Minggu Ketigapuluh Lima dan Ketigapuluh Enam di Jerman (AFS Indonesia - Jerman 2016/2017)

Bunga dari host-mom! Itu mawar pertama yang tumbuh di halaman rumah kami!

Song of the Week: Surefire - John Legend
Nonton video klipnya di Youtube, deh. 

Movie of the Week: Belum nonton apa-apa, sih.

View of the Week:


I am so in love; with this flower.

--------------------------------------------------------------------------
----------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------

Jujur, apa yang kuceritain ke kalian lewat blog ini cuma peristiwa-peristiwa bahagia dan baik aja. Bukan karena aku pengin pencitraan, tapi karena aku nggak mau bawa-bawa masalah ke sosial media (walaupun secara teknis, blog bukan sosial media). 

Udah, lah. Masalah pribadi mah mending disimpan sendiri aja. Kalau emang perlu dibagi, baginya ke orang-orang terdekat aja. 

Tapi, kali ini, aku pengin nyeritain sesuatu yang... hmm, bisa dibilang agak buruk.

.

Jadi, di sekolah, ada satu pelajaran yang kurang aku suka. Kadang-kadang, aku sampai muak sendiri. Pelajaran itu adalah... well, sebut aja pelajaran "Masak" (disamarkan).

Sebenarnya, secara personal, aku suka pelajaran Masak. I actually mastered it back then in Indonesia. Tapi, di Jerman, aku nggak suka sama pelajaran Masak karena 1) pelajaran itu adalah pelajaran pertama di hari Senin, dan 2) gurunya.

Sebelumnya (Oktober 2016 - Januari 2017), aku sama sekali nggak punya masalah dengan pelajaran itu. Gurunya adalah seorang ibu hamil (usia kandungannya udah enam atau tujuh bulan, lupa) yang selalu senyum dan nggak pernah ngebebanin siswa. Cara ngajarnya juga bagus. Jelas, terperinci, dan rapi.

Tapi semua berubah waktu beliau cuti melahirkan, terus kami dapat guru baru: seorang bapak berkacamata yang nggak pernah senyum. Typisch Norddeutschland, lah.

Sebenarnya beliau baik, sih. Pintar dan berbakat masak juga. Tapi, ada satu kekurangan beliau yang susah banget untuk kutolerir: suara beliau pelan dan datar banget! Most of the time, aku nggak paham apa yang beliau omongin karena telingaku nangkepnya sebagai bisik-bisik aja (padahal, aku udah duduk di bangku paling depan, lho).

And then, my problem started when... di akhir pelajaran hari pertama, beliau nanya, "Habt Ihr Fragen oder was zu sagen?" (Punya pertanyaan atau sesuatu yang pengin disampain, nggak?).

Aku angkat tangan.

Beliau nunjuk aku. "Ja?"

"Entschuldigen Sie, aber Sie sprechen zu leise und ein bisschen zu schnell. Ich kann Sie nicht so gut verstehen." (Maaf, volume suara Bapak terlalu pelan, dan kadang-kadang terlalu cepat. Saya nggak ngerti apa yang Bapak sampaikan).

Kukira beliau bakal nyoba untuk ngomong lebih keras, kan, ya.

Tapi kagak.

Dengan sangat direct, sambil ngelihat aku dengan tatapan tajam, beliau ngomong kalau beliau nggak mau nambah volume suara sama sekali (karena suaranya emang udah gitu), dan aku yang harus berusaha untuk ngertiin beliau. Padahal, sekali lagi, aku udah duduk di bangku paling depan.

Buset. 

Perih hati ini, Pak. 

Tapi nggak apa-apa, deh. Sabar. Aku harus maklumin beliau. Mungkin beliau nggak bermaksud untuk nyakitin aku (EAAAA), melainkan emang kepribadian beliau aja yang keras dan terlalu jujur.

Bijak sekali, Ran....

Tapi, lama-lama, hubungan kami memburuk (ambigu, nggak, nih?). Beliau sering ngajak ngomong anak-anak lain, tapi nggak pernah ngajak aku ngomong. Aku pribadi nggak terlalu ngurusin, sih, soalnya aku juga mulai ketinggalan pelajaran. Demi Tuhan, aku nggak bisa denger beliau ngomong apa. 

Akhirnya aku mulai tertekan. Hehe. Tiap masuk pelajaran Masak, aku ngerasa jadi manusia terbodoh sedunia. Apalagi setelah insiden ketinggalan bis (jadi, aku pernah ketinggalan bis di hari Senin, sampai ngelewatin pelajaran Masak, terus aku kena sindir); ini dia definisi sejati dari 'sakit tapi tidak berdarah'.

Terus, akhirnya, hari Senin (12/06) datang juga. Aku seneng banget, soalnya hari itu adalah hari terakhir pelajaran Masak (alias minggu terakhir sekolah sebelum Sommerferien). Aku bete juga, sih, soalnya kudu ngelewatin pelajaran Masak sekali lagi; I mean, kenapa nggak langsung diliburin aja, sih? 

Tapi nggak apa-apa. Sabar. Semangat, hari terakhir, nih!

Jujur, pas baru masuk kelasnya aja, aku udah ngerasain aura yang kelam. Suram. Sempat kepikiran untuk bolos, tapi kagak, lah. Too late. Lagipula nggak belajar, kok. Di hari terakhir ini, kami cuma bakal nyelesain tugas akhir sekaligus ngebicarain rapor. 

(( cuma ))

Sedih banget, deh, rasanya kalau udah ngebicarain rapor Masak. I was pretty sure: I fail this class. 

Tapi nggak apa-apa. Rapor bukan penentu kesuksesan (EAAA)!

Lanjut.

Sambil nyelesain tugas akhir di dalam kelas, guruku manggil kami satu-persatu ke luar kelas (sesuai absen). Aku nunggu sekitar satu jam sebelum akhirnya namaku dipanggil, "Nur? Du bist dran." (Nur? Giliran kamu, nih)

Setelah baca ayat kursi, aku keluar kelas nemuin guruku. "Hallo."

"So... Nur," kata guruku, datar. "Übrigens, ich nenne dich nicht Rani, sondern Nur." (Saya manggil kamu Nur, bukan Rani).

"Das geht. Sebahagia Bapak saja."

Lalu, tanpa basa-basi maupun senyum, beliau ngomong directly, "Deine Arbeit ist nicht so gut. Klausur auch nicht. Und in der Klasse, bist du immer still." (Kerjaan kamu nggak bagus. Ujian juga nggak. Di kelas, kamu juga diem terus)

Mantap.

Untung aku udah kebal disakitin *insert meme terima kasih mantan* "....oke." ya iyalah diam terus. Emangnya aku pengin ngomong apa kalau aku bahkan nggak ngerti apa yang nggak kungertiin?

"Machst du Masak weiter?" (Jadi kamu pengin ngelanjutin pelajaran Masak, nggak?)

Aku bingung. "...wie bitte?" (Maaf?)

"Kelas dua belas nanti, kamu mau ngelanjutin pelajaran saya, nggak?"

Sampai sini, aku bener-bener bingung. Ngapain aku ngelanjutin pelajaran Masak di kelas dua belas? Aku kan pelajar pertukaran? Sebulan lagi bakal pulang ke Indonesia? "...ich glaube... ich fliege nach Hause." (Saya pengin pulang)

"Was? Willst du es wiederholen?" (Apa? Kamu pengin ngulang kelas?)

BUSET.

SALAH DENGERNYA KOK JAUH AMAT?

"Nein, nein," kataku. "Ich... um... fliege nach Hause????" (Aku... pulang ke rumah)

Hening.

"....wohin????" (Ke mana?)

".........nach meinem Heimatland?????" (Ke... negara asalku).

Terus, setelah enam bulan diajar oleh guruku ini, untuk pertama kalinya aku ngelihat dia kaget. Mata beliau sampai membundar, lho. "Was?! Bist du Austauschülerin?!" (Apa? Emangnya kamu pelajar pertukaran?)

Aku pengin pingsan. "...Ja???? Ich dachte, Sie wissen es schon???!" (Lah, saya kira Bapak udah tahu? Bapak udah ngajar saya selama enam bulan, masa baru sadar sekarang?)

"......das wusste ich nicht! Aber du blablablablablabla....."

Kalimat selanjutnya nggak kudengerin.

Lemes.

.

Kabarku... secara general, baik.

Tapi, kalau dilihat secara langsung... agak kelihatan 'bingung' gimana gitu.

Mungkin efek puasa; aku ceritain aja, deh, ya, gimana rutinitas puasa di sini.

Jadi, aku tinggal di Südergellersen, sebuah desa kecil di Niedersachsen. Kota paling dekat dari Südergellersen adalah Lüneburg, which is kota tempat sekolahku berdiri. Kalau kalian bingung Lüneburg itu di mana, cari Hamburg, deh. Dari Hamburg ke Lüneburg hanya butuh tiga puluh menit naik kereta. Kalau pengin ke Südergellersen, lanjut naik bis selama dua puluh menit.

Kalau kalian buka peta atau Google Maps, baik Südergellersen, Lüneburg, maupun Hamburg terletak di wilayah utara Jerman. Norddeutschland. Which means jam puasanya sedikit lebih lama dari penghuni wilayah selatan (sotoy, nih).

Berikut jam shalat-nya (semoga benar):


Bisa dilihat, aku harus puasa selama sembilan belas jam (mulai tanggal 10 Juni). 

Ya. Lama, emang. 

Dan ini dia caraku untuk nyiasatinnya:
  1. Mulai dari sahur; setiap hari, aku bangun jam dua pagi, terus sahur secukupnya. Biasanya sih  cuma pakai tiga - lima gelas air putih dan dua Toastbrot (roti tawar gitu). Waktu awal-awal bulan, aku sahur sendirian di ruang makan. Tapi sejak ada insiden 'ngedenger musik lamat-lamat' (dan aku takut setengah mampus, padahal itu cuma bunyi alat musik yang digoyangin angin malam), akhirnya aku selalu sahur di kamar. Sahurnya sambil merem, anyway. 
  2. Lanjut ke subuh; gampang. Habis sahur, langsung shalat subuh. Terus lanjut tidur (tapi nggak nyenyak, soalnya tiap satu jam sekali, aku pasti kebelet pipis).
  3. Bangun pagi sesuai keinginan.
  4. Lanjut ke dzuhur. Gampang. 
  5. Setelah itu, pukul empat sore, aku tidur siang (untuk mengganti waktu tidur malam yang dipakai untuk makan). Lama tidurnya sekitar tiga sampai lima jam, tergantung tingkat kecapekan hari itu. Pernah juga kebablasan sampai enam jam, sih, sampai telat buka puasa. Untung dibangunin host-mom. Kalau nggak, bangunnya pasti besok pagi.
  6. Setelah bangun tidur, langsung shalat asar. Habis itu masak buat buka puasa. Mengingat aku jago masak, biasanya aku buka puasa pakai telur rebus, nasi sisa makan siang, dan sup ayam/nasi goreng/bumbu instan kiriman Mama dari Indonesia. Hehehe. Kalau lagi beruntung, makan masakan host-mom. Kalau lagi pengin makan enak dan ada duit, beli makanan di kota (Döner, baguette). Aku juga makan banyak cokelat/permen selama buka puasa (yang mengandung banyak gula). Minumnya? Cukup air putih, lima sampai sepuluh gelas (diminumnya pelan-pelan supaya nggak kembung). Total waktu yang kubutuhin untuk buka puasa adalah dua jam lebih. 
  7. Setelah buka puasa, aku nyuci piring, nyelesain shalat maghrib, isya, dan tarawih, terus tidur. Biasanya baru tidur jam dua belas malam atau jam satu, sih. 
  8. Back to sahur! 
Untuk kegiatan selama bulan puasa... normal, kok. Tetap sekolah dan jalan-jalan. 

Kalau ditanya capek atau nggak, ya pasti capek. Jadi Muslim/Muslimah itu baru kerasa beratnya kalau udah jadi minoritas di benua seperti Eropa/Amerika (buat aku, sih). Nggak tahu kenapa, ya, tapi aku ngerasa godaannya lebih berat (ye ini mah kamu aja yang gampang digoda). 

Aku sendiri sempat pengin nangis (dih) waktu jalan-jalan ke kebun binatang di hari kedua bulan Ramadhan. Sempat terhibur, sih, ngelihat babon. Tapi cuacanya panas banget, gila! Matahari bersinar terik banget, sementara suhu kurang lebih tiga puluh dua derajat Celcius. Semua orang jalan-jalan sambil makan es krim atau minum cola, sementara aku.... 


Berkali-kali, aku ngomong ke host family-ku, "Pokoknya, pas buka puasa nanti, aku harus minum cola." Titik!! Nggak mau tahu!! Kalau nggak ada cola, pengin nangis aja pokoknya!!!! (dih, manja).

EEEEEEEE sebelum pulang, Opa ngasih aku coca cola beneran. Sebotol besar (2L) dan masih disegel, lagi. Hehehe, jadi malu.... (kayak masih punya malu aja).

Another hari berat: Waktu main ke TK Waldkindergarten di hari pancake; sementara mereka masak pancake seharian, aku ngedombloh aja. Mana cuaca berangin, lagi. Laparnya jadi kerasa berkali-kali lipat, kan....

Oh, iya. Ada cerita lucu. 

Di Waldkindergarten, ada pohon besar yang selalu dipanjatin anak-anak. Mereka semua pada jago, gila! Seandainya nggak dilarang sama guru-guru TK, mungkin mereka udah manjat sampai ujung pohon, kali, ya (anyway, tinggi pohonnya kurang lebih tujuh sampai sembilan meter). 

Nah, ada satu anak yang nggak bisa manjat pohon. Basically, bakatnya dia emang bukan di bidang olahraga, sih. Namanya Tino (yang pernah main bapak-anak sama aku, baca postingan sebelumnya!). 

Tapi, namanya aja anak kecil, suka sok jago, dong.

"Aku bisa manjat, lho!" kata Tino. "Kamu bisa, nggak, Ran?"

"Nggak mau jawab."

"Ya udah, tapi kamu lihat aku manjat, ya!" 

Ye, pamer. 

Setelah itu, aku ngelihatin dia yang lagi berusaha manjat pohon. Dia megangin dua dahan pohon terdekat (yang letaknya agak ketinggian), terus kakinya berusaha merayap gitu. Seperti yang udah kuprediksikan, dia gagal, dong. 

Tapi dia nggak mau nyerah. Sambil tetap usaha, dia minta tolong ke aku, "Rani, gendong, dong."

".......ya udah."

Aku gendong dia sampai dia berdiri di dahan paling rendah. Dahan itu panjangnya pendek banget, karena udah dipotong sama guru TK. Kakinya Tino cukup, sih, untuk 'bertengger' di sana. Tapi mepet. Kepleset dikit, siap-siap aja jatuh.

EEE TERUS, MUKANYA TINO PUCET. "Rani... takut....."

"..........."

Dasar.

Balik ke topik puasa; another hari berat? Kapan, ya? Kayaknya waktu nemenin temenku ke restauran, deh. Karena kami punya agenda ke museum, kami ngejar waktu banget! Jadinya, kami lari ke restauran; buat mereka nggak apa-apa, sih, wong setelahnya mereka langsung minum milkshake cokelat yang ada whippy cream, choco chips, dan permen warna-warninya. Tapi buat aku....

Another hari berat? Waktu temenku (Marina, AFS Brazil - Jerman) minta ditemenin belanja.

Marina nggak tinggal di Lüneburg, melainkan di kota sebelah (Winsen). Jadi, sepulang sekolah, aku ngejemput dia dulu di Lüneburg Hauptbahnhof (stasiun kereta). Dia datang telat sambil ngebawa-bawa avocado juice seger, tapi karena aku sabar, nggak apa-apa. Sumpah, nggak masalah.

Terus, kami mulai keliling-keliling, deh. 

Pertama, berhenti di toko baju seluruh umat exchange students: H&M.

Lumayan, lah. Sementara Marina keliling-keliling nyari dress, aku nungguin dia sambil internetan (soalnya ada Wi-Fi gratis). Setelah keliling-keliling selama kurang lebih dua puluh menit, dia ngambil sebuah mini dress pinky dari bahan beludru. Lucu, deh, ada pitanya gitu. 

"Tunggu, ya, Ran, aku nyobain dulu," kata Marina. "Sebentar doang, kok, soalnya cuma satu."

"Siap."

.......iya, sih, satu doang. Tapi antrean ruang gantinya panjang banget.....

Akhirnya nggak jadi. 

Lanjut ke toko sebelah yang aku lupa namanya. Ada banyak dress di sana (jadinya kelilingnya lumayan lama), tapi harganya lumayan tinggi, lah (jadi nggak ada yang kebeli). Di sini nggak ada tempat duduk, jadi aku mulai semaput. 

Lanjut ke toko sebelah, yang aku juga lupa namanya. Pokoknya toko ini terkenal dengan baju-bajunya yang bermerek, tapi harganya miring banget; which made Marina kalap. 

Sementara Marina keliling-keliling lama banget, aku nungguin. Sempet ngelihat-lihat juga, sih, soalnya aku pengin beli clutch. Tapi nggak jadi beli soalnya gak bisa bedain clutch sama dompet gede (atau jangan-jangan sama aja?). Cri.

Akhirnya, Marina ngambil tiga dresses. "Aku nyobain dulu, ya!"

"Siap."

Kutungguin. 

Lama banget. Banget yang banget-bangetan. 

Sementara aku nunggu, karena di sini juga nggak ada tempat duduk, aku mulai pusing. Tapi tetap sabar, dong.

EEEE pas dia keluar dari ruang ganti, dia ngomong, "Nggak jadi beli di Lüneburg, deh, Ran. Kita jalan-jalan aja. Aku beli dress-nya besok, di Hamburg." 

"......udah pernah ditimpuk belum, Mar?"

.

Another hari berat? Hari kedua End-Of-Stay Camp AFS!

Jadi, di weekend minggu ketigapuluhenam ini, aku ikut camp terakhir bareng AFS Jerman. Hiks. 

Camp-nya diadakan di sebuah kota kecil di selatan Niedersachsen, yaitu Goslar. Jauh, sih. Untuk pergi ke sana, aku harus naik kereta selama tiga jam dari Lüneburg, itu pun dengan sekali transit di Hannover. 

Sebelum camp, aku nggak punya gambaran sama sekali tentang Goslar. Aku, sih, ngebayanginnya: Goslar itu desa kecil yang biasa aja kayak Bredenbeck (atau bahkan Südergellersen). Tapi, begitu sampai di sana, aku melongo. Literally melongo. Ternyata, Goslar adalah kota tua yang arsitekturnya cantik banget! Rumah penduduknya aja artsy gitu! Dan, ngomong-ngomong, Goslar itu masuk daftar warisan budaya UNESCO, lho! (nggak tahu, deng. Pokoknya berhubungan dengan UNESCO).




Camp itu berlangsung selama tiga hari, dan hari yang paling padat adalah hari kedua; alias hari di mana aku semaput. 

Ini dia daftar aktivitas yang kami lakuin di hari kedua:
  1. Main game sambil keliling-keliling Goslar! Pake lari-lari segala. 
  2. Aku, Arnar (AFS Islandia - Jerman), Kodee (AFS USA - Jerman), dan Juana (AFS Kolombia - Jerman) sempat goyang ngebor sambil nyanyi lagu Despacito di alun-alun kota Goslar (karena game!). Sebenarnya bukan nyanyi, sih, soalnya kami nggak hapal liriknya. Kami cuma ngebacot aja, "Nanananana-ito, nanananana-ito...." (ngomong-ngomong, ratusan turis Goslar nontonin kami). 
  3. Kami berempat juga sempat bikin video yang isinya adalah dance untuk AFS. Tempatnya masih di alun-alun kota Goslar (karena game juga!). Karena kami pengin menangin game-nya, akhirnya kami nge-dance seheboh mungkin. Orang-orang pada ngelihatin, sumpah! Luis (AFS Meksiko - Jerman, alias temenku yang ngevideoin) sampai nutup muka pas ngevideoin kami. Malu dia. 
  4. Workshops. A lot. 
  5. Makan es krim. Tapi aku nontonin doang (sampai sini, aku sedih banget).

 Salah satu game yang kami mainin.


Memalukan banget ini. 
Ke supermarket rame-rame, eh akhirnya cuma beli sebutir apel.

Akhirnya, mungkin karena kecapekan (atau entah karena apa), perutku jadi 'nggak bersahabat' gitu. Pas buka puasa, aku makan pakai kentang dan sayuran (porsi normal, 3/4 piring), terus lanjut minum air putih. Tapi baru minum dua gelas, aku langsung lari ke toilet, terus... muntah-muntah. 

Muntahnya agak nggak elit gitu, sih. Bukan karena berantakan (ew), tapi karena sistem penerangan (lampu) di dalam toilet itu pakai sensor. Kalau nggak ada gerakan di dalam toilet, lampunya bakal mati secara otomatis.

Nah, sayangnya, sensor di dalam toilet itu nggak bisa mendeteksi gerakan mikro; which means kita harus benar-benar gerak supaya lampunya tetap nyala. 

Jadi... aku muntah sambil dadah-dadah ke sensor :(

Please, jangan ilfeel ke aku, ya :( 

Setelah muntah-muntah, aku nggak bisa makan lagi. Selain karena udah nggak punya makanan (makan malam udah selesai, dan makanan diatur oleh pihak hostel), perutku juga udah nggak bisa nerima makanan. Bawaannya pengin muntah lagi.

Akhirnya, nggak makan apa-apa, deh. 

.

Sebenarnya, hari pertama camp juga nggak kalah berat, sih. Bukan karena aktivitasnya, melainkan karena aku... nggak tidur. 

It all started when aku buka puasa sendirian pakai menu makan malam hotel yang udah dipanasin: salad kentang, ikan, dan salad sayur. Minumnya? Air putih. Aku minum banyak banget, pokoknya. Sepuluh gelas ada kali. 

Nah, setelah itu, aku lanjut tidur. 

Tapi, sebelum tidur, tiba-tiba aku kebelet pipis (padahal, sebelumnya, aku udah pipis).

Terus aku langsung sadar: oh iya, ya. Setelah buka puasa dan sahur, aku emang nggak pernah bisa tidur nyenyak.... (karena kebanyakan minum). 

Dan dilema pun dimulai. 

Masalahnya, di kamar, aku tidur bareng lima orang exchange students lain. Kasur kami adalah tipe kasur tingkat, dan kebetulan aku jadi top bunk person (kebagian jatah tempat tidur di bagian atas); which means, kalau aku bolak-balik ke toilet setiap sejam sekali, aku bakal ngebangunin seisi kamar karena tempat tidur kami berderit. Belum lagi, aku kudu shalat Isya dan sahur.

Akhirnya, demi kenyamanan bersama (ea)... aku ngungsi ke dapur hotel.

Beneran. 

Nggak ngapa-ngapain, sih. Cuma makan sendirian sampai pukul dua pagi; yeah, gembul life!



Oh iya. Ngomong-ngomong, pas lagi buka puasa sendirian, tiba-tiba Khaleb (AFS Kolombia - Jerman, kalau nggak salah) ngedatengin aku. Bagi yang pernah baca postinganku tentang game bunuh-bunuhan, mungkin kalian inget kalau aku pernah ngebantuin Khaleb ngebunuh Thor-Can (yang berujung pada drama antara aku, Khaleb, dan Merle (AFS Jerman - USA)). 

Pas ngelihat dia dateng (terus duduk di depanku), aku meringis. Pengen ngapain, nih, manusia? Balas dendam?

"Guten Appetit," kata Khaleb sambil senyum (artinya: selamat makan). 

Bukannya ngucapin terima kasih, aku malah balas, "Kamu ngapain di sini?"

"Nemenin kamu makan."

DEG.

Ambyar hati ini, Mz.

.

Ngomong-ngomong soal camp, aku jadi sedih. Perasaan baru kemarin, deh, aku ikut Arrival Camp. Kok tahu-tahu sekarang udah End-Of-Stay Camp aja, sih? Perasaan baru kemarin aku datang ke Jerman, kok sekarang udah mau pulang aja?

Sebenarnya, selama ini, aku selalu ngeremehin masalah 'pulang'. Setiap orang-orang ngajak aku bicara tentang itu, aku selalu ngomong, "Nggak usah dibahas, lah. Masih lama ini."

Tapi, 'kepulangan' itu jadi makin 'nyata'. Aku udah mulai say goodbye ke orang-orang, lho. 

Yang paling sedih, sih, waktu say goodbye ke Kodee (AFS USA - Jerman). 

Jadi, setelah End-Of-Stay Camp selesai, aku, Kodee, Juana, dan Ambar (AFS Kolombia - Jerman) naik kereta bareng ke Hannover. Juana dan Ambar turun di Hannover, sementara aku dan Kodee nungguin kereta selanjutnya (aku harus ke Lüneburg, Kodee harus ke Osnabrück). 

Selama nunggu, akhirnya kami ke food court gitu, deh. Aku makan baguette dengan isi chicken breasts, sementara Kodee makan Döner. Kami sempat ditegur sama mbak-mbak restauran Cina, sih, soalnya salah kami tempat duduk (kurang dodol apa lagi, coba?), tapi baelah.




Terus, sambil makan, aku nanya ke Kodee, "Kod, kita gak bakal ketemu lagi, kan?" (DIH, KOK KAYAK PERCAKAPAN DI FTV/NOVEL PICISAN, SIH?)

"Kita?"

"Iya. Kita."

"Kayaknya nggak, deh."

"Sedih, ya."

"Iya." (Kodee masang muka cemberut, bercanda).

Setelah itu, aku ngeluarin sebuah post card dan bookmark (made in Indonesia). Dua hadiah itu udah kusiapin dari jauh-jauh hari sebagai hadiah perpisahan buat Kodee. Di balik post card-nya, aku bahkan nulis pesan panjang-lebar (yang isinya sweet, hehe). "Nih, buat kamu."

"......................."

"....."

"..."

"..."

Setelah itu, Kodee teriak, "YOU REMEMBER ME?!

Aku diem bentar. "..............yea? Kamu kan temenku."

Terus.... Kodee mewek. Sumpah, nggak bohong!

Aku melongo, terus... panik. PANIK. Baru kali ini ada cowok yang nangis di depanku! Dih, ini manusia ngapain nangis, sih?! Entar kalau orang-orang ngira aku nyakitin Kodee (EAAAA) gimana? Atau yang lebih parah: kalau orang-orang ngira aku dan Kodee pacaran, terus aku mutusin Kodee gimana? Kan alay? 

Emang nggak ada tempat lain untuk mutusin pacar selain restauran ayam?

Dan drama kami belum selesai, Saudara-Saudara. 

Karena keretaku lebih duluan datang daripada keretanya Kodee, akhirnya Kodee nganterin aku ke jalur keretaku.

Terus. 

Dia mewek lagi. 

Matanya berkaca-kaca. Sambil meluk aku, dia ngomong, "Kita bakal ketemu lagi, Ran. Janji. Aku bakal main ke Indonesia."

Dan, kali itu......... aku yang tegar ini... juga ikut mewek. 

:(

.

Selain karena mulai saying goodbye, aku juga ngerasa 'bingung' karena... 

Jadi, setelah camp selesai, aku langsung lanjut ke pesta ulang tahunnya host sister-ku (Alles Gute zum Geburtstag, Finja!). Pestanya sederhana, sih. Cuma makan sekeluarga (keluarga Alex, pacarnya Finja, juga ikutan) di kebun sekaligus bakar-bakar daging. Tapi berkesan banget! 

Nah, pas lagi ngobrol, tiba-tiba Finja ngomong ke aku, "Rani, du fliegst doch am 9. Juli, oder?" (Kamu balik ke Indonesia tanggal 9 Juli, kan?)

"Ja."

"Das heißt, in diesem Tag nächsten Monat, du bist nicht mehr in Deutschland?" (Itu berarti, tanggal segini di bulan depan, kamu udah nggak di Jerman?)

Setelah itu, untuk pertama kalinya, aku kayak ditonjok di jantung. Selama ini, udah ada banyak orang yang berusaha ngebahas kepulanganku, tapi baru kali ini ada yang berhasil bikin aku ngerasa nyesek. "FINJA, SAG DAS NICHT!" (Jangan ngomong gitu!)

:(

Setelah itu, percakapan berlanjut jadi tentang apa yang kupelajarin di End-Of-Stay Camp. Sekadar info, salah satu materi kami adalah 'gimana cara menanggapi orang-orang yang bakal nanya/komentar pas kita pulang nanti'; dan salah satu komentar yang paling banyak muncul adalah: "Kamu nggak berubah sama sekali. Kamu masih sama kayak dulu."

Host mother-ku nanya, "Kalau ada orang yang ngomong gitu ke kamu, kamu bakal jawab apa?"

Kujawab dengan santai, "Mir ist egal (terserah). Cuma aku satu-satunya orang yang bisa nilai gimana diriku, since aku yang ngejalanin program exchange; which means, I do not really care."

Finja nimpalin, "Hmm, gute Antwort." (Jawaban yang bagus).

Dengan iseng, aku nanya ke seluruh orang di meja, "Denkt ihr, dass ich mich verändert habe?" (Emangnya, menurut kalian, aku berubah?) 

Terus.

Aku kaget. 

SOALNYA: SEMUA ORANG (LITERALLY SEMUA ORANG, BAHKAN BAPAKNYA ALEX YANG BARU PERNAH KETEMU AKU SEKALI), NGANGGUK. 

Padahal, aku ngerasa nggak ada perubahan sama sekali. 

"Was denn?" kataku. Apa yang berubah?

"Hmm... man kann nicht sagen," jawab Clara, host sister-ku yang lain. "Man kann es nur sehen. Aber du kannst dich nicht selbst sehen." (Nggak bisa dijelasin, melainkan cuma bisa dilihat doang. Tapi kamu nggak bisa ngelihat diri kamu sendiri).

"......."

Setelah itu, aku jadi lebih banyak merenung (ea); kadang-kadang, aku mikir kalau aku nggak pernah ngapa-ngapain selama di Jerman ini. Tapi, kalau dipikir-pikir lebih dalam, ternyata ada banyak banget yang udah kulewatin. Ada banyak banget yang terjadi (dan berubah) selama delapan bulan ini. 

Sepuluh bulan yang lalu, aku nggak pernah mimpi bakal bisa ngomong bahasa asing selain Inggris. Wong bahasa Jawa dan Sunda (yang notabene kupelajarin di sekolah) aja udah lupa. 

Tapi, sekarang, kadang-kadang aku ngerasa jauh lebih gampang untuk ngomong pakai bahasa Jerman ke seseorang (dengan catatan: topiknya nggak terlalu rumit).

Sepuluh bulan yang lalu, aku masih jadi budak ilmu di sekolah dengan rutinitas yang gitu-gitu aja. Bangun, sekolah, ngerjain tugas, belajar buat ulangan, terus tidur. Udah. Tapi sekarang? I live my colorful life. Rasanya kayak hidup di negeri dongeng atau film komedi, sumpah. Adaaaaa aja cerita-cerita kocak nan gendheng yang selalu kubagiin ke kalian lewat blog ini. 

Sepuluh bulan yang lalu, aku adalah anak kos yang selalu sendiri (sedih) dan menggantungkan hidup pada Indomie. Sekarang? Aku hidup bareng the loveliest family I've ever met; dan jangankan makan Indomie, makan daging aja jarang (aku bahkan mulai kepikiran untuk hidup sebagai vegetarian begitu balik ke Indonesia nanti).

Everything, in a sudden, changed. 

It scared me at first, but then I realized: this change worth everything in my life. 

.

Sebenarnya, sebulan yang lalu, aku sempat ketemu sama seseorang waktu lagi jalan-jalan di sekeliling kota Lüneburg. 

Pertemuan kami random banget, sumpah. Aku lagi duduk di bangku kayu sambil nungguin bis, terus tiba-tiba dia (yang duduk di sebelahku) ngomong dengan volume suara keras, "Ah, Indonesia!"

Aku kaget, dong. Sambil noleh ke arah dia, aku melongo. "......"

Dia lanjut, "You do come from Indonesia, right?"

"....yes. How do you know it?"

".....your face. And your hijab."

".........oh."

Setelah itu, kami kenalan, terus ngobrol tentang exchange-ku dan pengalaman dia liburan ke negara-negara Asia waktu masih muda dulu (ngomong-ngomong, sekarang, dia adalah seorang bapak berumur kurang-lebih lima puluh tahun). 

Kami cuma ngobrol sebentar, sih, soalnya bisku datang. But it was a nice conversation. 

Terus, setelah dua minggu berlalu, waktu aku lagi berdiri di depan kedai es krim Lüneburg sambil nyari Wi-Fi gratis (hehehe), tiba-tiba seseorang manggil namaku. "Rani!"

Pas aku noleh... ternyata dia (waktu itu, aku lupa namanya)! Dia, sambil manggil namaku sekali lagi, melambai-lambai pakai tangan kanan dari depan toko es krim. Tangan kirinya megang se-scoop es krim (vanila, kalau nggak salah). "Sini!"

Karena aku nggak punya agenda lain, akhirnya aku ngehampirin dia. Aku duduk di kursi di depan dia (di meja kedai es krim), terus nyapa, "Halo. Wow, you remember me."

"Of course! And you? Do you remember me?" 

Dengan jujur, aku jawab, "Yes, I remember you. But not your name, sorry. I can't memorize things."

"It's okay," kata dia. "My name is Ernest." (bukan nama sebenarnya)

"Hallo, Ernest," kataku. "It's nice to see you again."

Setelah itu, kami ngobrol lagi. Kali ini lebih panjang. Aku cerita tentang sekolahku di Jerman, apa yang bakal kulakuin kalau aku udah balik ke Indonesia, sampai kendala-kendala yang kualamin sebagai exchange student di Jerman. Sementara itu, dia cerita tentang... well, banyak. Dia cerita kalau sebenarnya, dia bukan orang Jerman, melainkan Inggris. Dia pindah ke Jerman waktu umur delapan belas tahun, terus kerja sebagai tentara. Setelah umur tiga puluhan, dia sering traveling. Waktu traveling ke sebuah negara di Afrika (aku lupa negara apa), dia ketemu sama seorang perempuan, terus nikah, terus punya satu anak perempuan yang sekarang tinggal di Hamburg. 

Dan, believe it or not, anaknya seumuran sama aku. 

"Wow," komentarku. "It'd be so cool if I could meet your daughter. Maybe we could be friends."

"Yeah," kata dia. "Unfortunately, I rarely meet her." 

Aku bingung. Jarang ketemu? Padahal jarak antara Lüneburg dan Hamburg hanya tiga puluh menit naik kereta, kan? "Why?"

"I broke up with her."

Dan, setelah itu, dia cerita kalau hubungannya dengan anaknya nggak terlalu bagus. Dulu, dia terlalu tegas ke anaknya (mungkin karena emang pembawaan tentara); bukannya nurut, anaknya malah jadi pembangkang yang bandel. Akhirnya, setelah sebuah insiden yang lebih baik nggak kuceritain di sini, anaknya pindah ke Hamburg. 

Setelah Ernest nyeritain itu, aku diem sebentar, terus ngomong, "I am sorry."

"Don't be," kata dia. "I am still grateful that I have her as my daughter. Although she is far and we don't have so much contact, she still brings me happiness; well, just think about her every time makes me happy."

"....." 

Ernest senyum. "It is so wonderful what life could give us.

Right after that... I wanted to cry. It is so wonderful what life could give us? Yes, it is. I could not agree more (terutama setelah apa yang kudapetin, kualamin, dan kurasain selama delapan bulan terakhir ini).

Comments

Popular posts from this blog

Contact Me

About Me: The New Version

#1 Proses Novel "Inikah Rasanya Cinta"