#WanderingAround: 2nd: Kopenhagen

Separuh dari postingan kali ini ditulis di atas kereta Hamburg - Kopenhagen.

A) Latar Belakang
Dari banyaknya tempat yang bisa saya datangi, kenapa saya pilih Kopenhagen?

Simple. Alasan pertama, karena Moza (teman saya, AFS Indonesia - Denmark 2016/2017) tinggal di Kopenhagen. Jadi saya bisa jalan-jalan hedon sekaligus numpang hidup sebagai parasit di rumah host family Moza.

Oh iya, host family-nya Moza orang Jerman, lho. Jadi, waktu kami pertama kali kontak-kontakan lewat e-mail, kami pakai bahasa Jerman. Lucu, kan, orang yang tinggal di Denmark ngirim e-mail ke orang Indonesia pakai bahasa Jerman. 

Alasan kedua, karena saya dari dulu pengin banget liburan ke salah satu negara Skandinavia pas winter (walaupun perbedaan suhu antara Jerman Utara dan Denmark nggak terlalu jauh).

B) Berangkat
Pertama-tama, saya naik bis dari Kirchgellersen ke Lüneburg. Harganya? Kalau nggak punya kartu bulanan/tahunan, sekali jalan kurang lebih 2,5 Euro (anggaplah Rp30.000,00). Tapi karena saya punya kartu tahunan, jadi nggak bayar. 

Setelah sampai di Lüneburg Hauptbahnhof (stasiun utama), saya nunggu kereta selama tiga puluh menit. Awalnya cuma duduk-duduk di bangku besi, tapi tiba-tiba aroma burger McDonald's manggil-manggil. Akhirnya saya beli cheese burger dulu (1,20 Euro = kurang lebih Rp18.000,00. Anggap aja Rp20.000,00).

Dan karena masih lapar, akhirnya saya beli chicken burger lagi (harganya sama).

Pukul 16.28, kereta jurusan Lüneburg - Hamburg datang di jalur tiga (Gleis 3). Akhirnya saya langsung naik, deh (note: sebenarnya saya bukan naik kereta, sih. Tapi metronom. Apa perbedaannya? Metronom itu kereta bertingkat dua yang rutenya pendek, sementara kereta biasa itu biasanya  nggak bertingkat dan rutenya panjang). 

Setelah sampai di jalur 13 stasiun utama Hamburg (waktu itu pukul 17.01), saya langsung buru-buru keluar kereta dan pindah jalur kereta (untuk pergi ke Kopenhagen, saya emang harus naik dua kereta). Waktu itu saya agak deg-degan, sih, soalnya 1) waktu transit saya cuma dua puluh menit, 2) stasiun Hamburg lagi penuh-penuhnya, sampai gerak aja susah. 

Oh iya. Beda dengan stasiun Berlin yang plang penunjuk arahnya jelas, stasiun Hamburg nggak terlalu jelas. Tapi jangan khawatir. Pokoknya, begitu turun dari kereta, kita harus naik tangga/eskalator (karena kereta di stasiun Hamburg beroperasi di bawah tanah). Setelah itu baru kita nyari jalur sesuai tujuan masing-masing (nggak terlalu susah, kok, soalnya jalurnya berurutan gitu).

Setelah beberapa menit senggol-senggolan sama orang-orang sekitar, akhirnya saya berhasil juga naik eskalator dan nemuin jalur kereta Hamburg - Kopenhagen. Sebenarnya saya sempat ragu, sih, soalnya jalur keretanya dipindah (dari jalur tujuh ke jalur enam). Tapi untungnya nggak ada masalah apa-apa. 

Di papan pengumuman, ada tulisan kalau kereta Hamburg - Kopenhagen ada di jalur 6 E-G. Akhirnya saya nunggu sekitar lima menit di jalur E, deh. Eh tapi, pas saya iseng jalan-jalan ke jalur F, ternyata keretanya udah nongkrong di sana. Ahelah. Tahu gitu, mah, dari tadi saya udah masuk kereta. Dingin euy! (pesan moral: cek lingkungan sekitar, jangan ragu untuk nanya). 

Lanjut.

Di kereta, saya duduk di kursi 'terserah', soalnya nomor kursi emang nggak tercantum di tiket. Sempat diusir secara halus karena saya duduk di kursi yang udah direservasi, sih, tapi kalem aelah. Saya langsung pindah ke kursi sebelahnya yang nggak direservasi, terus mulai main laptop untuk ngehabisin waktu.

Perjalanan dari Hamburg ke Kopenhagen makan waktu kurang lebih... lima jam sepuluh menit. Cepet banget, kan, ya? Padahal, kalau dilihat di peta, jarak antara Hamburg dan Kopenhagen itu melingkar-lingkar. 

Tapi ternyata perjalanannya cepet karena kami harus ngelewatin air; that means kami harus naik kapal.

Yea. 

Jujur, saya paling nggak suka naik kapal. Seumur hidup, saya baru pernah naik kapal sekali (waktu study tour ke Bali bareng temen-temen SMA Negeri 3 Bandung). Itu pun tengah malam, jadinya saya tidur nyenyak di kapal walaupun cuma sebentar (kalau lagi ngantuk, saya nggak punya toleransi sama sekali untuk melek, sih) (ngomong-ngomong, Senin kemarin, host father saya ngomong gini pas kami nonton film bareng: Ran, kayaknya kalau pun dunia kiamat, kamu tetap bisa tidur, deh) (iya, lah, tidur selamanya) (hahaha) (garing amat).

Lanjut. 

Sebenarnya, waktu ada pengumuman kalau kami harus turun dari kereta karena kereta lagi ada di dalam kapal, saya nggak terlalu nyimak, sih. Kenapa? Soalnya 1) saya lagi denger lagu di laptop, dan 2) saya nggak bisa bahasa Jerman kalau di kereta. Jadi, setelah ada pengumuman asdfghjkl yang menggema, semua orang tiba-tiba berdiri dan keluar dari kereta. 

Saya panik, dong. Ada apa, nih? Kecelakaan? 

Akhirnya saya nanya ke orang terakhir di kereta, "Entschuldigung, was ist passiert?" (Ada apa, nih?).

Orangnya ngelihatin saya dulu, terus nanya, "Was ist besser? Deutsch, English, oder...?" (Saya harus ngomong pakai bahasa apa nih, baiknya? Jerman, Inggris, atau apa?) (keren banget, ya, bisa banyak bahasa).

"...mein English ist besser als mein Deutsch." (Saya lebih bisa bahasa Inggris daripada Jerman).

"Okay, then," kata orang itu. "We need to go out from the train, because we are now driving through the ocean--I mean, we are in a ship, and we are not allowed to stay here." (Kita harus keluar dari kereta karena sekarang keretanya ada di dalam kapal, dan kita nggak boleh tinggal di sini).

Saya, yang lagi asyik sama laptop, langsung kelabakan, dong. Semua orang udah keluar, tinggal kami berdua doang. Akhirnya saya buru-buru masukin laptop ke dalam ransel, pakai mantel, terus lari keluar kereta dan ngikutin barisan orang-orang yang naik ke bagian atas kapal.

Jujur, sementara saya naik ke atas kapal pakai tangga, saya bingung. Saya nggak tahu kapan kami bisa naik kereta lagi. Mana koper saya ditinggal di dalam kereta, lagi (dan saya lupa di gerbong yang mana).

Begitu sampai di atas, saya malah tambah bingung. Semua orang ngomong pakai bahasa yang beda-beda. Keluarga di samping saya jelas pakai bahasa Farsi/Dari (bahasa di Iran/Afghanistan), anak kecil yang sempat lewat di depan saya selalu ngomong 'Oui, oui' ke saudaranya (bahasa Prancis), dan most of them pakai bahasa nasional Denmark (Danish). Pas saya beli coke di salah satu toko, kasirnya juga ngomong pakai Danish, jadi saya senyum-senyum sok bisa aja. Mantap, lah, pokoknya (harga coke: 1,28 Euro, anggap aja Rp20.000,00).

Sebenarnya, di kapal, saya bisa jalan-jalan selama nunggu. Ada banyak toko dan restauran yang buka. Tapi, saking bingungnya, saya nggak punya niat sama sekali untuk makan. Akhirnya saya nunggu aja di depan pintu otomatis, sampai akhirnya (empat puluh lima menit kemudian) orang-orang mulai kembali ke kereta.

Setelah duduk aman di kereta, saya buka laptop lagi. Saya masih punya waktu dua jam sebelum sampai di Denmark, jadi saya bisa ngehabisin waktu dengan nulis (produktif banget, kan) (mantap). Saya juga sempat ngekontak Moza sebentar, sih, pakai Wifi kereta. 

Pas saya lagi asyik-asyiknya nulis, tiba-tiba kereta berhenti. Ternyata ada beberapa polisi (Politi) Denmark yang masuk ke dalam kereta untuk ngecek paspor. Awalnya saya santai aja, sih, soalnya saya udah nyiapin paspor dan Einladung (undangan) dari host family Moza. Tapi, pas polisinya udah di samping saya, saya baru inget: wah, visa yang nempel di paspor saya berlakunya sampai kapan, ya? Kayaknya bulan Februari. 

Duh, bisa-bisa disuruh balik ke Jerman, nih. 

Ngomong-ngomong, sebenarnya saya udah perpanjang visa sampai Juli (tanggal saya pulang). Tapi tanda perpanjangan visa itu ada di Aufenthaltstitel (kartu izin tinggal) saya, dan saya nggak bawa kartu sakti itu karena takut hilang (polos amat, ya). Untung aja visa di paspor saya berlaku sampai April (pesan moral: pas liburan, jauh lebih baik bawa paspor, visa, dan surat izin tinggal daripada bawa baju). 

Dan setelah nunggu selama dua jam... akhirnya saya sampai di København H (stasiun utama Kopenhagen)!

C) Jalan-Jalan!

Begitu sampai di stasiun København, jujur saya agak bingung pengin ke mana. Menurut feeling, sih, ke kiri. Tapi kok semua orang pada jalan ke kanan, ya? Akhirnya saya ikutin aja, deh. 

Untung aja bener! Setelah saya naik eskalator, saya langsung ketemu sama Moza dan Lita (temen saya yang hari ini ikut nge-trip juga, AFS Indonesia - Swedia 2016/2017) yang udah nungguin saya di dekat jam bundar.

Jujur, sebelumnya, saya belum pernah ketemu sama Moza. Kami saling follow Instagram, sih, tapi interaksinya cuma sebatas nge-love foto (ngomong-ngomong, kalau ada yang mau, follow Instagram, dong: @naraniwidodo. Instagramnya Moza: @ocamoza, Lita: @litaasghira) (apa-apaan ini, malah promosi....)

Lanjut.

Kenapa saya bisa jadi parasit di rumahnya dia? Karena bulan lalu, saya iseng nge-chat dia ngajak jalan-jalan. Iseng doang, lho. Eh tapi malah jadi beneran. Alhamdulillah!

Kalau Lita... sebelumnya saya udah pernah ketemu Lita di orientasi nasional AFS/YES, sih. Tapi saya nggak pernah ngomong sama sekali sama dia. 

Tapi, walaupun sebelumnya nggak kenal, kami langsung deket banget pas udah ketemu. Peluk-pelukan, ngoceh pakai bahasa Indonesia (pembalasan setelah berbulan-bulan nggak ada yang diajak ngomong!), dan selfie (yeatypisch Indonesian).

Jam udah nunjukin pukul setengah sebelas malam. Kami langsung pulang ke rumah Moza naik kereta  cepat yang selalu datang setiap sepuluh menit (kalau di Jerman, semacam S-Bahn). Kami ngelewatin dua stasiun... dan akhirnya... sampai! 

Oh iya, untuk naik kereta cepat di Kopenhagen, saya nggak tahu harganya berapa. Kenapa? Karena uangnya ditalangin sama Moza dulu. Kenapa? Karena bayarnya harus pakai kartu gitu, sih, dan saya nggak punya kartunya (saya nggak ngerti, deh). 

.

Besok paginya, kami bangun sekitar jam tujuh, sarapan jam setengah delapan, dan langsung berangkat jam delapan naik kereta cepat (dilanjut dengan bis) ke tujuan pertama: Amelienborg! 

Amalienborg itu istana yang luas dan bentuk 'pintu utamanya' membundar. Ratu Denmark tinggal di sini, nih. Oh iya, kata Moza yang pernah ke sana waktu musim gugur, Amelienborg itu ramai banget. Tapi, waktu kami ke sana, hanya ada lima turis. Mungkin karena lagi musim dingin dan masih pagi, kali, ya (kami sampai di sana sekitar jam 9).



Coba lihat di pojok kanan, deh, ada semacam 'Scott Guard' ala Denmark.
Pengin ngajak foto tapi sungkan.... :(

Muka belum siap difoto. Senyum baru jadi setengah.




Setelah dari Amelienborg, kami jalan kaki ke Nyhavn yang bisa ditempuh sekitar sepuluh sampai lima belas menit dengan jalan kaki.

Bisa dibilang, Nyhavn ini adalah salah satu ikon Denmark yang paling populer. Kalau kita searching Kopenhagen di Google, foto Nyhavn pasti muncul. Penasaran, kan, Nyhavn itu apa? Intinya, Nyhavn itu bangunan warna-warni (kebanyakan restauran atau kafe gitu, sih) di pinggir sungai.

Nyhavn selalu ramai, bahkan waktu winter seperti sekarang (jangan dibayangin, deh, ramainya kayak apa pas summer).

Oh iya, di Nyhavn, kita bisa nyobain tur pakai perahu wisata gitu. Harganya berapa, ya? Delapan puluh Euro, kayaknya (nyaris sama kayak tur perahu wisata di Venesia, Italia). Saya nggak yakin, karena waktu itu kami kesusahan ngekonversi Dänemark Krone (mata uang Denmark) ke Euro.

Tapi kami nggak nyobain tur perahu wisata, sih. Cuaca dingin dan berangin banget, jadi sepertinya nggak worth it kalau nyobain tur itu (pesan: kalau pengin nyobain tur perahu wisata, mending datang pas summer. Tapi, untuk saya pribadi, saya lebih pilih untuk datang pas winter, sih. Selain karena lebih sepi dan 'berestetika' (duh, jadi inget Lita), juga lebih seru ngunjungin salah satu negara Skandinavia pas musim dingin).




Oh iya, dalam perjalanan menuju Nyhavn, kami juga sempat ketemu sama.... ini!


Sebenarnya kami nggak tahu itu apa, tapi kami tetap foto di sana karena... well, keren. Beberapa turis yang lewat juga foto di sana, sih.

Ngomong-ngomong, waktu kami lagi ganti-gantian saling ngefotoin, dua orang turis (kakek-nenek) datang naik sepeda sewaan. Saya, yang lagi difotoin untuk keratusan kalinya sama Moza, nanya ke mereka, "Do you want to take some photo first? We want to take more photos, and I think it will take a long time."

"It is okay," jawab si Kakek. "We want to take Snapchat."

"..........."

#KakekGoals!!!!!

Walaupun si Kakek ngomong 'it is okay', kami tetap tahu diri, dong. Setelah ngambil foto sekali lagi, kami langsung nyingkir dan nunggu di samping. Kami ngelihatin mereka main Snapchat sambil 1) terkagum-kagum sendiri (Kakek itu, serius, jauh lebih gaul daripada kami), dan 2) baper.

Kenapa?

Karena Kakek dan Nenek itu #relationshipgoals banget! Mereka traveling bareng, seneng-seneng bareng, dan kelihatan kompak banget. Bayangin, deh: sementara si Nenek pose dengan gaya ala Selebgram, si Kakek nge-shapchatin sambil ketawa--dan habis itu gantian. 

Ternyata lagu 'Sampai Jadi Debu' dari Banda Neira emang beneran nyata, ya.... 

Lanjut.

Setelah dari Nyhavn, kami lanjut ke Black Diamond (perpustakaan kerajaan Denmark) dengan jalan kaki.

Tentang Black Diamond... desain eksteriornya bagus banget (coba googling, deh, kalau penasaran)!   Banyak bangku-bangku kayu yang langsung menghadap danau buatan. Interiornya juga nyaman dan lengkap, cocok untuk ngerjain tugas atau nulis (saya pengin banget, deh, nulis di perpustakaan ini). Kalau lapar, ada juga food court di lantai pertama (catatan: tapi harganya lumayan). Kalau masalah kelengkapan referensi jurnal atau buku, saya nggak tahu. Di sini cuma ngadem (eh, ngangetin badan) doang sebelum akhirnya lanjut ke... Christiansborg Palace!


Di Christiansborg Palace, kita bisa naik ke tower-nya (kalau di foto, sih, yang di tengah-tengah atas). Tapi, waktu kami ke sana, antreannya panjang banget. Karena takut kehabisan waktu cuma untuk ngantre, akhirnya kami nggak naik ke tower-nya (lagipula, di ujung trip, kami bakal naik ke tower di wilayah Størget. Jadi kami cuma foto-foto di depan pagar dan jalan-jalan di taman sekitarnya aja (oh iya, tentang biaya naik ke tower, saya nggak tahu).

Dari Christiansborg Palace, kami lanjut ke salah satu tempat yang paling menarik di Kopenhagen: Størget! Jadi, Størget itu shopping street terpanjang se-Eropa (kata Moza dan Lita, sih. Saya nggak tahu itu benar atau salah).




Untuk sampai ke sana, kami juga jalan kaki, jadi nggak keluar biaya transportasi lagi (catatan: semua tempat wisata mainstream di Kopenhagen emang bisa ditempuh jalan kaki dengan waktu kira-kira sepuluh menit antartempat). 

Begitu sampai di Størget, kami ketemu sama street art performancer (penyanyi) yang tipe suaranya sesuai banget sama selera saya. Setelah fangirling-an sebentar (lama, deng), akhirnya saya ngasih uang, deh--tapi saya ngasihnya Euro, bukan Krone (berhubung Euro nggak laku di Denmark, nggak tahu deh uang itu dipakai untuk apa sama dia).

Kami sempat masuk ke beberapa toko sebentar, terutama waktu pengin shalat (tambahan dari temen-temen exchange students: buat umat Muslim yang pengin shalat tapi kesusahan nyari masjid atau tempat, shalat di fitting room aja. Wudhu-nya di toilet kafe. Tapi jangan cuma numpang wudhu, modal beli minuman atau makanan juga, lah). 

Setelah itu, kami jalan-jalan ke tower yang letaknya di tengah-tengah Størget!

Untuk naik ke atas tower, biayanya sekitar empat Euro (Rp57.000,00) (atau lima Euro, ya? Lupa). Tower ini juga nerima uang Euro, tapi nggak dalam bentuk koin. Dan karena waktu itu uang kertas saya ada di dompet (dan dompet saya ada di dalam tas), akhirnya saya pakai Krone-nya Moza dulu (emang, deh, Moza baik banget) (dan saya pemales banget). 

Setelah bayar tiket masuk, kita bakal mendaki tower. Bukan pakai tangga, tapi pakai jalan melingkar. Buat yang jarang olahraga (kayak kami bertiga), jalannya lumayan bikin capek, sih (enggak, deng, kami aja yang ngeluh terus). Kami sempat dua kali berhenti: pertama, pas Lita mau ke toilet (toiletnya ada di jalan menuju puncak tower), dan kedua, pas saya pengin makan pisang (host mother Moza ngebawain kami bekal pisang).

Dan setelah sampai di atas tower... kami dapat pemandangan-pemandangan ini:




Bonus foto candid waktu saya lagi ngerapihin kerudung.

Di atas sini rasanya dingin banget (ya iyalah). Bawaannya pengin cepet-cepet turun, tapi bingung juga karena belum puas foto (catatan: kalau wisata ke tempat-tempat tinggi pas winter, jangan lupa pakai pakaian yang bener-bener hangat!). 

Setelah turun dari tower, kami jalan-jalan di sekitar Størget sebentar, terus lanjut jalan kaki ke salah satu ikon Kopenhagen yang paling terkenal: patung Little Mermaid.

Sebenarnya kami ragu pengin ke sini atau nggak, sih. Soalnya, kata Moza yang udah pernah ke sana, patungnya kecil banget dan nggak worth it. Tapi, masa jauh-jauh ke Kopenhagen, nggak ngunjungin ikon Kopenhagen-nya?

Akhirnya kami mutusin untuk pergi, deh.

Eh tapi, setelah itu, kami bingung lagi: pengin naik apa, nih? Jalan kaki atau kereta? (catatan: kalau jalan kaki dari Størget, butuh sekitar setengah jam. Kalau naik kereta, harus turun di salah satu stasiun, terus jalan kaki lagi lima belas menit).

Dengan pertimbangan 1) ngirit, dan 2) sekalian jalan-jalan keliling kota, akhirnya kami jalan kaki. Setengah jam nggak terasa lama, sih, apalagi waktu kami masuk ke taman di daerah sekitar patung Little Mermaid. Bagus banget, asli!


Difotoin Lita waktu kami numpang duduk untuk makan roti

Pas kami datang ke patung Little Mermaid (yang beneran mungil) (padahal dulu sempat punya ide untuk ikutan foto dengan gaya putri duyung di sebelahnya), area di sekeliling patung itu lumayan ramai. Semua orang ngantre untuk foto (mumpung gratis).

Saya pengin nge-upload fotonya, tapi masih di kamera. Nggak usah, ya?

Dan akhirnya... selesai juga jalan-jalan hari itu! Sebenarnya pengin ice skating-an outdoor, tapi udah telanjur tepar dan cuacanya berangin banget. Akhirnya kami pulang naik bis, makan malam, ganti baju tidur, terus nonton film. Judulnya ICE (nggak tahu, deng, gimana ejaannya) (saya juga nggak tahu jalan ceritanya gimana karena saya ketiduran, dan tahu-tahu, filmnya selesai) (yeah).

.

D) Pulang

Karena jalan-jalannya pas weekend, saya nggak punya banyak waktu untuk nge-eksplor Denmark lebih lanjut. Lagipula udah tepar banget, mana besoknya sekolah, lagi. Akhirnya saya pulang naik kereta ke Jerman jam sebelas pagi, deh (sebelumnya, kami sempat pengin jalan-jalan ke hutan di dekat rumah Moza yang bagus banget, tapi 1) cuaca nggak mendukung, dan 2) kami telat bangun dua jam dari bunyi alarm).

Saya (dianterin Moza dan Lita) naik kereta cepat ke stasiun København H. Seru, deh, kami sempat lari-lari ke stasiun dekat rumah Moza sambil nyeret koper (karena telat bangun tadi). 

Begitu sampai di stasiun, saya udah nggak punya tenaga lagi. Pengin fokus juga males. Nah, pas ngelihat papan pengumuman di jalur kereta delapan (jalur kereta saya), ada dua petunjuk tujuan kereta yang bunyinya kurang lebih kayak gini:
1) Hamburg Hbf A-C
2) Hamburg Hbf D-F 

Nah. Kok ada dua, sih? 

Bedanya apa, ya?

Harusnya saya nyari tahu perbedaannya, ya. Tapi karena saking males dan capeknya, akhirnya saya cuek aja. Saya nunggu di jalur delapan bagian D-F sambil ngobrol bareng Moza dan Lita. 

Eh untungnya, ada yang ngasih tahu saya: Hamburg Hbf di gerbong bagian D-F itu nggak sampai ke Hamburg, tapi berhenti di stasiun terakhir Denmark. 

Bingung?

Jadi gini: tiap naik kereta dari Denmark ke Jerman (atau sebaliknya), kita harus naik kapal (karena nyebrang laut). Nah, kereta yang kita naikin itu bakal ikut masuk ke bagian dalam kapal. Tapi, kalau keretanya terlalu panjang (dan nggak muat di kapal), gerbong kereta bakal dipisah jadi dua. Beberapa gerbong bakal masuk ke kapal dan lanjut ke Jerman, dan gerbong lainnya hanya berangkat sampai stasiun terakhir Denmark (sebelum sampai laut). 

Akhirnya, setelah dikasih tahu info itu, saya langsung lari-lari ke jalur delapan bagian A-C. Deg-degan, deh, soalnya tinggal beberapa menit lagi! Untung aja sempat kekejar... 

Dan akhirnya saya duduk manis, deh, di dalam kereta. 

.

E) Pulang (Bagian 2)

Beberapa hari yang lalu, salah satu temen saya cerita kalau dia ketinggalan pesawat. Akhirnya dia beli tiket lagi, eh tapi belinya salah tanggal :( kasihan, sih, tapi karena lucu, akhirnya saya ketawain. 

Tapi ternyata karma itu beneran ada, saudara-saudara!

Untuk sampai ke kota tempat tinggal saya (Lüneburg), saya harus 'transit' di stasiun Hamburg dulu dan ganti kereta. Bagi orang-orang Jerman, waktu transitnya lumayan panjang, sih, dua puluh menit. Tapi buat saya, itu cepet banget! (efek dari transportasi di Indonesia yang selalu ngaret).

Nah. Setelah ngelewatin stasiun Lübeck (udah masuk negara Jerman), tiba-tiba keretanya berhenti cukup lama. 

Saya deg-degan, nih. Jangan sampai ketinggalan kereta ke Lüneburg, ya Tuhan (sebenarnya, Lüneburg itu dekat dengan Hamburg. Harga tiket keretanya juga agak murah, jadi saya nggak keberatan kalau harus beli lagi (keberatan dikit, deng). Tapi, masalah pertama, handphone saya nggak dapat sinyal (jadi nggak bisa ngabarin host family). Masalah kedua, saya nggak tahu kapan kereta selanjutnya datang. Masalah ketiga, kalau saya datang telat, nggak ada yang bisa jemput saya di stasiun Lüneburg).

Akhirnya saya curhat ke orang yang duduk sebangku sama saya (ya, saya kenalan sama orang baru di kereta. Namanya Abubakar, asal Chad (Afrika), tinggal di Paris, baru aja ngunjungin temen lamanya di Denmark), "Saya takut banget, nih, ketinggalan kereta selanjutnya."

"Berdoa aja semoga keretanya cepat berangkat."

"Semoga!"

Tapi doa saya nggak terkabul. Keretanya baru jalan dua puluh menit kemudian! 

Saya curhat lagi ke Abubakar, "It is official: I miss my train."

Abubakar ketawa. "Ya udah, nanti beli tiket kereta selanjutnya aja."

Ealah, ngomong mah gampang, yak.... 

Setelah itu, saya jadi bingung banget. Handphone saya masih belum dapat sinyal, jadi saya nggak bisa ngabarin host family. Saya juga nggak familiar sama stasiun Hamburg, jadi saya nggak tahu bisa beli tiketnya di mana. Hh....

Setelah kereta sampai di Hamburg Hauptbahnhof (jalur empat belas), saya langsung lari ke jalur delapan (jalur tempat kereta tujuan Lüneburg). Saya berharap saya masih bisa ngejar keretanya, tapi ternyata... nggak. Di jalur itu, udah ada kereta lain (tujuan Bremen).

Saya tambah bingung. Saya harus ngapain, nih? Ke bagian tourist information dan minta bantuan?  Atau langsung nyari tempat penjualan tiket baru dan beli tiket lagi?

Akhirnya saya mutusin untuk... nyari wi-fi. 

Eh tapi, waktu saya lagi keliling-keliling stasiun Hamburg (tangan kanan nyeret koper, tangan kiri ngacung-ngacungin handphone untuk nyari sinyal wi-fi gratisan), saya ngelihat kereta lain tujuan Lüneburg di jalur sebelas!

Wah... kesempatan bagus! Saya bisa naik kereta itu, dan sampai di Lüneburg (cuma) sepuluh menit lebih lama dari seharusnya!

Tanpa pikir panjang, saya langsung masuk ke kereta itu (lebih tepatnya metronom, sih). Saya naik ke lantai dua metronom, naruh koper di tempat yang tersedia, terus duduk di salah satu kursi. 

Jujur, saya deg-degan sampai mules. Kenapa? KARENA SAYA BELUM BELI TIKET! Kalau ketahuan, bisa denda puluhan Euro, nih...

Suara dalam hati saya ngomong, "Ran, mendingan kamu turun dulu, terus beli tiket, deh."

Suara lainnya ngebales, "Tapi, kalau saya beli tiketnya sekarang, saya bakal ketinggalan kereta ini."

"Kan masih ada kereta selanjutnya."

"Saya nggak tahu kapan kereta selanjutnya bakal berangkat."

"Kan bisa cari tahu di loket."

"Tapi kan kereta saya sebelumnya delay. Bukan salah saya, dong."

"Kalau ketahuan dan kena denda, kamu nggak bisa jajan tiga bulan, lho."

"........."

Akhirnya, saya ngalah. Yaudah, deh. Saya turun dulu, terus beli tiket lagi supaya resmi. 

EH TAPI, PAS SAYA BARU MAU BERDIRI, TIBA-TIBA KERETANYA JALAN!

ASDFGHJKL??! *#^&@$^&@Q*$^*#$&#$^&@*#*@??

.

Karena nggak punya pilihan lain, akhirnya saya cuma bisa pasrah dan berdoa di dalam kereta: Ya Allah, semoga petugas pemeriksa tiket nggak datang.... (catatan: biasanya, kalau beruntung, petugas pemeriksa tiket nggak sempat meriksa tiket kita) (tapi saya belum pernah beruntung, sih).

Setelah berdoa seserius mungkin, saya mulai mikirin skenario-skenario kalau petugas pemeriksa tiketnya datang. Mulai dari skenario 'ngejelasin dengan jujur kenapa saya jadi penumpang gelap' (saya juga harus nyalahin kereta Kopenhagen - Hamburg yang delay), sampai skenario 'saya turis dan saya nggak bisa ngomong bahasa apa pun selain bahasa yang petugasnya nggak bisa'.

Hahaha. Gokil. 

NGGAK, DENG. 

APANYA YANG GOKIL? DEG-DEGAN! 

Jantung saya rasanya nyaris copot tiap dengar langkah kaki orang! Saya kira itu petugas pemeriksa tiket!

Ngomong-ngomong,jadi ingat meme ini.

Untungnya, setelah setengah jam lebih yang rasanya penuh penderitaan (saking deg-degannya, saya sampai sakit perut), saya selamat! Petugas pemeriksa tiketnya nggak sampai ke tempat duduk saya, hahahaha! 

Warning: JANGAN DITIRU.

Comments

Popular posts from this blog

Contact Me

About Me: The New Version

#1 Proses Novel "Inikah Rasanya Cinta"