh... perutku emang jadi geli, tapi nggak sampai kayak diaduk-aduk....

Nah. Dengan keadaan perut begitu, aku lanjut ke wahana berikutnya: Hysteria (nama Dufan). Pokoknya, wahana ini terdiri dari sebuah tiang yang panjangnya kira-kira tujuh puluh dua meter (kalau nggak salah, tiang Hysteria di Heide Park adalah yang tertinggi di Eropa (atau malah dunia)), terus orang-orang (yang duduk melingkar di sekeliling tiang) bakal dibawa naik sampai ke puncak, dan langsung dijatuhin hanya dalam waktu satu detik. 

Sumber: Dufan

Awalnya aku biasa aja, sih. Tapi, begitu sampai di puncak (sebelum dijatuhin), tiba-tiba aku keingat perutku. 

Waduh. 
Muntah, nih.

Sambil nelen ludah, dengan keadaan perut yang semakin parah, aku ngelihat pemandangan yang kelihatan cantik dari puncak. Hutan, lapangan parkir, sampai tiang listrik.
Mampus. 
Tinggi amat!

Dengan panik, aku noleh ke kanan dan ke kiri, nyari jalan keluar. Tapi udah terlambat, lah. Wong udah sampai di puncak! Pengin keluar gimana? Lompat? 

Keluar dari wahana kagak, keluar dari hidup iya. 

Akhirnya, aku ngomong ke Alex di sampingku, "Alex, ich werde getötet!" (AKU BAKAL MATI!)

GIMANA INI.

AKU BELUM NIKAH.

Alex balas, "Nie, du musst überleben." (Nggak. Kamu harus bertahan).

Aku balas, "Ich möchte raus gehen! Ich möchte raus gehen! ICH MÖCHTE RAUS GEHEN! (Aku pengin ke luar aja!)

Telat.

Tepat setelah aku ngomong gitu, wahananya turun. 72 meter dalam satu detik. Aku pengin teriak, tapi gak bisa. Mulutku ditahan sama udara. 

Tapi alhamdulillah, aku yang cemen ini berhasil bertahan hidup.

.

Sekarang, aku lagi liburan musim panas! Yeah!

Di hari terakhir sekolah (23 Juni 2017), ada dua hal 'parah' yang terjadi. 

Pertama, Juliane (tetanggaku) ngajakin aku ke peternakan sapi. Kebetulan, bapaknya berprofesi sebagai peternak yang punya ladang di dekat rumahku. Akhirnya, kami jadi main ke ladang itu pada tanggal 27 Juni 2017!


Kami berangkat ke sana naik mobil gerobak tua yang biasa dipakai peternak untuk ngangkut susu sapi. Aku dan Juliane duduk di dalam gerobak pendek, di atas ember berisi makanan sapi (yes, this happens in Germany). 


Pake filter beauty, ah.

Pas kami naik gerobak ini, semua orang ngelihatin kami. Sumpah. Oscar dan teman-temannya aja (anak kecil di sekitar rumahku), yang kebetulan lagi main di dekat halte bis, langsung ngejar-ngejar kami. Wajar, sih, soalnya aneh juga ngelihat dua orang remaja perempuan duduk di gerobak susu sapi....

Tapi nggak apa-apa. Baelah.

Begitu sampai di ladang, aku dan Juliane ngebantuin bapaknya mindahin sapi (lebih tepatnya ngarahin, sih). Ternyata sapi itu pinter, guys! Kalau kita udah akrab dengan mereka, mereka bisa ngerti kita! Well, sapinya nggak dekat sama aku, sih. Jadi, waktu aku ngomong "Geh!" (pergi!) ke mereka sambil nunjuk-nunjuk ladang sebelah, mereka nggak nurut. 

Tapi, waktu Juliane yang ngomong, mereka nurut (walaupun mereka sempat protes, sih, "Moo!"). 

Ngomong-ngomong, lucu, deh: 1) Bapaknya Juliane punya puluhan sapi, 2) semua sapi itu punya nama, dan 3) bapaknya Juliane hapal semua nama sapi. Padahal sapi-sapi itu kayak kembar semua, guys! 

Setelah itu, aku dan Juliane ngasih makan sapi. Tapi sapinya udah pada kenyang, jadi mereka nggak mau makan. Nggak apa-apa, sih, soalnya (jujur) aku takut! Takut diseruduk!

.

Udah, ah. Mending kita lanjut ke cerita 'parah' kedua yang terjadi di hari terakhir sekolah: mampir ke kuburan. 

Gini ceritanya. 

Jadi, di hari terakhir sekolah, aku pengin nyoba suasana baru pas pulang sekolah. Kalau biasanya aku pulang langsung ke Südergellersen (desa tempat tinggalku) naik bis, kali ini aku pengin jalan kaki ke Lüneburg Hauptbahnhof dulu, sekalian beli es krim. 

Jarak antara sekolahku dengan Hauptbahnhof itu kurang lebih dua kilometer. Nggak jauh-jauh banget, sih. Tapi, masalahnya, aku nggak hapal jalan. 

Tapi aku nekat. 

Akhirnya, berbekal plang jalan, aku jalan kaki, deh.

Nah. Setelah ngelewatin dua belokan, plang jalan bertuliskan Bahnhof itu nunjuk ke kiri, ke arah hutan-hutan. Aku yang optimis ini nurut-nurut aja, dong. Tanpa curiga sedikit pun, aku langsung masuk ke hutan itu dengan santai. Sambil nyanyi-nyanyi dikit, malah. 

Nah. 

Setelah dua puluh meter jalan...

AKU NEMU BATU NISAN.

Deg. 

Aku mundur selangkah, takut. Tapi aku tetap optimis. Sambil micingin mata, aku ngomong ke diriku sendiri, masa sih itu batu nisan? Nggak mungkin, ah. Ini kan hutan terbuka (padahal, di batu itu, jelas-jelas tentera nama, tahun lahir, dan tahun meninggal) (kadang-kadang, aku emang bisa jadi bolot banget, guys).

Lanjut.

Akhirnya, dengan hati deg-deg-serrrrr, aku tetap jalan. Baelah, nggak usah dipikirin. 

Nah. 

Pas udah di tengah-tengah hutan (setelah jalan kaki kurang-lebih lima puluh meter), aku nemu padang rumput luas dengan pohon-pohon yang berjarak. Di samping padang rumput itu... ada... papan kayu yang berisi daftar orang-orang meninggal. 

Aku langsung teriak. Keras banget. Sumpah. "AAAAAAA!"

Nggak ada yang denger. Ya iyalah, wong aku bener-bener sendirian!

Aku teriak lagi. "AAAAAAA!"

Terus, sambil nahan pipis, aku muter arah (kembali ke jalan awal). Aku gak berani lari, takut kualat.

Tapi, begitu inget sama batu nisan yang kulihat pas awal-awal tadi, aku jadi tambah takut. 

Akhirnya aku muter arah lagi. Kali ini sambil lari-lari kecil. 

Ketahuan, ya, cemennya.

.


Hari ini (28 Juni 2017), aku berencana main ke Hamburg (lagi). Sendirian. Nggak ngapa-ngapain, sih, cuma pengin belanja aja (baca: jalan-jalan, mengingat aku bokek) di Mönckebergstraße

Akhirnya, pukul 13.13, aku berangkat ke Lüneburg Hauptbahnhof, deh. 

Begitu aku sampai di Lüneburg Hauptbahnhof, ada Metronom (kereta) yang baru tiba dari Hamburg, menuju Uelzen (Metronom itu berhenti sebentar di Lüneburg). Sebenarnya biasa aja, sih. Tapi, tiba-tiba, dari dalam pintu Metronom itu... seseorang keluar. 

S. e. s. e. o. r. a. n. g.

Untuk memudahkan cerita, mulai dari sekarang, kita panggil aja seseorang itu dengan nama Linus (sedikit informasi: cowok, 20 tahun, kelahiran Afghanistan tapi besar di Iran, dan sekolah di BBS II alias sekolah yang sama dengan sekolahnya host sister-ku). 

Jujur, ceritaku sama Linus ini panjang banget (tapi nggak pernah kuceritain di blog ini). Jadi, Linus adalah salah satu pengungsi dari Iran yang kukenal lewat komunitas khusus pengungsi negara perang. Dulu, aku aktif di komunitas itu (bahkan ikut demo segala), tapi sekarang udah nggak.

Aku inget banget hari pertama ketemu Linus: waktu itu, aku lagi main ice skating bareng temen-temen komunitas. Ramai banget, deh (jumlah kami semua kira-kira tiga puluh orang). Saking ramainya, aku sampai nggak sadar kalau Linus ada.

Aku baru sadar kalau Linus ada, waktu lagi ngelilingin arena ice skating untuk yang kesekian kalinya, terus aku ngelihat dia lagi pegangan di tepi arena ice skating (which means, dia nggak bisa main ice skating).

Waktu aku ngelihat dia, dia senyum. Matanya kelihatan agak sedih gitu, sih. Mungkin karena dia nggak bisa jalan di atas es, mengingat temen-temen lain lagi pada sibuk dan nggak bisa ngebantuin dia. 

Akhirnya aku nyamperin dia. "Hallo."

"Hallo."

Aku ngulurin tangan. "Brauchst du Hilfe? Ich helfe dir gerne." (Butuh bantuan, nggak? Aku seneng, lho, kalau harus ngebantu kamu.)

Singkat cerita, dia nerima tanganku, terus akhirnya kami main ice skating sama-sama, deh. Susah, sih, soalnya 1) aku juga nggak jago-jago amat main ice skating, dan 2) dia nyaris jatuh terus (dan, kalau dia jatuh, aku pasti ikut jatuh soalnya badannya dia jauh lebih tinggi dari badanku). Tapi, untungnya, kami berhasil! 

Yeah!  

Terus... udah. Nggak ada baper-baperan. 

Tapi kebaperan itu mulai ada waktu workshop Ankunft bis Zukunft (aku pernah nulis tentang workshop ini di postingan terdahulu). Ngomong-ngomong, sumpah aku nggak percaya aku nulis cerita picisan gini di blog-ku sendiri; what's wrong with me? 

Baelah.

Lanjut.

Di workshop itu, aku dan Linus sering ngobrol berdua. Dia cerita tentang keluarganya yang stuck di Iran, sementara aku cerita ngolar-ngidul tentang Indonesia. Aku juga sempat ngajarin dia main UNO, lho. Dia sempat kesel, sih, soalnya dia kalah terus kalau main lawan aku (kesombongan detected). Tapi mau gimana lagi? Kejagoanku emang susah disembunyikan, sih.... (ayo timpuk aku ramai-ramai, guys).

Lanjut. 

Nah. Pada hari kedua workshop, waktu jam istirahat, aku iseng mampir ke ruang rekreasi. Sendirian. Di dalam ruangan itu, ada banyak alat musik, termasuk piano. Aku nggak jago main piano, sih. Sumpah. Tapi, waktu itu, aku lagi seneng-senengnya belajar lagu City of Stars (OST. La La Land).

City of stars...
Are you shining just for me?

Ya. Aku main piano sendirian di dalam ruang rekreasi. Agak serem sekaligus sedih, sih. Tapi baelah

EH.

TERUS.

LINUS DATENG.

"Halo," sapa dia sambil senyum.

"Halo." Aku berhenti main piano. "Kamu ngapain ke sini?"

Terus, dengan sangat direct, dia jawab, "Nyari kamu."

".........." ADUH, AKU TEH NGGAK KUAT, MAS, DIGINIIN. "Emangnya ada apa?"

"Nggak apa-apa," jawab dia sambil duduk di sampingku. Kebetulan, tempat duduk piano-nya emang lebar. Untuk dipakai duduk sama tiga orang aja muat. "Kamu bisa main piano?"

"Ini lagi main."

"Ya udah, coba main."

"Belum jago, sih," kataku jujur. Bukan basa-basi, serius. Waktu itu, aku emang baru bisa mainin lagunya sampai baris 'who knows? I felt it from the first embrace I shared with you'. Terus udah. "Nggak usah, lah. Kita ngobrol aja." 

"Mainin," kata dia, agak maksa. 

Akhirnya aku main piano lagi, deh. 

City of stars...
Are you shining just for me?
City of stars...
There's so much that I can't see...

Rasanya udah kayak Emma Stone dan Ryan Gosling, sumpah.... 

Setelah itu, rasanya emang ada yang beda (NGGAK DENG, BOHONG. BIASA AJA). Tapi nggak ada apa-apa, sih. Soalnya kami sama-sama sibuk, fokus workshop dan proyek. 

Sampai akhirnya... 

Di malam terakhir workshop, kami (semua peserta workshop) nikmatin waktu sama-sama. Quality time, lah, istilahnya. Kami makan bareng, ngobrol, nonton film, main game, sampai dance (jadi, di Aula, orang-orang pada bikin lantai dance dadakan. Musiknya hatjep).

Aku yang pemalu ini nggak mau dance, dong. Akhirnya aku duduk aja di pinggir lantai dance, nontonin temen-temen, dan ngemil chips. Sendirian.

Sampai akhirnya, Linus dateng. Kami ngobrol lama, and then....

...he held my hand. 

Yep.

Rasanya aneh banget. Aku kayak membatu gitu! Tapi, begitu ada yang ngelihat, I pulled my hand out karena aku nggak mau ada gosip aneh-aneh (apalagi kalau ada drama di dalam komunitas). Terus... aku langsung izin balik ke kamar, deh. Kabur. Malam itu adalah salah satu malam paling aneh yang pernah kurasain. Rasanya kayak mimpi!

Setelah workshop selesai, kami... udah. 

Nggak menjauh, tapi nggak mendekat juga. Aku berusaha nggak mikirin, sih. Pengin nikmatin hidup aja, sebebas-bebasnya. Mumpung lagi di Jerman juga, kan.

But then, once, he asked me if we could be together. 

And... I said... 

No

Right in front of him.

I can't tell you why I did say that, but really, it was too complicated. It was not only about feelings! A good friend of mine said that I was stupid because of saying that, but what could I do? I did not wanna hurt anyone; I know I did hurt him when I said no. 

But if I said yes, I did hurt both of us. 

So... there it was. A no.

Setelah itu... udah. Beneran udah.

EH TAPI, HARI INI, AKU MALAH KETEMU DIA.

Tadinya, waktu Linus turun dari pintu Metronom, aku sedikit berharap dia pura-pura nggak ngelihat aku. Tapi dia malah ngehampirin aku, nanya aku pengin ngapain, terus ngomong, "Ich fahre mit." (Aku ikut) (padahal dia baru aja pulang dari Hamburg).

Aku, yang orangnya nggak-enakan, ngejawab, "Wie du möchtest." (Terserah kamu).

Eh, akhirnya dia ikut beneran. 

Selama di Hamburg, dia nungguin aku belanja. Bener-bener nungguin. Padahal, aku belanjanya sampai dua jam lebih. Tapi dia nggak ngambek, lho. Malah, dia nawarin ngebawain belanjaanku (tapi aku nolak, kok. I am not that kind of girl). 

Selesai belanja, kami jalan-jalan bentar. 

Dan, di sana, Linus ngomong satu hal yang nggak akan pernah kulupain, "Ran, kamu tahu nggak?"

"Nggak tahu. Kan kamu belum bilang."

"Oh iya. Hehe."

"Hehe," kataku. "Emangnya apa?"

"Aku ngerasa, kamu itu kayak cowok."

Aku panik. Literally panik. Hah? Aku? Kayak cowok?! Gara-gara kumisku yang tipis?! Atau gara-gara kamu gay?! Apa yang sebenernya terjadi? Siapa aku? Siapa kamu? Di mana kita? AING SALAH NAON? (alay, ah). "Hah? Maksud kamu apa?"

"Bukan beneran cowok," kata dia. "Kamu itu... gimana, ya. Ngerjain apa-apa sendiri."

".....gimana, gimana?"

"Kamu pergi ke Jerman, sendiri. Ngurusin proyek komunitas, sendiri. Kalau aku nggak ketemu kamu di Hauptbahnhof, sekarang kamu juga sendiri," jelas dia. "Kok kamu bisa, sih? Padahal, sendiri itu nggak enak. Aku nggak bisa ngelakuin semuanya sendiri."

Aku cuma diem. Bingung harus jawab apa.

Ngelihat ekspresiku, Linus buru-buru ngomong, "Aku nggak ngomong itu buruk, ya. Kamu keren, kok. Kamu... beda."

"Oke," kataku, agak bingung. "Danke." (Makasih).

.

Jujur, setelah Linus ngomong gitu, aku jadi agak kepikiran. 

Aku orangnya emang introvert (percaya, nggak?), terutama sejak ngekos. Aku nggak terlalu bisa ngomong sama orang, kecuali sama yang benar-benar deket. Kalau harus ngomong sama orang lain, aku lebih prefer nulis daripada bicara langsung. Aku juga lebih suka sendiri. Kalau ketemu orang, kadang aku suka deg-degan gimana gitu. 

Tapi mau gimana lagi? I can't (and I don't want to) change myself. 

.

Dua minggu lalu (lupa tepatnya kapan), Anja nelepon aku. Anja ini adalah mamanya Oscar (anak  kecil yang sering kuceritain di postingan sebelum ini) yang berprofesi sebagai guru olahraga anak-anak. Nah, waktu itu, Anja butuh bantuanku untuk ngebantuin dia ngajar di kota sebelah (bukan ngajar, sih, tapi ngawasin).

"Aku pengin banget, sih," kataku. "Tapi aku nggak bisa olahraga." 

Lha gimana.

Baru lima meter jogging aja udah pengin nelepon ambulans.

"Nggak apa-apa," kata Anja pasrah. Mungkin dia udah se-desperate itu, kali, ya, nyari orang yang bisa bantuin ngawas. "Bisa, kok, bisa. Lagipula, tugasnya cuma ngawasin."

"Ya udah, deh."

Akhirnya aku nyanggupin.

Untuk pergi ke kota sebelah, aku berangkat bareng Anja naik mobilnya. Jadi, aku harus ke rumah Anja dulu, deh. 

Nah, pas udah sampai di rumah Anja, yang nyambut aku adalah Oscar, anaknya Anja yang pernah kuawasin juga di Waldkindergarten (TK). "Halo, Rani!"

"Halo. Na, wie geht's dir?" (Apa kabar?)

Eh, bukannya ngejawab, Oscar malah lari, terus meluk kakiku. Erat dan lamaaaaaa banget. 

Hal ini juga terjadi waktu aku ngejenguk anak-anak Waldkindergarten (TK) yang lagi berkemah di hutan. Kenapa aku ngejenguk mereka (padahal aku nggak diundang untuk ikut berkemah)? Karena 1) kangen, dan 2) cuaca lagi jelek banget. Gewitter (semacam petir, berangin, dll). Aku cuma pengin mastiin mereka aman dan seneng aja, sih. 

Eh, pas aku datang, tiba-tiba sebagian besar dari anak-anak itu lari ke aku, terus langsung melukin kakiku.

"Hore, Rani datang!" 

"Rani, kamu tahu, nggak? Nanti malam, kita tidur di tenda!"

"Rani, kamu ikut berkemah aja, dong! Tidur di sampingku, ya!"

Aku, yang ngedenger itu semua, terharu. Aku pengin senyum, tapi pengin nangis juga. Kenapa? Karena dua minggu lagi aku bakal pulang, dan aku nggak yakin apakah aku kuat ninggalin mereka: anak-anak Waldkindergarten. Host family-ku. Temen-temenku.

They are like... the best people I've ever met. 

They changed me. 

Aku tahu: dari dulu, aku selalu sendiri. Tapi, dengan mereka, aku ngerasa kalau aku punya keluarga yang lain. 

Comments

  1. Lucu, dan bikin baper, mba' 'Rani'😂

    ReplyDelete
    Replies
    1. Makasih banyak udah dibaca, ya! Means a lot! :)

      Delete
  2. YaAllah...aku jadi ikut baper sama Linus dan anak-anak di Waldkindergarten:")
    Btw yang bagian ke kuburan itu akhirnya gimana kak? Wkwkwk

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Contact Me

About Me: The New Version

#1 Proses Novel "Inikah Rasanya Cinta"