Minggu Ketujuhbelas di Jerman (AFS Indonesia - Jerman 2016/2017)


Song of this week: 
1) Castle on the Hill - Ed Sheeran
"And I miss the way you make me feel, and it's real
We watched the sunset over the castle on the hill."

2) City of Stars (OST. La La Land)
"City of stars
Are you shining just for me?"

Movie of this week: xXx: Return of Xander Cage

View of this Week: Jalan yang paling terkenal di Berlin. Lupa namanya.

.

Minggu ini hectic banget. Aku nyaris nggak punya waktu untuk diri sendiri. Belakangan ini, aku juga susah tidur, padahal capek badan, capek pikiran, dan capek hati (ea)--anyway, kok jadi inget lagunya Coldplay, ya? When you feel so tired, but you can't sleep....

1

Hal yang paling sucks selama di Jerman? Jam istirahat sekolah. 

I do not know why. It just... sucks. Aku dekat sama teman-teman kelas, but I do not get along with them. Jadi, biasanya aku ke perpustakaan, ke toilet, atau ke Penny (mini market dekat sekolah) sendirian--sedih, sih, tapi baelah. I ain't care.

Nah.

Hari Senin, di jam istirahat kedua, aku pergi ke Penny. Mood-ku jelek banget, deh, suntuk karena kebanyakan belajar (kebohongan detected). Waktu itu, aku mikir, I really need a mood booster right now: Schokolade (chocolate)!

Akhirnya, setelah ngambil sebatang cokelat, aku ngantre di kasir sambil melamun. Lama banget, asli, soalnya aku ngantre di barisan ibu-ibu yang panjang. Mana orang di depanku itu nenek-nenek yang belanjaannya seabrek, lagi. 

Pas gilirannya nenek itu, nenek itu lelet dan lamaaaa banget masukin barang-barangnya ke tas belanja (di Jerman, 99 persen orang selalu bawa tas belanja sendiri dan ngemasukin barang-barang belanjaannya sendiri--Verkaufer(in), alias kasir, cuma nge-scan belanjaan doang).

Setelah aku bayar cokelat belanjaanku, aku berinisiatif nawarin bantuan ke nenek itu, "Brauchen Sie Hilfe?" (Butuh bantuan?)

"Ja, gerne!" (Sabi deh, sabi).

Akhirnya, nenek itu cuma megangin kedua ujung tas belanja sementara aku yang masukin barang-barangnya ke dalam tas itu. Aku ngelakuinnya secepet mungkin karena sebentar lagi pelajaran ketiga dimulai. Aku juga ngelakuinnya sambil melamun, sih--pokoknya barang-barang di atas meja kasir dimasukin aja, lah, semuanya.

EH TERUS...

Mbak-mbak di belakangku ngomong, "Entschuldigung." (Permisi?).

Aku cuek aja. Selain karena suaranya terlalu kecil, aku juga lagi melamun sambil tetap masukin barang-barang ke tas belanjaan. 

Eh kali ini Mbaknya nyolek lenganku. "Enstchuldigung? Das sind meins." (Maaf, beberapa barang yang kamu masukin ke tas itu belanjaanku).

"..."

TERNYATA, AKU (SECARA NGGAK SADAR) NGEMASUKIN BARANG BELANJAAN MBAK DI BELAKANGKU KE TAS NENEK DI DEPANKU (meja kasir emang penuh banget, aku jadi bingung yang mana belanjaan Nenek dan yang mana belanjaan Mbak).

Scheiße, malu banget! Apalagi Kasir, Nenek, Mbaknya, dan antrean sebelah pada ketawa.

"Es... es tut mir leid," kataku sambil nyengir. Habis itu aku buru-buru kabur, lari ke arah sekolah, dan... nyebur ke tempat sampah (kaga, kaga) (tapi, saking malunya, rasanya mirip kayak naruh muka di tempat sampah). 

2

Weekend kemarin, aku dan host family-ku jalan-jalan ke Berlin. Kami ngunjungin beberapa tempat seperti Reichstag, Berliner Dom, Brandenburger Tor, sampai Checkpoint Charlie (aku pengin nulis blog #WanderingAround tentang Berlin, tapi nggak tahu kenapa males banget). 

Dari semua itu, yang paling berkesan adalah... waktu kami makan malam di restauran Indonesia!

Odo, sahabatnya host mother-ku, nyobain nasi goreng (kalau nggak salah).

Host mother-ku nyobain gado-gado (tapi tempenya nggak dimakan).

Host sister-ku nyobain mie goreng (kayaknya bakmi). Dia suka banget!

Aku sendiri nyobain salah satu makanan kesukaanku, yaitu mie ayam. Enak, sih, tapi menurutku lebih enak mie ayam di kantin sekolah (maaf, ya). Eh tapi mie ayam paling enak yang pernah kucobain itu mie ayam di Sorowako, sih. Gurih, ayamnya banyak, dan bumbunya nendang banget (pas aku nulis ini, perutku keroncongan).

Setelah selesai makan berat, host sister-ku masih laper (aku juga, sih). Jadi kami mesen desert (makanan penutup): pisang goreng! 

Ada dua cerita lucu waktu kami pengin mesen desert

Yang pertama, host mother-ku nyaris protes ke pramusaji karena menurut dia, pisang goreng itu bukan pisang--asli kocak banget!

Yang kedua...

Sebelum mesen pisang goreng, host mother-ku ngomong ke aku, "Rani, du musst Indonesisch sprechen! Wir möchten gerne zu hören!" (Rani, kamu harus ngomong pakai bahasa Indonesia! Kami pengin denger).

Sebelumnya, setiap ngomong ke pramusaji, aku selalu ngomong pakai bahasa Jerman walaupun mulutku udah getol banget ngomong pakai bahasa Indonesia. Bukan karena sok-sokan jago Jerman, tapi karena grogi. Udah empat bulan nggak ngomong Indo secara langsung ternyata bikin grogi, guys. 

Sebenernya aku pengin nolak, tapi host sister-ku ngomong (setengah maksa), "Mach das, Rani!" (Ayo, Rani!).

Akhirnya aku nyanggupin--baiklah. Doakan aku, ya! *ala Benteng Takeshi*

1...

2...

3... MULAI!

Aku manggil seorang pramusaji yang lewat, "Mas!"

Sumpah, pas manggil 'Mas', aku ngerasa aneh. Panggilan 'Mas' itu kayak bahasa alien yang nggak pernah aku pakai (padahal aku orang Jawa). Dan rasa aneh itu jadi tambah gede waktu Mas-nya noleh dan ngedatengin mejaku, "Ya?"

"Anu... pengin mesen."

"Ya?"

"......pengin mesen."

"Iya, mesen apa?" kata Mas-nya sambil ketawa dikit.

Jeng jeng jeng jeng... pas Mas-nya ketawa, jujur, otakku berantakan. Aku jadi grogi dan agak malu. Aku juga jadi lupa, deh, pengin mesen apa. 

TAPI, BUKANNYA NGEBUKA DAFTAR MENU UNTUK NGELIHAT MENU YANG PENGIN KAMI PESEN, AKU MALAH NANYA KE HOST SISTER-KU, "KITA PENGIN MESEN APA, SIH?"

....dodol. KENAPA AKU NANYA PAKAI BAHASA INDONESIA KE HOST SISTER-KU?

Sementara host sister-ku melongo (literally melongo, mulutnya ngebentuk huruf O), Mas-nya ketawa tambah kenceng. Host mother-ku dan Odo juga ikut ketawa walaupun nggak ngerti apa-apa. Tinggal aku sendiri, deh, yang panik dan mulai ngeracau nggak jelas. 

Aku ngomong lagi ke masnya, "Anu... pisang goreng!"

Masnya bales, "Berapa?"

".......*mikir lama banget* zwei, Mas." (dua, Mas).

...

............

.................

DODOL. AKU BARU AJA NGEGABUNGIN BAHASA JERMAN DENGAN PANGGILAN 'MAS'!

Dari mejaku, aku ngedenger meja sebelah ketawa keras banget. Mas-nya, sambil nulis pesenan kami di notes, juga ketawa. Nyaris nangis, mungkin. 

Biasanya, kalau aku kejebak di situasi yang bikin malu, aku biasa aja. Baelah. Tapi, kali itu, aku malu banget! Mukaku sampai kerasa panas, dan aku nggak punya niat lagi untuk ngomong pakai bahasa Indonesia.

3

Hari terakhir liburan (Selasa minggu lalu), aku nge-volunteer lagi di Waldkindergarten (TK). Sebenernya agak males, sih, soalnya salju turun lagi (aku pengin cepet-cepet summer, guys). Tapi setelah dijalanin... ternyata hari itu menarik banget!

Begitu datang, kami langsung main perang bola salju. 

Kami ngebentuk dua tim. Tim pertama anggotanya Oscar, Jannes, Ellias, Allan, Kiyomi, dan Moritz. Tim kedua anggotanya... aku doang.

Nggak adil emang.

Setelah itu, kami main... ski! Bukan ski mewah yang di gunung-gunung gitu, sih. Kami cuma main di bukit yang nggak terlalu tinggi doang. Alatnya juga bukan alat ski yang dipakai sambil berdiri, tapi semacam kereta kayu yang dipakai sambil duduk. Sederhana, deh, pokoknya.

Pertama kali nyobain sendiri... seru juga. 

Sebenernya aku pengin nyobain lagi, sih, tapi aku harus ngalah sama anak-anak (ya iyalah). Akhirnya aku cuma ngejagain mereka.

Nah, di TK itu, ada dua anak yang paling kecil. Namanya Hannah (4 tahun) dan Klaus (3 tahun). Mereka pengin nyobain ski berdua (duduk berdua di satu alat), tapi setiap mereka nyobain, mereka pasti jatuh (mereka nggak bisa ngekontrol arah kereta kayunya), dan... nangis.

Akhirnya mereka nyobainnya bareng aku. 

Pertama, aku bareng Hannah.

Sukses. 

Nah, yang kedua, aku bareng Klaus.

Sebelum main ski bareng Klaus, aku udah punya feeling buruk, nih. Pokoknya udah kerasa aja, kalau percobaan kali ini bakal gagal. Tapi aku mikir, baelah. Kalau jatuh ya jatuh ae, susah amat. 

EH BENERAN JATUH, DONG.

MANA JATUHNYA GARA-GARA NABRAK POHON.

Habis itu, Klaus nangis keras banget dan dia nggak mau nyobain lagi--kasihan banget, deh, dia nyoba berkali-kali tapi selalu jatuh. 

Setelah itu, karena saljunya mulai menipis, akhirnya beberapa anak TK pindah tempat ke bukit mungil sebelah. Tapi aku masih stay di bukit yang lama karena penasaran: kok, pas sama aku, Klaus tetep jatuh, sih? 

Karena rasa penasaran itu, akhirnya aku nyobain lagi. Kali ini sama Oscar.

EH JATUH LAGI.

Dan kali ini, Oscar nangis lebih keras dari Klaus. Dia juga teriak, "Mein Fuß tut weh!" (Kakiku sakit).

Akhirnya aku terpaksa ngegendong dan nenangin dia supaya nggak trauma main lagi. Berat banget, asli. Dia nggak gendut, sih, tapi pakaian yang dia pakai itu berat banget. "Du kannst das machen, Oscar. Es ist normal zu hinfallen. Ich, ich habe mit Klaus auch hingefallen." (Kamu bisa, kok, Oscar. Jatuh itu hal yang biasa. Aku juga jatuh pas main ski sama Klaus).

Akhirnya Oscar tenang dan mau main ski lagi. Tapi, begitu aku ngajak untuk main ski bareng, dia ngomong, "Nie. Es ist besser zu alleine." (Nggak, lebih baik main sendiri).

......NYESEK.

.

Oh iya, Allan dan Jannes berantem hari itu. Masalahnya sepele, sih, cuma tentang siapa yang pas main ski 'mendarat' paling jauh. Allan bilang kalau dia yang paling jauh, tapi Jannes ngotot kalau dia yang paling jauh--dan aku pusing banget, karena Jannes nangis terus dia ngadu banyak banget ke aku (tapi aku nggak ngerti) (dia ngomongnya sambil kesengguk-sengguk) (lah ngomong biasa aja belum tentu ngerti). 

4

Hari Senin lalu, temen-temenku ngadain acara nonton bareng film Harry Potter. Aku diajak. 

Nah, sebelum pergi ke rumah temenku, aku mampir dulu ke supermarket untuk beli makan siang (beli Snickers doang, sih). Aku laper banget! Sarapan cuma makan satu roti, kemarin malamnya makan terlalu awal, lagi.

Saking lapernya, aku nggak sabaran banget pas bayar di kasir. Aku buru-buru ngebuka tas, ngambil dompet, ngebuka resleting dompet, dan... 

KOIN-KOINKU TUMPAH SEMUA!

Asli, semua orang di area kasir langsung hening dan ngelihatin aku. 

5

Weekend kemarin, aku ikut mid camp AFS di Bredenbeck (bukan cuma exchange students aja, tapi juga pelajar-pelajar Jerman yang bakal berangkat ke luar negeri tahun depan).

Beda banget sama camp orientasi AFS di Indonesia yang tegas dan sibuk (tidur aja nggak sempat), camp di sini santai banget! Harus tepat waktu, sih, tapi materinya bener-bener santai. Ikut materi sambil tidur juga hayu, dah. 

Most of the time, kami cuma main UNO. Pas istirahat, main UNO. Sebelum sarapan, main UNO. Sebelum tidur, main UNO (dari jam sembilan malam sampai setengah empat pagi). 

Kalau ditanya: bosen nggak main UNO selama itu?

Jawabannya: KAGA!

Lewat UNO, aku jadi deket banget sama temen-temen exchange students dan temen-temen Jerman yang bakal berangkat tahun depan. Pas awal-awal main UNO... iya, sih, agak canggung. Tapi setelah itu? GILA. Kami saling ketawa dan ngehina satu sama lain (bercanda) dengan kalimat-kalimat kayak face it bitch!, revenge is sweet, dan halt die Klappe! (shut up). 

OH IYA, KAMI JUGA MAIN GAME BUNUH-BUNUHAN. 

Game ini berlangsung dari camp dimulai sampai camp berakhir. Jadi, di awal camp, masing-masing dari kami ngambil dua buah kertas undian. Kertas pertama isinya nama orang yang harus kita bunuh, kertas kedua isinya cara kita ngebunuh mereka. Kalau kita udah berhasil ngebunuh orang ini, kita bakal dapat kertas yang orang itu dapetin (kita harus ngebunuh orang lain yang harusnya dibunuh oleh orang yang kita bunuh) (ribet, ah).

Dua kertas pertamaku tulisannya 'Malin' (orang yang harus kubunuh) dan 'ngebuat dia nundukin badan' (cara aku ngebunuh dia). Ngomog-ngomong, Malin ini orang Jerman yang bakal berangkat ke Chile tahun depan.

Jujur, untuk ngebunuh Malin, rasanya susaaaaah banget. Iyalah, gimana caranya ngebuat orang yang nggak kita kenal nunduk, coba?

TAPI AKHIRNYA AKU NEMU CARANYA!

Sebelum makan malam, secara nggak sengaja, aku ngelihat Malin nundukin badan untuk ngiket rambutnya. 

Nah, setelah makan malam, aku duduk di samping dia dan ngajak dia ngobrol, "Malin, aku suka rambut kamu. Bagus, deh."

Dia jawab, "Makasih."

"Tapi ngiketnya kok kelihatan ribet, ya? Caranya gimana, sih? Kasih lihat, dong."

"Oh, gampang," kata dia. "Jadi..."

TERUS DIA BERDIRI, NGURAI RAMBUTNYA, NUNDUKIN BADAN, TERUS NGIKET RAMBUTNYA LAGI. 

(( NUNDUKIN BADAN ))

HAHAHAHAHAHA KAMU TERMAKAN TRIKKU, MALIN!

Terus, aku ngasih lihat dia kartuku dan aku ngasih tahu dia kalau dia udah mati. Dia kelihatan nggak percaya dan agak kesel gitu, sih, tapi akhirnya dia ketawa dan nyerahin dua kartunya dia ke aku. Tulisannya 'Valcav' (orang yang harus aku bunuh sekarang) dan 'berfilosofi tentang kemiskinan' (cara aku ngebunuh Valcav).

Sebenarnya ini gampang banget, sih. Tapi aku kesusahan nyari siapa itu Valcav. Aku udah ngelihat name tag semua orang, tapi nggak ada tuh, yang namanya Valcav.

EH TERNYATA VALCAV ITU NAMA ASLINYA VAŠEK (exchange student dari Republik Ceko).

Begitu aku tahu kalau Vašek itu Valcav, aku langsung 'beraksi'.

"Hai, Vašek," kata aku sambil sarapan (aku sengaja nyari tempat duduk di dekat dia). "Kamu dari Ceko, kan?"

Dia cuma ngangguk. "Hmm."

"Aku boleh nanya, nggak? Ceko itu negara miskin atau negara kaya?"

Dia kelihatan bingung. "Nggak tahu."

Habis itu, aku diem dan mikir untuk ngebunuh dia nanti, pas mood-nya dia baik untuk diajak ngobrol. Tapi untungnya, Kodee (exchange student dari USA yang juga duduk di dekat kami) jadi ikut nanya-nanya tentang kemiskinan ke Vašek. Akhirnya aku nimbrung, deh, "Menurutku, kemiskinan dan kekayaan itu kayak roda yang berputar. Kadang-kadang kita miskin, kadang-kadang kita kaya. Kamu setuju, nggak, Vašek?"

"Setuju."

HAHAHAHAHAHAHAHAHA.

Akhirnya, setelah itu, aku ngasih lihat kartuku ke dia sekaligus ngasih tahu dia kalau dia udah mati. Vašek kelihatan jengkel banget (apalagi pas Kodee ngomong ke dia, 'you duck!'), tapi dia ketawa juga, sih. 

Setelah itu, dia ngasih dua kartunya ke aku. Tulisannya 'Ezequiel' (orang yang harus aku bunuh) dan 'ngasih dia segelas air penuh, dan dia minum sampai habis' (cara aku ngebunuh Eze). 

Sebenernya ini nggak sesusah ngebunuh Malin, sih, soalnya aku kenal Eze (exchange student dari Argentina). Yang susah adalah ngasih dia air minum dan maksa dia untuk minum sampai habis. 

TAPI AKHIRNYA AKU NEMU CARANYA!

Kebetulan, aku, Eze, Kodee, Naomi (exchange student dari Argentina), dan Arnar (exchange student dari Islandia) kebagian tugas masak makan siang sama-sama. Nah, pas kami lagi masak, aku nanya ke orang-orang, "Ada yang mau minum, nggak?"

Eh yang jawab cuma Arnar, "Aku mau." 

E SIAL.

Ya udah, deh, akhirnya aku nanya sendiri ke Eze, "Eze, kamu mau minum, nggak?"

Sambil tetap motong paprika, dia ngomong dengan cuek, "Boleh, deh."

HAHAHAHAHAHAHA *ketawa dalam hati* "Apa?"

"Air mineral aja."

Akhirnya aku ngambil tiga gelas minuman. Untuk aku, untuk Arnar, dan untuk Eze.

Arnar, sih, langsung lanjut motong-motong tomat setelah minum setengah gelas. Tapi Eze? Eze nanya ke aku dulu sebelum minum, "Ran, kamu nggak berusaha ngebunuh aku, kan?"

Aku otomatis bohong, dong. "Nggak, kok. Kalau untuk ngebunuh kamu, ngapain aku bawain Arnar minuman juga?"

"Oke, deh."

EH TERUS EZE MINUM. 

SEGELAS-GELASNYA.

Aku ngakak kenceng banget, ngasih lihat dia kartuku, terus ngasih tahu dia kalau dia udah mati. Dia ketawa, sih, tapi kelihatan jengkel banget soalnya dia udah ngeduga kalau aku mau bunuh dia (tapi tetap aja dia mati). "Scheiße!" (shit!).

Aku tetap ngakak. "Tut mir leid, Eze. Tapi kamu harus ngasih aku kartumu...."

Akhirnya Eze ngasih aku dua kartunya. Tulisannya 'Oskar' (orang yang harus kubunuh) dan 'ngasih high-five' (cara aku ngebunuh Oskar)

Ah, ini sih gampang banget! Saking gampangnya, aku langsung ngebunuh Oskar setelah ngebunuh Eze (ngomong-ngomong, Oskar itu salah satu panitia camp). Caranya? Pas Oskar lagi ngebagiin cokelat ke Kodee dan Naomi, aku ngomong, "Aku juga mau, dong."

"Nih," kata Oskar sambil ngasih sepotong.

Aku nanya, "Oskar, kamu suka cokelat?" 

"Suka."

"SAMA! AKU JUGA SUKA BANGET!" kataku sambil nyodorin tangan, ngajak high five. 

Dia kelihatan bingung gitu, tapi tetep aja ngebales. HAHAHAHAHAHA.

Eh tapi, sebelum aku ngasih tahu dia kalau dia udah mati, dia sadar duluan. Dia langsung nepuk dahinya sambil teriak, "Scheiße, kamu bunuh aku, ya?!"

Aku ketawa. "Iya."

Dia langsung ngasih aku dua kartunya. Tulisannya adalah 'Kodee' (orang yang harus kubunuh) dan 'bikin dia nyanyi bareng sama kamu' (cara aku ngebunuh Kodee). 

Tadinya, aku mikir kalau ngebunuh Kodee itu bakal gampang banget. Kenapa? Karena (1) aku deket sama Kodee, dan (2) dia itu tipe orang yang selalu nyanyi random. 

Tapi ternyata, Kodee itu targetku yang paling susah dibunuh! Lewat Clara (host sister-ku yang kebetulan juga panitia camp), aku tahu kalau Oskar berusaha ngebunuh Kodee kemarin, tapi gagal--jadi Kodee udah tahu kalau dia bakal mati kalau dia nyanyi--jadi Kodee udah bertekad dia nggak akan nyanyi sampai camp selesai. 

Tapi, walaupun susah, aku nggak nyerah, dong. Ini dia usaha-usahaku:
1) Selalu nyanyi sendiri pas Kodee ada di deketku (aku jadi kelihatan bego banget).

2) Muter lagu Viva La Vida pas kami lagi masak makan siang (tapi, sialnya, yang ikut nyanyi malah Arnar). Kenapa aku milih lagu Viva La Vida? Karena ceria dan kayaknya semua orang tahu lagu ini, deh.

3) Ngajak Kodee untuk nyindir Arnar pakai lagu alfabet (Arnar nggak terlalu jago mengeja). Tapi yang nyanyi akhirnya cuma aku. Kesel, ah.

4) Ngasih tahu Kodee kalau Benneth (anak Jerman yang bakal berangkat ke Kosta Rika tahun depan) mirip sama Cody Simpson, penyanyi asal Australia. Setelah itu kami ngobrol banyak tentang Cody Simpson, tapi sayangnya, Kodee nggak tahu satu pun lagu Cody Simpson. Sudahlah. 

TAPI AKHIRNYA USAHAKU NGGAK SIA-SIA.

Sebelum makan malam, kami dapat tugas dari panitia camp untuk ngegambar host family. Kami dikasih waktu kurang lebih satu jam, jadi kami santai. Kami ngegambarnya sambil bercanda, ngobrol, dan ngedengerin lagu (Oskar muter lagu pakai handphone-nya).

Nah. Pas aku lagi ngegambar, tiba-tiba aku denger Kodee (dia duduk di belakangku) nyanyi! Dia ngikutin lagu dari handphone-nya Oskar (A Thousand Years, Christina Perri)! 

Asli, pas denger Kodee nyanyi, aku ngerasa lega banget! AKHIRNYA, SETELAH PERJUANGAN PANJANG, ADA HASILNYA JUGA! HAHAHAHAHAHAHA!

Akhirnya, demi ngebunuh Kodee, aku ikut nyanyi, deh. Trio bareng Kodee dan Christina Perri.

"I have died everyday, waiting for you
Darling, don't be afraid, I have loved you for a thousand years
I'll love you for a thousand more"

Dan setelah lagu selesai... aku ngasih tahu Kodee kalau dia udah mati. Dia kesel banget, sih, soalnya udah dua hari dia nahan diri untuk nggak nyanyi, tapi akhirnya gagal. Tapi dia tetap ikhlas, kok. Dia  tetap mau ngasih dua kartunya dengan tulisan: 'Julia' (orang yang harus aku bunuh), dan 'ngajak dia duel tenis meja' (cara aku ngebunuh Julia).

Menurut Kodee, untuk ngebunuh Julia itu susah banget karena (1) Julia itu pendiem, (2) Julia nggak dekat sama anak exchange students (ngomong-ngomong, Julia ini anak Jerman yang bakal berangkat ke Norwegia tahun depan).

Tapi, menurutku, Julia itu target yang paling gampang dibunuh. Kenapa? Karena, sebelum makan siang, aku udah ngajak dia main tenis meja. Tinggal ajak lagi, deh, terus dia mati!

Dan... ya. That is what I did. Akhirnya Julia mati, terus dia ngasih aku dua kartu dengan tulisan: 'Khaleb' (orang yang harus kubunuh) dan 'minta dia bikinin secangkir teh' (cara aku ngebunuh Khaleb).

Ah, ini sih gampang! Aku lumayan deket sama Khaleb (exchange student dari Colombia), dan Khaleb selalu bikin teh setiap waktu makan.

EH TAPI...

Pas lagi makan malam, aku sengaja duduk di sebelah Khaleb dan ngajak dia ngobrol. Tapi... 

Khaleb ngeluarin dua kartu dari dalam saku celananya. "Nih."

Aku kaget setengah mampus. "Hah? Aku mati?"

"Nggak."

Huh... lega.... "Terus kenapa kamu ngasih aku kartu kamu?"

"Kamu udah ngebunuh banyak orang. Kamu mau, nggak, ngebunuhin dia untuk aku?" 

"Emangnya siapa dan gimana cara ngebunuhnya?"

"Thor-Can," kata Khaleb. Terus dia ngejelasin sesuatu tentang sepatu (tapi aku nggak terlalu ngerti. Yang aku tangkap, aku harus ngebunuh Thor-Can dengan cara minta dia untuk ngebawain aku sepatuku).

"Ini sih, susah banget," kataku. Thor-Can itu anak Jerman yang bakal berangkat ke USA tahun depan, dan dia selalu sama gengnya sendiri. Nggak pernah main UNO atau pun ngobrol bareng. Lagipula kami nggak pernah keluar rumah (jadi kami nggak pernah pakai sepatu) (tapi aku pakai sepatu rumah, sih). 

Gimana caranya, coba, minta dia ngebawain sepatuku?

"Gimana? Mau, nggak?" tanya Khaleb. 

"Nggak, ah, susah banget," kataku. 

Setelah itu, aku sama Khaleb misah. Dia main UNO bareng temen-temen exchange students, aku ngobrol bareng temen-temen dari Jerman (di situ ada host sister-ku juga).

Nah, pas lagi ngobrol, TIBA-TIBA THOR-CAN DATENG, NGGABUNG, DAN DUDUK DI SAMPINGKU!

KESEMPATAN BAGUS, NIH!

Tapi gimana, ya, caranya?

.
.
.
.

Aha!

Jadi, pertama-tama, aku pura-pura kepanasan (padahal, asli, itu dingin banget). Terus aku ngebuka sepatu rumahku dan ninggalin sepatu itu beberapa senti dari Thor-Can. Terus aku ngambil minuman dingin di dapur sambil nyeker (siksaan banget, deh, jalan nyeker di atas lantai dingin). Terus aku gabung lagi ke mereka, tapi pindah tempat duduk (sejauh mungkin dari Thor-Can). Terus aku pura-pura nyimak pembicaraan. Terus, pas kami udah mulai kehabisan topik, aku ngomong sekeras mungkin, "Ich muss auf Klo." (aku harus ke toilet).

Host sister-ku ngomong, "Oke."

Terus aku jalan beberapa langkah. Terus, pas udah agak jauh, aku noleh ke belakang dan teriak, "Eh, aku lupa sepatuku! Kamu (sambil nunjuk Thor-Can), tolong lemparin sepatuku, dong!"

EH THOR-CAN KELIHATAN BINGUNG DAN AGAK CURIGA GITU. KAYAKNYA DIA TAHU, DEH, KALAU AKU PENGIN NGEBUNUH DIA (reputasiku sebagai pembunuh waktu itu udah terkenal, guys) (hehehe).

Akhirnya, supaya Thor-Can nggak curiga, aku nambahin, "....atau kamu, deh. Tolong." (sambil nunjuk Jannes yang duduk di sebelah Thor-Can).

Tadinya aku takut kalau Jannes yang bakal ngelemparin sepatuku. Tapi akhirnya... THOR-CAN DID THAT!

HAHAHAHAHAHAHAHA.

Aku nyengir. Sambil makai sepatuku, aku ngomong, "Thor-Can, tut mir leid, du bist tot." (Thor-Can, sorry ya, kamu mati).

Setelah itu, semua orang di ruangan itu langsung ber-'woooooow' dan tepuk tangan. Cerita tentang aku ngebunuh Thor-Can langsung terkenal. Orang-orang mulai ngewawancarain aku: Rani, kamu ngerencanain ini sendirian? Kamu emang selalu tenang sebelum ngebunuh orang? Kok kamu bisa, sih, ngebunuh banyak orang? Aku takut, deh, ngomong sama kamu. Blablablabla?

Host sister-ku bahkan sampai nepuk-nepuk pundakku dan ngomong, "Rani, aku bangga sama kamu." 

Nah, di tengah hiruk-pikuk setelah aku ngebunuh Thor-Can, Thor-Can ngajak aku ngomong di ruangan lain, "Ran, kartuku udah hilang. Tapi aku masih inget: kamu harus ngebunuh 'Merle' dengan cara 'minta dia ngebukain kamu toples selai'."

Merle itu anak Jerman yang tahun depan bakal berangkat ke USA.

Aku melongo. "Gampang banget!"

"Iya, gampang!" kata Thor-Can. "Makanya, bunuh dia, ya!"

"Oke."

Tapi, setelah Thor-Can keluar dari ruangan, tiba-tiba Khaleb masuk dan ngajak aku ngobrol berdua. Dia ngomong, "Ran, kamu kan udah ngebunuh Thor-Can untuk aku. Berarti kamu harus ngebunuh dua orang, dong, sekarang? Boleh nggak, aku minta satu nama?"

"...."

Nah. 

The problem started there. 

Jadi, setelah ngebunuh Thor-Can, aku harus ngebunuh dua orang: Merle dan Khaleb. Tapi karena  aku ngebunuh Thor-Can untuk Khaleb, berarti aku harus ngasih satu dari dua orang itu ke Khaleb--tapi aku nggak bisa ngasih Khaleb ke Khaleb. Masa dia ngebunuh dirinya sendiri?

Tapi kalau aku ngasih Merle ke Khaleb, Thor-Can bakal tahu kalau aku ngebunuh dia untuk Khaleb.

Ngerti, nggak?

Kagak?

Ya udah.

Akhirnya, aku ngasih nama Merle ke Khaleb. Jadi aku masih harus ngebunuh Khaleb, Khaleb harus ngebunuh Merle, dan, kayaknya, Merle harus ngebunuh aku. Soalnya tinggal kami bertiga yang masih hidup (kalau nggak salah).

Setelah itu, aku dapet tekanan batin (apa, sih). Thor-Can selalu maksa aku untuk ngebunuh Merle secepet mungkin. Dia bahkan ngambilin aku toples selai yang masih baru dari dapur pas sarapan besoknya.

Aku nanya ke Thor-Can, "Kenapa, sih, kamu pengin banget aku ngebunuh Merle?"

"Supaya kamu menang! Ayo, kamu harus menang! Lagipula ngebunuh Merle kan gampang!"

Iya, sih, gampang.

Tapi ngebunuh Merle bukan tugasku....

.
.

Singkat cerita, setelah itu, aku nggak ngebunuh siapa-siapa. Tekanan batin, coy! (pesan moral dari cerita ini: udahlah, nggak usah ngurusin tugas orang lain. Urusin aja tugas sendiri kalau nggak mau ribet).

Comments

  1. Replies
    1. Moral of the story-nya sih lu pada musti hati-hati sama Rani. Macem Natasha Romanova/Black Widow syar'i gini.

      Delete
  2. Postingan ini resmi jadi favoritku di blog ini. Pertama, karena insiden ngomong bahasa indonesia yang bikin aku ngakak (beneran, sumpah). Kedua, karena permainan bunuh-bunuhan yang seru banget seolah aku beneran ngalamin😂 Tapi ku juga penasaran sih, akhirnya yg menang siapa yah?

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Contact Me

About Me: The New Version

#1 Proses Novel "Inikah Rasanya Cinta"