Minggu Kedelapanbelas sampai Keduapuluhsatu di Jerman (AFS Indonesia - Jerman 2016/2017)

Song of the week: Mari Bercerita, dari Payung Teduh.
"Sungguh bicara denganmu tentang segala hal yang bukan tentang kita
selalu bisa membuat semua lebih bersahaja...."

Movie of the week: ...Surat Cinta untuk Kartini? Sedikit opini: Well, not the best movie I have ever seen, tapi penulis skenarionya keren banget, deh. Bisa, ya, kepikiran bikin cerita tentang tukang pos pengantar surat-surat Kartini.

View of the week: - 

.

1

Weekend ini, Bela (temenku, AFS Jerman juga) main ke tempat tinggalku selama tiga hari. Seru, deh. Hari pertama, kami main ke Hamburg. Hari kedua ke Lübeck. Hari ketiga istirahat sekaligus jalan-jalan kecil di sekeliling Lüneburg.

Ada cerita agak lucu, nih. 

Eh garing, deng.

Jadi...

Lüneburg dan Hamburg itu deket banget. Cuma 30 menit naik metronom HVV (HVV itu semacam perusahaan transportasi di daerah Hamburg dan sekitarnya). Nah, karena aku punya kartu HVV, kalau aku pengin ke Hamburg, aku bisa beli tiket yang lebih murah dari harga sebenarnya. 

Tapi aku tetap bingung. Tiket yang harganya lebih murah dari tiket sebenarnya itu ada banyak banget! Harus beli tiket jenis apa, nih? Penggunaannya gimana? Blablabla?

Akhirnya aku nanya ke host mother, "Harus beli tiket yang mana, nih?"

"Tiket Gesamtbereich A-E aja. Harganya cuma 6,20 dan bisa dipakai seharian, termasuk untuk naik U-Bahn, S-Bahn, dan bus." (Buat yang belum tahu U-Bahn dan S-Bahn itu apa, coba dicek di postinganku sebelumnya, deh).

Aku kaget. "Serius? Murah pisan?"

"Iya."

"Ya udah, deh."

Akhirnya aku beli tiket itu pagi-pagi di Lüneburg, pakai tiket itu seharian di Hamburg (termasuk untuk muter-muter puluhan kali pakai U-Bahn), dan pakai tiket itu lagi untuk balik ke Lüneburg  malamnya (oh iya, ngomong-ngomong, Bela harus beli tiket yang beda sama tiketku).

Nah, dalam perjalanan pulang ke Lüneburg setelah seharian main, aku dan Bela ngobrol di atas metronom sebentar sebelum akhirnya sibuk masing-masing. Bela sibuk main handphone, aku siap-siap pengin tidur. Nggak ngerti lagi, deh. Aku udah ngantuk dan setengah mampus, Bela masih sanggup ketawa-ketawa di depan handphone.

Nah. Sebelum aku tidur, aku sempat curhat ke Bela, "Semoga petugas tiketnya nggak datang." (entar tidurku keganggu).

"Iya."

"Tapi aku kok ragu, ya, jangan-jangan tiketku nggak berlaku." (firasat random).

Bela cuek-cuek aja. "Berlaku, kok, pasti laku."

"Ya udah, deh."

Akhirnya aku tidur. Nah, pas udah masuk fase awal tidur, tiba-tiba petugasnya datang. Ibu-ibu, kacamataan, badannya tinggi dan berisi.

Aku santai aja, kan. Masih sambil ngantuk, aku ngeluarin tiket. 

EH DUGAANKU SEBELUMNYA MALAH JADI BENERAN, DONG.

"Deine Karte ist nicht gültig," kata Ibu itu dengan nada suara dingin. Dalam bahasa Indonesia, artinya adalah, "Kartu kereta kamu nggak berlaku."

PRANG! (ceritanya sound effect, bunyi piring pecah). 

Aku berdiri, terus teriak di depan mukanya dengan dramatis, "APA?! NGGAK BERLAKU?!"

Wkwk.

Kagak, deng. Yakali. Tinggi badanku aja nggak sampai sebahunya, mana berani aku teriak di depan muka dia? Dibalas kagak, dicincang iya. 

Masih dengan suara agak serak setelah tidur, aku nanya, "Wie bitte? Nicht gültig?" (Maaf? Nggak berlaku?).

"Nicht gültig," jawab dia. "Sie mussen blablablablabla...."

Sementara dia ngejelasin sesuatu pakai bahasa Jerman, aku muter otak. Konsekuensi dari masalahku itu cuma ada dua: 1) diturunin di stasiun terdekat (padahal Lüneburg masih jauh), dan 2) disuruh bayar denda yang mahal banget (dan duit di dompetku literally nggak nyampai 10 Euro). Hmm... harus gimana, ya?

Setelah ngejelasin panjang lebar, Ibu itu ngomong, "Tunggu di sini, jangan kabur. Saya ambil sesuatu dulu di gerbong masinis."

Setelah Ibu itu pergi, Bela di sebelahku panik banget. "Ran, gimana ini?!!!"

Aku ngambil napas panjang sambil ngucek-ngucek mata (masih ngantuk dan belekan habis bangun tidur)"Gimana, ya? Ya... kalau disuruh turun ya turun, kalau disuruh bayar ya bayar...."

Bela ngamuk. "Heh, ngaco! Kalau kamu diturunin, ya aku juga pasti turun!"

Aku berusaha bercanda supaya Bela tenang lagi, "Seenggaknya ada temen... alhamdulillah."

Eh aku malah dibentak. "RAN!"

Akhirnya aku berusaha serius lagi. "Iya, iya. Bentar, mikir dulu...."

Jujur, awalnya aku santai aja. Tapi begitu Bela panik, aku juga jadi ikut deg-degan. Harus gimana, nih? Lari ke toilet? Atau lompat dari jendela? Atau pura-pura jadi bisu selama setengah jam, jadi begitu disuruh turun, aku udah di Lüneburg? Atau pasrah sepasrah-pasrahnya, termasuk kalau disuruh bayar? Tapi bayar pakai apa kalau nggak bawa duit? Harga diri? -_-

Setelah sekitar dua menit nunggu, akhirnya Ibu itu datang lagi. Mukanya garang, jalannya tegap, dan tangannya ngebawa mesin gesek ATM. 




Waduh... disuruh bayar... ratusan Euro kayaknya nyampai, nih... harga diri bisa digesek nggak, sih....

Ibu itu nanya aku, "Zuerst, dein Ausweis, bitte?" (Kartu identitas mana?).

Mampus... kagak punya... KTP Indonesia-ku hilang, kartu pelajar dari sekolahku di Indonesia jelas nggak meyakinkan, kartu pelajar dari sekolahku di Jerman belum keluar, dan paspor (seingatku) nggak pernah kukeluarin dari laci meja kecuali kalau aku liburan ke luar negeri. 

"Mm... warte mal," kataku (artinya: tunggu sebentar).

Supaya kelihatan meyakinkan, aku sok-sokan ngubek-ngubek tas walaupun aku yakin di dalam sana nggak ada apa-apa yang bisa membantu selain kartu pelajar dari sekolah di Indonesia. Sumpah, pas ngelakuin ini, aku merasa jadi orang paling tolol sedunia. Ini teh kudu pisan aku ngasih kartu pelajar SMA Negeri ke petugas kereta Jerman?

TAPI, BEGITU AKU NGUBEK-NGUBEK TASKU LEBIH DALAM, PASPORKU ADA DI SANA!


Ceritanya sujud syukur. Ceritanya.

ASLI, KOK ADA, SIH? AKU NGGAK INGET PERNAH MASUKIN PASPOR, LHO, PADAHAL! GILA, PERTOLONGAN TUHAN INI MAH... REZEKI ANAK SHOLEHAH.... (sholehah naon lupa bawa mukena). Apa jangan-jangan host mother-ku yang masukin, ya? Atau aku yang masukin, tapi lupa?

Akhirnya, singkat cerita, aku nyodorin pasporku. Ibu itu ngecek identitas pasporku, ngecek visaku, terus mulai ceramah lagi pakai bahasa Jerman. 

Tiba-tiba, sementara dia ceramah, aku dapat ide: pura-pura nggak ngerti apa yang dia bilang!

Harapanku, sih, dia bakal ngira aku turis (atau orang baru di Jerman) yang nggak ngerti gimana cara beli tiket kereta dan nggak bisa bahasa Jerman. Well, siapa tahu dia nggak bisa bahasa Inggris... atau siapa tahu dia kasihan dan nggak ngasih aku denda... atau siapa tahu aku bisa molorin waktu (jadi begitu aku harus bayar denda, aku udah sampai di Lüneburg--at least bisa ke ATM dulu, terus langsung pulang).

Akhirnya, aku nyela dia, "Do... you... umm... speak English?" 

Pas nanya itu, sumpah, aku deg-degan. Kayaknya trik itu nggak laku, deh, soalnya, sebelum ini, aku udah ngomong kalimat-kalimat pakai bahasa Jerman ke dia. Bisa aja dia malah marah karena ngira aku bohong nggak bisa bahasa Jerman, kan, ya (padahal emang bohong). 

Tapi, untungnya, dia ngelanjutin ngomong pakai bahasa Inggris. Bahasa Inggris-nya nggak selancar bahasa Jerman-nya, jadi omongannya repetitif dan nggak gampang dimengerti. Aku berkali-kali nanya "excuse me?" dan masang muka nggak ngerti (berharap dia nyerah ngejelasin)... sampai akhirnya, aku (yang udah setengah capek dan setengah kesel) nanya, "I know, okay, I know. Let's jump to the conclusion. What should I do?"

Ibu itu diem bentar. "...okay, you can go. You do not have to pay anything. But, remember, this is the last time. Next time, you must buy the ticket."

"Okay."

"Remember, okay?"

"Okay."

"Remember, next time, you must--"

"IYE IYE yaelah parno pisan."

Akhirnya Ibu itu pergi, deh. Uang di dompet selamat, dan kami masih bisa lanjut ke Lüneburg. 

Itu dia cerita mengenaskan tentang gimana kami (aku, sih) nyaris jadi gelandangan. 

Nih, bonus foto-foto setelah kami jalan tiga hari:


Kayak tante-tante, sedih...

Bagi kalian yang nggak tahan dingin: jangan pernah pakai sepatu jenis itu kalau lagi berangin. Tersiksa minta ampun.


Jangan katain alay walaupun emang alay...

Ada restauran Indonesia di Hamburg! Cuma satu, sih. Dan kata orang Indonesia yang pernah kutemuin, menu paling enak di sana itu bakso. Jadi aku mesen bakso!

Bela kangen lele.

Oh iya. Di kereta Lüneburg menuju Hamburg (aku belum ketemu Bela), aku ketemu orang Indonesia!

Jadi ceritanya gini...

Aku lagi nunggu kereta metronom di jalur satu. Beberapa meter di sebelahku, ada perempuan berkerudung yang lagi teleponan. Dia senyum ke aku, terus aku balas. Aku ada feeling kalau dia itu orang Indonesia, sih, tapi aku nggak yakin soalnya wajahnya khas wajah Turki gitu. 

Nah. Begitu kereta datang, kami naik di gerbong yang sama (dia masih teleponan). Begitu aku nguping... ternyata dia ngomong pakai bahasa Indonesia, logat Sunda! Akhirnya aku samperin dan ngajak ngomong, deh.

Asli... dunia itu sempit....

(paling kiri, jilbab hitam) Namanya Annisa, dipanggil 'Teh Nisa'. Lahir di Jerman, sempat lama di Hannover, sekarang kuliah di Lüneburg. Dulu sempat jadi pelajar pertukaran di Bandung juga, lho!

Baik banget, deh.
Baru ketemu sekali di kereta, langsung mau nemenin jalan-jalan ke Rathaus dan Alster. Mau ngefotoin ratusan kali juga, lagi. Love!

2

(Masih berhubungan sama cerita waktu jalan-jalan ke Hamburg)

Di Hamburg, ada restauran jawa yang ngejual makanan khas Indonesia. Untuk pergi ke sana, caranya adalah dengan naik S-Bahn 3 dari stasiun utama Hamburg, turun di stasiun Hammerbrook, terus jalan kaki sebentar (ngomong-ngomong, S-Bahn itu kereta cepat yang beroperasi antartempat di satu kota. Pokoknya mirip commuter line di Jakarta).

Udah, gitu doang caranya. Kelihatan gampang, kan?

Tapi suer, begitu dijalanin, rasanya susah banget! Kami berencana makan siang di sana, tapi gagal. Tiga kali kami nyoba naik S-Bahn ke stasiun Hammerbrook, tiga kali juga kami malah nyasar ke stasiun Berliner Tor. Tiga kali, lho. Tiga kali. Bela sampai nggak mau denger nama 'Berliner Tor' lagi.

Pada akhirnya, kami berhasil makan di sana, sih. Tapi pas malam. Nah, sebelum itu, ada kejadian ngenes.

Jadi, sore-sore (setelah selesai main di Kunsthalle (pameran lukisan) Hamburg), kami berencana pengin nyoba ke Hammerbrook lagi naik S-Bahn. Kami udah gagal tiga kali, sih, tapi siapa tahu di percobaan keempat berhasil. 

Akhirnya kami pergi ke jalur S-Bahn di stasiun utama Hamburg. Sesuai rencana, kami bakal naik S-Bahn 3 dan turun di stasiun Hammerbrook.

Eh, pas kami masih jauh dari jalurnya, S-Bahn 3 udah ada di jalur! Siap berangkat!

Akhirnya kami lari, kan, supaya nggak ketinggalan S-Bahn-nya. Bela lari di depanku, aku lari sekitar dua meter di belakang Bela.

EH BEGITU BELA UDAH BERHASIL MASUK KE DALAM S-BAHN (DAN AKU MASIH DI DEPAN PINTU S-BAHN), PINTUNYA KETUTUP. 

TASNYA BELA KEJEPIT.

Aku, dibantu sama beberapa orang yang juga pengin naik S-Bahn tapi telat, berusaha mencet tombol yang fungsinya untuk ngebuka pintu S-Bahn. Tapi telat! Pintunya udah nggak bisa dibuka lagi! Akhirnya Bela maksa maju, tasnya (alhamdulillah) ketarik dan berhasil diselamatin, tapi kami... kepisah. Bela di dalam S-Bahn, aku masih di stasiun.

Ingat adegan Mr. Bean Holiday, nggak? Adegan waktu Mr. Bean minta difotoin di depan kereta sama seorang bapak, bapaknya ketinggalan kereta, anak dari bapak itu ada di dalam kereta yang udah jalan, terus si bapak ngejar kereta?

Nah. Aku sama Bela kayak gitu, tuh.

Bedanya, aku ngasih instruksi ke dia untuk turun di stasiun selanjutnya lewat jendela sambil ketawa ngakak nyaris nangis. Nggak lucu, sih, tapi aku sama dia (dan orang-orang di sekitar kami) ketawa keras banget. 

Untung aja nggak ilang tuh bocah. Bisa dipiting Kak Sari dan **** aku entar (hayo tebak **** itu siapa).

3

Hari Sabtu (11/02), ada demo besar-besaran di seluruh (eh, atau mungkin cuma beberapa) bundestag Jerman. Temanya adalah penolakan deportasi refugees (pengungsi) Afghanistan. Latar belakangnya, karena beberapa dari refugees Afghanistan ini nggak dapat visa lanjutan untuk tetap stay  di Jerman. 

Sebelumnya, waktu masih tinggal di Indonesia, aku paling anti sama yang namanya demo. Ngapain, sih, buang-buang tenaga aja?

Tapi, khusus untuk demo ini, aku beneran pengin ikut. Aku punya banyak temen refugees yang baik-baik banget. Walaupun sering ngejek aku dengan panggilan 'kleine' (bahasa Indonesia: kecil) (iya tahu, deh, aku emang pendek), they always boost up my mood. 

Aku juga banyak belajar dari mereka untuk nggak ngeluh. Mereka jauh-jauh 'kabur' dari Afghanistan tanpa bekal bahasa apa pun (tahu bahasa Jerman-nya kata 'aku' aja nggak). Nggak sedikit dari mereka yang udah hilang kontak sama keluarga masing-masing. Kebanyakan dari mereka juga sedih karena masa depan, bagi mereka, bener-bener nggak pasti--mereka nggak tahu sampai kapan Jerman bisa nampung mereka. Dan, begitu waktu itu datang, mereka tetap nggak akan pulang ke Afghanistan. Mereka akan terus jadi refugees di negara lain--dan, dengan begitu, mereka harus mulai semuanya dari awal lagi. Mulai dari belajar bahasa sampai dapat pekerjaan. 

Salut, mereka kuat banget! Aku, yang cuma jadi pelajar pertukaran aja, kadang-kadang pusing minta ampun. Nggak kebayang deh gimana kalau harus jadi pengungsi....

Well, intinya adalah: C'mon, let them stay here--being a refugee is not a choice! Don't send them to death!

.

Hari Sabtu, pagi-pagi banget, aku bangun dan nyiapin semuanya. Roti untuk bekal di jalan, sebotol air minum, sampai sepasang sarung tangan paling tebel supaya kuat nahan dingin pas ngacung-ngacungin plakat seharian. 

Sebenernya aku agak ragu untuk pergi, sih, soalnya aku sempat baca ramalan cuaca kalau hari itu bakal bersalju dan berangin banget. Tapi baelah, cemen pisan. Lagipula kan bisa pakai jaket tebel....

Nah.

Pas udah mau berangkat ke Hauptbahnhof (stasiun kereta), sialnya, aku lupa pakai jaket tebel. Jadinya kedinginan! Belum pergi ke Hannover aja rasanya udah pengin balik ke rumah. Tapi baelah. 

Oh iya, jadi, kami (organisasi Jugend für Fluchtlinger Lüneburg) sebenarnya punya dua pilihan: demo di Hannover atau di Hamburg. Tadinya aku berharap kami bisa demo di Hamburg, sih, soalnya (1) lebih dekat, dan (2) kebetulan exchange students area Hamburg lagi ada party hari itu (anjis gaul banget kamu, Ran, pakai party segala). Tapi karena ibukota bundestag Niedersachsen adalah Hannover, akhirnya kami pergi ke Hannover.

Sebelum pergi, di depan Hauptbahnhof, kami ngelakuin beberapa persiapan dulu. Ngetes toa, ngusapein glitter di wajah, sampai ngecek siapa yang belum punya tiket (kami, lima puluh orang, berangkat pakai tiket Niedersachsen. Satu tiket bisa dipakai oleh maksimal enam orang. Keuntungannya, kami bisa keliling-keliling wilayah Niedersachsen di Jerman seharian, kalau nggak salah sampai jam delapan malam).

Dan akhirnya... berangkat!

.

Setelah duduk umpel-umpelan di lantai kereta, nembus hujan salju di Uelzen dan Celle, akhirnya kami sampai! Suhu waktu itu nggak terlalu dingin (sekitar -1), tapi anginnya beuh. Akhirnya aku milih untuk berteduh (?) di dalam Hauptbahnhof sebelum akhirnya demo dimulai. 

.

Demonya sederhana, sih, cuma mutar-mutar Hannover yang bagian pertokoan depan Hauptbahnhof (nggak tahu namanya apa). Kami ngacung-ngacungin plakat, teriak-teriak (asli seru banget), dan kadang nyapa penduduk Hannover.

Udah.

Hal yang paling berkesan? Menurutku:
(1) Waktu salah satu penduduk ngedoain supaya teman-teman refugees dapat izin tinggal dan nggak ada yang dideportasi.
(2) Waktu salah satu penduduk ngajak ngomong tentang Indonesia.



4

(note: buat orang yang ngerti arti Seni sebenarnya, mending nggak usah baca part ini, deh).

Sekolahku, sama seperti kebanyakan sekolah lainnya, punya pelajaran Seni.

Guru Seni-ku namanya Frau Glanz. Orangnya cantik, kurus, tinggi, dan artsy banget! Tapi, kata host sister-ku, wataknya tegas dan galak. Kalau mau lulus di pelajarannya, kita harus selalu ngerjain tugas dan belajar beneran. 

Aku belum pernah kena marah, sih (dan nggak berencana untuk kena marah). Karena itu, akhirnya aku belajar beneran di pelajaran Seni.

Nah. Minggu lalu, kami dapat tugas. Tugasnya adalah: kami harus ngefoto sebuah pemandangan, nge-print foto itu dengan format hitam-putih di atas kertas A4, terus kami harus ngewarnain gambar itu. 

Sebelum kami ngerjain tugasnya, Frau Glanz berkali-kali ngomong di depan kelas, "Ihr musst übermalen. Nicht ausmalen." (artinya: Kalian harus übermalen, bukan ausmalen).

Malen adalah bahasa Jerman dari kata kerja 'melukis'. Kalau diterjemahin pakai Google Translate, übermalen artinya paint over (kata kerja), sementara ausmalen artinya mewarnai. Tapi, waktu itu, aku belum tahu bedanya übermalen dan ausmalen. Udah nanya temen, sih, tapi nggak ada yang bisa ngejelasin dengan jelas. Mana nggak boleh buka handphone untuk ngecek Google Translate, lagi. 

Akhirnya temenku, Maria, ngomong, "Udahlah, Ran. Warnain aja gambarnya sesuai hand out."

"Gambar yang mana? Ada empat, nih."

"Pilih salah satu aja, terserah."

Akhirnya aku mulai mewarnai sesuai hand out, kan.

Terus, pas aku udah seperempat selesai, Maria ngomong, "Warnainnya jangan gitu-gitu aja, Ran. Pakai teknik yang diajarin kemarin geura."

"..........teknik muter-muter krayon?"

"Terserah. Bisa juga teknik ngarsir biasa yang nggak rapi, atau bahkan teknik yang kamu ciptain sendiri," kata Maria. "Itu dia penjelasan dari kata übermalen."

".......................asdfghjkl?! @#&#&$^#&?"

Akhirnya, berbekal kesotoyan dan penjelasan yang super nggak jelas dari Maria, aku berkesimpulan sendiri: aku harus ngerjain tugas ini dengan rapi sesuai hand out, tapi pakai teknik yang nggak rapi-rapi banget supaya bisa dianggap sebagai karya übermalen. 

Ini dia hasilnya:

Bagus, kan, ya (apa-apaan ini, muji diri sendiri).

EH TAPI, BEGITU AKU NANYA KE FRAU GLANZ, BELIAU NGOMONG, "Gambar ini salah. INI AUSMALEN, BUKAN üBERMALEN."

Ebuset.

Akhirnya aku nanya lagi, "Jadi... kudu gimana, Frau?"

"Bikin yang baru aja, ya? Biar saya kasih gambar baru."

Ebuset (2).

Udah males banget, nih, sebenernya. Tapi karena nggak mau gagal pelajaran Seni, akhirnya aku ngangguk-ngangguk. "Boleh, deh, Frau. Gambarnya satu, ya." (dih ini ngomong ke guru apa ke penjaga warteg, yak) (apa sih, garing amat).

Akhirnya, begitu Frau Glanz ngasih aku gambar baru, aku ngerjain ulang. 

Sebelumnya, aku sempat nanya ke Frau Glanz, "Frau Glanz, perbedaan antara ausmalen dan übermalen itu apa, sih?"

"Ausmalen itu mewarnai biasa, yang menjiplak dan sesuai dengan bentuk sebelumnya," kata Frau Glanz. "Kalau übermalen itu mewarnai sesuatu sesuai ekpresi kebebasan, filosofi, dan makna seni yang sesungguhnya."

Aku melongo. "..................asdfghjkl???! !#@*&$(*@&#(*)??"



Frau Glanz nunjukin aku sebuah gambar. "Kalau masih bingung, ini dia contoh übermalen."

"..."

Jujur, maaf yak, gambarnya itu... hmm... gimana ya ngejelasinnya? Bagus atau nggak, sih, aku nggak tahu (selain karena aku nggak ngerti seni, seni juga emang seabstrak itu). Tapi tekniknya berantakan, warnanya nggak jelas, dan basically cuma coret-coretan biasa. 

Akhirnya, aku (yang mulai putus asa) mikir: Udahlah. Gambar aja sejelek dan seaneh mungkin.

Ini dia hasilnya:


Aku ngegambar gambar di atas ini cuma sepuluh menit. Itu pun sambil mikir, kayaknya ini gambar paling hancur yang pernah kugambar, deh. Bahkan pas aku TK, gambarku nggak pernah sehancur ini. 

EH TAPI, BEGITU FRAU GLANZ NYAMPERIN MEJAKU, BELIAU NGOMONG, "RANI, DAS IST TOLL!"  (Ini keren!)

".................................asdfasdgdksajklas??! &#*$(&@*&(*??!"




5

Tiga minggu lalu adalah minggu #InternationalKindnessWeek!

Jadi, selama minggu itu, ada banyak aksi kebaikan yang dilaksanakan di kota Lüneburg. Tujuannya cuma satu, sih: bikin orang senyum. 

Aku sendiri sempat berpartisipasi di salah satu hari, yaitu hari #Schildaktion (hari plakat). Jadi aku  (dan beberapa orang) berdiri dan jalan-jalan di sekitar perempatan paling ramai Lüneburg sambil ngacung-ngacungin plakat kebaikan.



Jujur, awalnya aku malu banget. Aku juga takut bakal dikacangin sama orang-orang. 

Tapi, begitu enjoy, aku malah jadi enjoy banget. Nggak cuma berdiri sambil jalan-jalan, tapi juga sambil dadah-dadah dan nari sendirian! 

Responnya banyak dan bikin adem banget, deh. Ada yang balas ngedadahin, ada yang ngasih jempol, ada yang ngasih hati pakai tangan, sampai ada yang ngajak foto segala (sebenarnya agak bete, sih, soalnya kerudung lagi berantakan ditiup angin, tapi baelah). Dan respon yang paling adem adalah waktu salah satu siswi Turki berkerudung nyapa aku, "Assalamualaikum...."


6


Hari ini (2/3), aku presentasi tentang... pemilihan gubernur di Jakarta.



Harusnya aku presentasi tentang ini minggu lalu, sih. Tapi, minggu lalu, dengan begonya aku lupa nge-copy file presentasi dari laptop ke flashdisk. Jadi, waktu aku udah di depan kelas dan alat-alat presentasi udah siap, aku cuma melongo, terus minta maaf karena kelupaan nge-copy. Malu pisan! Untung Herr Köhl (guruku) orangnya baik....

Terus, kemarin, waktu aku pengin latihan presentasi sekali lagi, file-nya... hilang.

Iya, hilang.

Bahkan di trash juga hilang! 

Begitu tahu file itu hilang, aku lemes. Literally lemes. Soalnya aku nyiapin presentasi itu kira-kira dua minggu lebih, dan ngerjainnya di iMovie. Jadi aku juga ngitung sampai ke detik-detik slide itu muncul (ngerti, nggak? Pokoknya ribet, deh). 

Tapi hilang. 

Iya, hilang gitu aja....

Karena nggak punya banyak waktu untuk ngeratapin betapa nggak adilnya hidup ini (asik) (padahal rasanya pengin banget nonjok seseorang), akhirnya aku langsung kerja lagi sampai malam. Kali ini nggak di iMovie, tapi di Microsoft Powerpoint biasa. Aku juga nggak ngapalin teks bahasa Jerman-nya karena udah terlalu malam. 

Tapi untungnya lancar, walaupun nggak amazing.... :(

7


Sebagai penutup, aku bakal nyeritain tentang ulang tahunku.

Sebenarnya aku ngerasa alay, sih, waktu nulis ini. Tapi nggak apa-apa, deh. Ulang tahun sebagai exchange student mungkin cuma bakal aku rasain sekali seumur hidup. Perayaannya juga pasti beda dengan perayaan di Indonesia. Kalau nggak suka, ya nggak usah dibaca, atuh. 

.


Dari bulan Desember lalu, host family-ku udah nanya, "Rani, sebentar lagi kan Februari. Kalau ulang tahun nanti mau dirayain kayak gimana?"

Aku melongo bentar. Aku tahu, sih, kalau orang Jerman emang rapi, detail, dan terorganisir. Tapi ini kan masih pertengahan Desember... lagipula aku juga pernah bilang I don't really mind birthday... "Hmm... nanti aja deh, dipikirinnya." 

Bulan Januari, mereka nanya lagi, "Jadi mau gimana, Ran?"

"Bentar lagi, deh, nggak kepikiran."

Awal Februari, mereka nanya lagi, "Udah tahu pengin gimana?"

"...belum."

"Pas ulang tahun Clara (host sister-ku), ngerencanainnya sebulan lebih, lho."

"Ulang tahunku nggak bakal dirayain besar-besaran, kok," kataku. "Makan malam sama-sama aja udah cukup--atau malah nggak usah dirayain sekalian."

"..........."

.

Aku baru ngomong seminggu sebelum hari ulang tahunku kalau aku cuma pengin makan malam sama-sama bareng host family di hari ulang tahunku. Tapi akhirnya host family-ku malah ngundang beberapa tetangga. Mereka juga maksa aku untuk ngundang beberapa teman dari sekolah. Mereka ngomong, "C'mon! It is your 18th birthday! It is special!"

Aku nggak bisa nolak. "...ya udah, deh."

.

Sebenarnya, buat aku, hari ulang tahun itu bukan hari apa-apa, sih. Nggak penting. Tapi aku suka aja pakai hari ulang tahun sebagai patokan tentang siapa yang masih inget sama aku (ngerti, nggak?) (intinya, kalau mereka masih inget sama aku, mereka pasti inget dong kapan hari ulang tahun aku) (terus ngucapin, deh).

Gitu, deh, pokoknya.

Makanya aku nggak antusias setiap ulang tahun, tapi lebih ke penasaran.

.

(Pas hari ulang tahunku dateng...)

Waktu aku bangun pagi dan ngecek handphone, yang ngucapin nggak banyak-banyak amat, sih. Tapi aku seneng soalnya ada yang ngucapin pas jam dua belas malam dan lebih dikit (berarti yang ngucapin jam segini, inget sama aku, nih) (hehe) (jadi sayang, deh).

Terus aku mandi, sarapan, dan berangkat sekolah. Host family-ku masih tidur, tapi aku nemuin surat di atas meja makan dari host mother-ku. Isinya kurang lebih ngucapin selamat ulang tahun dan kalimat semacam have a nice day.



Terus aku ke sekolah.

Pas aku buka pintu kelas... temen-temen nyanyiin lagu happy birthday. Cuma ada empat orang, sih, soalnya aku datang kepagian (bukan karena rajin, tapi karena bisnya emang terlalu pagi) (jadi sedih). Tapi nggak apa-apa, karena pas pelajaran Bahasa Inggris, temen-temen nyanyi lagi (tapi kali ini sekelas).

Dapat kado juga, sih, dari temenku yang namanya Benita. Kadonya baru kubuka di rumah, tapi aku udah tahu isinya dari pertama kali nerima: MILKA!

Terus setelah sekolah, acara di rumahku dimulai. Banyak yang nggak bisa datang karena aku ngundangnya mendadak, tapi yang datang lumayan, kok. Awalnya agak awkward, asli. Aku bahkan sampai bisik-bisik ke host sister-ku di dapur, "This is so awkward, I wanna die!"

Tapi, begitu beberapa orang datang, malah jadi seru banget. Kami makan kue dan ngobrol-ngobrol doang, sih. Tapi tetep aja seru.





Yang paling seru, sih, waktu acara buka kado. Nyaris semua orang ngasih cokelat (80% Milka). Host mother-ku ngasih dua tiket gratis Kunsthalle, host father-ku ngasih buku tentang Praha (karena aku pengin banget ke sana), Maria ngasih botol minuman yang kayak alkohol tapi bukan alkohol, pacarnya host sister-ku ngasih voucher taman bermain yang keren banget, dan host sister-ku ngasih bamboo-to-go (tempat minum yang kece banget) (PS: sebenarnya aku udah pengin banget beli bamboo-to-go sejak pertama kali sampai di Jerman, tapi aku punya firasat bakal dibeliin sebagai hadiah ulang tahun. Eh beneran, hehehe).

Malamnya, aku dan host family makan malam di restoran China (tapi ada menu Indonesia) di daerah Salzhausen.


Eh ternyata yang punya restoran itu orang Indonesia! Lucu banget, deh! Kami banyak ngobrol pakai bahasa Indonesia nyampur Jerman, dan akhirnya, mereka ngasih aku sebungkus bumbu sayur asem sebagai hadiah.



What a perfect day!

Bonus:





Comments

  1. Ahh kayaknya Kak Rani udah nggak trauma ngomong pake bahasa Indonesia ya😂 Anyway it's kinda late but, happy birthday! I hope you always enjoying your time there:)

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Contact Me

About Me: The New Version

#1 Proses Novel "Inikah Rasanya Cinta"