Cerita SNMPTN, SBMPTN, dan UM SIMAK

Cerita SNMPTN, SBMPTN, dan UM
My story
Btw, cerita ini ditulis dari sudut pandang anak tahun terakhir SMA yang udah menyiapkan SBMPTN dan UM universitas dari awal banget (bukan cuma sebulan atau dua bulan). 

.

Halo. Na, wie geht’s?

Akhirnya, setelah berbulan-bulan HIATUS karena kesibukan tahun terakhir SMA, I am back dengan postingan ini—postingan yang nyeritain perjuanganku ngejalanin SNMPTN, SBMPTN, dan UM, sampai akhirnya aku dapet universitas yang—perhapssuits me the most.

Oke. Let’s just get started.

.

Sebelumnya, let me introduce myself. Aku Rani, domisili Kota Kembang, dan baru aja lulus SMA tanggal 2 Mei 2018 kemarin. Fyi, aku ngejalanin SMA selama empat tahun karena sempat jadi pelajar pertukaran di Jerman lewat program AFS (selama setahun).

Jadi gini...

Seminggu setelah pulang dari Jerman (baru lima hari di Bandung), aku langsung masuk sekolah. Yes, nggak ada libur. Aku terpaksa langsung beradaptasi dengan ritme tahun terakhir SMA. Sebenarnya agak berat, karena even my body belum bisa adaptasi sepenuhnya (kulit kering, tubuh suka tiba-tiba meriang), but I had no choice.

Waktu itu, sehari sebelum masuk sekolah, aku langsung pasang target: Tahun. Depan. Harus. Kuliah.

Titik.

Bukannya aku gak respect sama orang-orang yang milih untuk gap year atau langsung kerja (atau nikah). Aku pengin langsung kuliah karena aku… well, pengin aja. Wkwk.

Lanjut.

Untuk mencapai target itu, langkah pertamaku adalah MILIH TEMPAT LES.



Jujur, dalam memilih tempat les, aku bingung banget. Aku dilema antara dua pilihan: tempat les bernuansa merah yang udah terkenal se-Indonesia (kalian pasti tahu, lah) ATAU tempat les bernuansa kuning hijau yang baru terkenal di Bandung. Aku sempat pengin milih tempat les bernuansa pink keunguan juga, sih, tapi nggak, deh. Kayaknya sibuk banget.

Berikut adalah plus minus keduanya:

Les ”Merah”
(+) Pas kelas 1 SMA, aku sempat les di sana (walaupun lesnya gak serius, sih). Jadi, aku punya kartu anggota yang memungkinkan aku untuk dapat diskon. Wkwk.
(+) Secara keseluruhan, biayanya lebih murah dari tempat les kuning hijau.
(+) Temen-temenku (yang udah lulus SMA) banyak yang les di sini, dan mereka keterima di universitas-universitas sekelas UNPAD dan ITB lewat jalur SNMPTN.
(-) Letaknya nggak terlalu dekat dari kosanku (yes, aku ngekos pas SMA).
(-) Aku udah coba ngobrol sama Teteh Resepsionisnya, tapi aku nggak merasa ”teryakinkan” untuk les di sana.

Les ”Kuning Hijau”
(+) Letaknya pas di samping kosku. Enak, lah.
(+) Aku udah denger dari banyak orang kalau guru-guru yang ngajar di tempat les ini itu enakeun.
(+) Bebas jam tutorial. Jadi, kalau aku ada PR atau ulangan mendadak, aku bisa langsung caw ke sini dan belajar sampai maghrib tanpa perlu bikin janji dulu dengan gurunya (guru-guru udah stand by).
(+) Persentase siswa-siswinya yang keterima di universitas-universitas asoy lewat SBMPTN besar banget.
(-) Harganya lebih mahal dibanding tempat les merah.

Oke. Itu dia sekilas review-nya.

Setelah bikin tabel perbandingan di atas, aku konsultasi lagi dengan beberapa temen. Temen kosan, temen yang udah lulus SMA, dan temen lainnya. Lalu, setelah seminggu galau pengin les di mana, akhirnya temenku (namanya Zahra, sekarang di FTI ITB) berhasil ngeyakinin aku untuk les di… kuning  hijau.

Haha. Temenku yang satu ini emang persuasif banget, sih (peace, Zah).

Lanjut.

Setelah milih tempat les, kegalauanku nggak berhenti sampai di situ. Aku bingung lagi: pengin kuliah apa dan jurusan apa?

Sebenarnya, pertanyaan itu emang nggak terlalu penting, sih, untuk dipikirin pas baru masuk kelas tiga SMA. Tapi, aku ngerasa kalau belajarku itu nggak ”komplit” kalau aku nggak punya tujuan. That was why aku bersikeras untuk milih universitas dan fakultas apa sejak awal.

Kalau ditilik dari pelajaran-pelajaran kesukaan, aku cuma suka Biologi, sedikit Matematika, dan sedikit Kimia (yes, aku anak program IPA). Maka dari itu, aku udah SAY NO dari awal ke jurusan-jurusan yang ”Fisika banget”, seperti FMIPA Fisika atau Fakultas Teknik.

Setelah menimbang-nimbang, akhirnya aku milih FK atau FKG. Universitasnya, sih, antara UNPAD atau UGM.

Eits, bentar. Sebenarnya, selain FK dan FKG, ada satu fakultas yang udah aku pengenin dari zaman SMP. Fakultas itu adalah Sekolah Bisnis Manajemen (SBM) di Institut Teknologi Bandung (ITB).

Nah. Masalahnya, fakultas itu adalah fakultas IPS dan berbasis ”ekonomi” gitu, deh. Padahal aku anak IPA, dan pas aku belajar Ekonomi (Lintas Minat kelas 10), jujur aja aku nggak kuat. Susah banget, coy.

Mending gue ngerjain Fisika sambil lari keliling lapangan, dah.

Tapi, kalau aku emang bener-bener mau SBM ITB, kenapa aku takut duluan? Kenapa aku nggak mau struggling dulu? Kenapa aku nggak mau nyoba? Gimana kalau akhirnya aku nyesel? Sumpah, dari semua perasaan, aku paling nggak suka perasaan nyesel. Suer.

Berbekal pemikiran itu, akhirnya aku mantap pengin ikut SBMPTN IPA sekaligus IPS, alias IPC. Pas aku ngasih tahu rencanaku tentang IPC itu ke orang-orang terdekat, respons mereka beragam. Kebanyakan, sih, respons negatif.

”UDAH GILA YA KAMU, RAN.”

”FK, FKG, dan SBM ITB tuh passing grade-nya sama-sama tinggi, tjoy.”

”Iya, Ran, gak apa-apa. Pilih aja IPC, tapi jangan ajak aku, ya. Aku masih belum mau gila.”




Jujur, semua respons negatif itu emang bikin aku mikirin ulang keputusanku untuk ikut SBMPTN IPC. Tapi, aku—entah kenapa—nggak takut. Aku justru mikir gini: ”Kalau aku IPC, kesempatanku untuk lulus SBMPTN bisa jadi lebih besar.”

Kenapa?

Karena kalau aku gagal di ujian IPA, at least aku masih punya kesempatan di ujian IPS (atau sebaliknya) (gini, nih, pemikiran orang-orang yang mencari pembenaran).



Akhirnya, aku beneran mantap ikut SBMPTN IPC.

Eits. Tapi, walaupun udah jelas aku pengin universitas dan fakultas apa, aku tetap galau. Di tempat les kuning hijau, aku gabung di kelas IPA. Kalau aku mau ikut kelas IPS, aku harus sepenuhnya pindah ATAU bayar lagi (ikut dua-duanya).

Kalau harus sepenuhnya pindah ke kelas IPS, jujur aku nggak bisa. Aku butuh kelas IPA untuk persiapan UN. Lagi pula, pilihan SBMPTN-ku kan ada IPA-nya. Yakali kagak les.

Tapi, kalau harus bayar lagi (dan ikut dua-duanya), aku ngerasa sayang duit dan sayang waktu. Mamaku sebenarnya ngedukung banget rencanaku untuk bayar lagi demi les IPS, tapi aku nggak tega.

Akhirnya, aku ngambil keputusan secara sepihak (tanpa diskusi dengan siapa pun): aku bakal belajar IPA dari tempat les kuning hijau, dan belajar IPS dari zenius.net (Zenius) doang (btw gue nggak dibayar, lho, mengiklankan zenius.net di sini).

Sebelum beli Zenius, aku juga sempat galau karena masalah uang (klasik banget, yak). Aku nggak mau minta uang lagi ke orangtuaku because I thought they already had spent a lot on me. Akhirnya, aku beli zenius.net (paket setahun) pake uang tabunganku. Empat ratus ribu lebih, tjoy.

Kalau ditilik dari saku anak SMA, mahal lho itu.

Tapi, demi ilmu, aku rela (ALAH).


Lanjut.

Setelah semua kerempongan itu, barulah aku bener-bener tenang belajar.


.


Selama tahun terakhir SMA, aku bener-bener belajar. Pagi sampai sore di sekolah, sore sampai maghrib di tempat les, dan malamnya aku belajar IPS dari Zenius. Aku main juga, sih, tapi kalau bener-bener lagi suntuk atau weekend aja. Sebagian besar waktu weekend-ku pun kuisi dengan belajar IPS.

Untungnya, aku nggak stres. Entah karena I already had the worse, karena emang udah terbiasa dengan ritme hidup yang padat kayak gitu, atau karena my support system emang jempolan. Aku rutin komunikasi dengan pejuang SBMPTN lainnya, sih, seperti sepupuku dan sahabat-sahabat AFS-ku.

Mantap, lah.

.

Di tempat les kuning hijau, aku berkali-kali ikut try out. Try out awalku cuma 20 persenan, tapi lama-lama meningkat. Sempat turun juga, sih, setelah libur tahun baru, tapi yaudalaya.

Aku sempat stres setelah ikut try out dari ITB, sih. Uedan ini soal apa gorengan basi? Bikin enek banget????! Tapi, lama-lama, aku jadi lupa sama hasil try out itu, sih. Yaudalaya.

.

Nggak terasa, pendaftaran SNMPTN (jalur undangan) pun dibuka. Kalau nggak salah, sih, bulan Februari awal.

Perlu diketahui, untuk SNMPTN tahun 2018, tiap sekolah berakreditasi A hanya punya kuota lima puluh persen dari total siswa. Artinya, hanya setengah populasi kelas tiga SMA yang boleh daftar SNMPTN.

Setelah melalui drama (ada yang sampai nangis karena gak masuk kuota) di Laboratorium Fisika, alhamdulillah aku dapat kabar kalau aku masuk kuota.

Hft lega.

Daftarlah aku di SNMPTN itu. Pilihanku ada dua, tapi kayaknya lebih baik kalau aku ngasih tahu kalian pilihan pertamaku aja: SBM ITB (aku nggak mau ngasih tahu pilihan duaku karena… gimana, ya… takut ada yang tersinggung).  

Kenapa aku milih SBM ITB? Ini alasannya:

  1.  Pilihan satu di SBMPTN-ku ya itu.
  2. Sekolahku punya track record yang lumayan bagus.
  3. Sertifikat-sertifikatku kayaknya mendukung… kayaknya.
  4. Rankingku nggak bagus-bagus banget, tapi ya bisa, lah.
  5. Banyak yang ngeyakinin aku (termasuk guru lesku) kalau aku bisa.
  6. Udah, sih. Itu aja. Tong loba-loba teuing, ah. Malu.

Aku inget banget: aku finalisasi pendaftaran SNMPTN itu pas di hari ulang tahunku.


Setelah sempat sibuk ngurusin pendaftaran SNMPTN, aku fokus lagi sama SBMPTN, ujian praktik, dan UAS yang kebetulan lagi dijadwalin.

Oh iya, aku juga ikutan PPKB UI (jalur undangan UI untuk kelas paralel). Pendaftarannya juga bulan Februari, sama kayak SNMPTN. Sebenarnya aku agak ragu, sih, pengin daftar PPKB atau nggak. Alasannya, sih, karena nggak ada fakultas dan jurusan yang kumau. Tapi, akhirnya, aku memutuskan untuk daftar aja. Setiap kesempatan perlu dimanfaatin dengan baik, right?

.

Pengumuman SNMPTN jatuh pada bulan April (aku lupa tanggal berapa). Waktu itu, UN dan UAS baru aja selesai, jadi kami semua baru mulai fokus nyiapin SBMPTN. Hectic parah, sih, soalnya jeda antara UN dan SBMPTN itu cuma tiga minggu. 

Tiga minggu, coy.

Untungnya, aku udah mengantisipasi ke-hectic-an ini dengan belajar dari awal kelas tiga. Kalau baru nyiapin sejak waktu itu, sumpah aku gak bisa. Panik. Gak bakal konsentrasi. 

Oke, lanjut.

Sehari sebelum pengumuman SNMPTN, tempat les kuning hijau udah mulai program intensif SBMPTN. Fyi, menurut desas-desus yang beredar (PAANSI), program intensif tahun 2018 ini adalah intensif yang paling PARAH. Bayangin aja, kami belajar mulai dari jam tujuh pagi sampai lima sore, terus lanjut belajar mandiri sampai jam sembilan malam (di tempat les). Istirahatnya jarang dan cepet banget!

Itu pun baru IPA :)

IPS gue apa kabar :)

Maka dari itu, setelah sehari ngejalanin program intensif (sehari sebelum pengumuman SNMPTN), aku berharap banget lulus SNMPTN (undangan). Intensif SBMPTN rasanya capek banget, parah. Rasa-rasanya aku gak kuat ikut intensif lagi. 

M a l e s  b a n g e t. 

.

Tapi, apa daya, besoknya aku ditolak SNMPTN. 



Fyi, aku ngebuka pengumuman SNMPTN sendirian di dalam kamar kos, tepat pas adzan Maghrib. Bersamaan dengan itu, Mama dan Bapak-ku di Sulawesi nelepon, berusaha ngehibur. "Nggak apa-apa. Masih ada SBMPTN. Nggak usah sakit hati."

Well, kalau harus jujur, aku emang sakit hati. Sertifikatku lengkap, nilaiku lumayan, menurut prediksi aku bisa lulus, dan 2/3 sertifikatku keluaran Jerman, tapi aku masih ketolak? 

Y x? 

Tapi, sakit hatinya cuma bertahan sepuluh menit.

Setelah itu, aku TAKUT. 

Fyi, aku orangnya pemberani (asal nggak berhubungan dengan hal-hal gaib). I left my house at 15. I live alone in a city where I know nobody (aku nggak punya kenalan sama sekali di Bandung). Dan lain-lain. Tapi, baru kali itu aku benar-benar takut, sampai ndredek. Ini alasannya:

  1. Aku udah nggak pernah nyentuh IPS. Terakhir bulan Februari, itu pun cuma dari Zenius. Itu pun cuma konsep, sementara latihan soalnya nggak pernah kukerjain. Apa kabar IPC-ku? Apa kabar SBM ITB-ku? Apa kabar masa depan w yang kayaknya suram?
  2. Fisika dan Matematika IPA. Well, aku emang belajar terus selama setahun terakhir SMA ini. Tapi, bukan belajar Fisika dan definitely bukan Matematika IPA. 
  3. Aku ngerasa sendirian.


Poin ketiga itu poin yang paling penting, sih. Sumpah, malam itu, aku ngerasa sangat sendirian. Kayak nggak punya apa-apa dan siapa-siapa. Aku punya beberapa nomor 911 (alias my best friends), tapi malam itu, mereka nggak bisa dihubungi. They have their own world

Akhirnya, malam itu, aku cuma baring di kasur, berusaha tidur, dan berusaha mikirin langkah selanjutnya.

Gagal. 

Aku bingung: should I continue my struggle untuk ngambil IPC? Atau sebaiknya aku fokus IPA aja? Atau sekalian pindah IPS, mengingat aku lagi takut-takutnya dengan Fisika?

Jam tiga pagi, aku masih melek. Jantungku rasanya mau copot sementara perutku mual, mungkin gara-gara stres. Akhirnya, aku nelepon Mama selama tiga jam (sampai matahari terbit). Telepon itu baru ditutup pas Mama terpaksa kerja, dan intensif SBMPTN-ku udah mau dimulai. 

Yes, aku nggak tidur sama sekali malam itu. 


.

Aku berangkat intensif SBMPTN dengan lesu, jantung mau copot, dan perut masih mual. Pelajaran pertama adalah Fisika. Pas belajar itu, sumpah aku nggak fokus. Pikiranku cuma satu: "Ah, ini mah fix gagal. Aku nggak bakal bisa SBMPTN."

Untungnya, pas jam istirahat, aku ngobrol sama dua orang temen yang juga ketolak SNMPTN. Nama mereka Yuli dan Inne (nama disamarkan). Ya ampun, ngobrol dengan mereka itu bikin semangatku balik lagi, suer. Berikut ini adalah beberapa kalimat penyemangat yang mereka kasih:

Yuli (dia juga mau IPC demi SBM ITB, btw): "Ayo, Ran, kita sama-sama berjuang. Aku tahu jadwal les IPA kita padat banget, tapi kita bisa belajar IPS bareng sampai jam sepuluh atau sebelas malam.  Kamu nggak sendirian pusingnya. Kalau kita belajarnya sama-sama, nggak bakal kerasa."

Inne: "Ran, kamu nggak perlu belajar semuanya. Apalagi kamu IPC. Pilih aja beberapa materi yang kamu suka dan dalamin materinya. Kalau kamu gak suka Fisika, ya udah dalamin Kimia atau Biologi. IPS-nya juga pilih aja dua antara Sosiologi, Ekonomi, Sejarah, atau Geografi."

Inne (lagi): "Aku aja cuma IPA, tapi nggak mau belajar semuanya."

Bener juga. 

Setelah ngobrol dengan mereka, secara ajaib, aku bangkit lagi. Cuma butuh sepuluh menit, tjoy. Pelajaran selanjutnya, Kimia, kuikutin dengan serius. Apalagi setelah aku sadar kalau temen sebelahku, namanya Rizky (nama disamarkan), juga ketolak SNMPTN padahal dia pinter banget. 

LHA RIZKY AJA KETOLAK APALAGI AING BUBUK KETIAK.



Berbekal itu, akhirnya intensif pun kujalanin dengan serius. Aku nggak pernah bolos, walaupun lesnya bener-bener dari jam tujuh pagi sampai sembilan malam (IPA). Kadang-kadang, aku, Yuli, dan pejuang IPC lainnya pada ngumpul sampai jam sepuluh atau sebelas untuk ngerjain soal IPS. Kalau nggak ngumpul, aku buka Zenius dan belajar sendiri sampai tengah malam. 

Parah, dah. 

.

Setelah seminggu intensif berlangsung, aku mulai bosen les. Aku emang masih semangat belajar, tapi aku juga ngerasa jenuh. Maka dari itu, aku mulai berharap sama PPKB UI (padahal, sebelumnya, aku cuek bebek sama PPKB ini). Well, aku nggak yakin apakah aku bener-bener pengin lulus PPKB UI, sih (karena aku daftar Teknik Industri, padahal Fisika-ku tiarap), tapi seenggaknya, kalau aku lulus, aku bisa berhenti intensif SBMPTN. 

Capek banget, sumpah. 




Tanggal 23 April (aku inget banget, tjoy), jam dua belas siang (pas istirahat intensif), aku buka-buka website PPKB UI. Aku tahu, sih, kalau pengumuman PPKB bakal jatuh pada tanggal 26 April, tapi aku pengin buka aja. Udah gak sabar pengin pengumuman, euy.

E PARAH PENGUMUMANNYA DIMAJUIN, DONG.

DARI TANGGAL 26 JADI TANGGAL 23. 

TANGGAL 23 KAN HARI ITU JUGA.



Aku langsung lemes. Langsung males intensif. Langsung kepikiran. Pengumumannya jam lima sore, tapi aku udah deg-degan dari jam dua belas siang. Doaku pas shalat itu cuma satu: Ya Allah, keluarkanlah aku dari kesengsaraan intensif SBMPTN. 

Tepat jam lima sore, di tempat les kuning hijau, aku dan temen-temenku yang daftar PPKB UI pada ngumpul (termasuk yang udah keterima SNMPTN). Kami duduk menggerombol di meja gitu, terus pada ngecekin pengumuman. 

Yeni, nggak lulus (padahal dia baru aja dapat peringkat satu di try out).

Luisa, nggak lulus juga (padahal dia udah dapat SNMPTN di SAPPK ITB). 

Indah, nggak lulus. 

Anu, nggak lulus. 

PARAH, LAH. 

LHA MEREKA AJA GAK LULUS, APALAGI AKU?!

.

Eh aku beneran gak lulus, dong :) 

Nggak apa-apa, sih. Kekecewaanku gak lulus PPKB UI ini nggak segede kekecewaanku pas ketolak SNMPTN. Selain karena aku lega nggak lulus Teknik Industri (bukan karena TI UI jelek, tapi karena w merasa terlalu bodoh untuk kuliah di sana), aku juga dapat kabar kalau sekolahku (kayaknya) di-blacklist. Ada kakak kelas yang pernah keterima PPKB UI, tapi ditolak. 

Gak tahu, deh, kabar itu bener atau salah. 

Yaudalaya. 

Tapi, walaupun nggak kecewa, bukan berarti aku nggak ngerasain emosi apa pun. Emosiku waktu itu cuma satu: MARAH sama diri sendiri. Apakah w bener-bener goblok? Berarti, karena w ketolak PPKB UI, w langsung meluncur ke SBMPTN, dong?

Hft males.

Berbekal pemikiran itu, akhirnya aku nyoba cari pendaftaran universitas lain (pas istirahat shalat Maghrib, masih tanggal 23 April). 

EH KETEMU. 

PENDAFTARAN UGM JALUR INTERNASIONAL (IUP). 

ADA FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS (YANG W MAU). 

DAN, AJAIBNYA, HARI ITU ADALAH HARI TERAKHIR PENDAFTARAN!!!

Setelah ketemu pengumuman itu, w sempat linglung selama sepuluh menit. Kalau pengumuman PPKB UI nggak dimajuin ke tanggal 23, aku nggak akan bisa daftar IUP UGM ini. Jangan-jangan... aku ditakdirin dapat IUP UGM?

Setelah itu, tanpa banyak cing cong, aku langsung daftar IUP UGM. Buru-buru banget, sih, soalnya pendaftarannya bakal tutup enam jam lagi (padahal aku belum ngurus berkas apa pun). Untungnya, pukul sembilan malam, aku berhasil ngelengkapin semua berkas dan langsung nge-submit aplikasi pendaftaran. Fyi, sebelum nge-submit, w sempat berantem dulu sama Bapak (yang sebenernya kurang setuju w di UGM). 

Hft. Another drama.

.

Tes IUP UGM bakal diadain tanggal 29 (kalau nggak salah), alias tiga hari setelah pendaftaran ditutup. Jujur, aku nggak terlalu ngurusin tes itu, sih. Prinsipku waktu itu: fokus SBMPTN, IUP selingan ae. Nggak usah belajar. 

Nah. Dua hari sebelum tes IUP, barulah aku buka blog orang-orang tentang IUP. Tesnya apa aja, di mana, tips-tipsnya, dan lain-lain. 

Btw, sebagai pelengkap blog ini, berikut adalah tes-tes apa aja yang diujian di tes IUP UGM:
  1. Tes pertama adalah GMST. Jujur, aku nggak tahu kepanjangan GMST apaan (dan terlalu malas untuk nge-google), yang jelas GMST ini semacam TKPA (tes kemampuan dasar) gitu, deh. Ada Bahasa Inggris, Figural, Matematika, dan Verbal. Yang jelas, sih, semuanya pakai Bahasa Inggris. 
  2. Setelah GMST, ada tes Bahasa Inggris (EPT, alias English Proficiency Test yang langsung diadain sama UGM sendiri). Tapi, kalau kamu punya TOEFL atau IELTS yang nilainya mencukupi, you don't have to take part in this test. 
  3. Kalau kamu dinyatakan lulus GMST dan EPT, kamu bakal ikut wawancara dan LGD (diskusi kelompok) (hari kedua). Pada dasarnya, pas ujian kelompok, kamu bakal dikasih case yang harus diselesain perkelompok. 
Setelah aku paham mekanisme tesnya, aku coba searching contoh soal GMST dan EPT. 

GILA SUSAH. 

Di tempat intensif SBMPTN, aku sempat konsultasi sama guru Bahasa Inggris-ku. Fyi, guruku ini pernah dihubungin sama Oxford untuk ngerjain semacam proyek kamus gitu, deh (aku nggak terlalu paham). Artinya, beliau udah master banget. 

"Pak, gimana, ya? Besok lusa saya tes IUP UGM."

"Serius?"

"Iya, Pak. Saya ngapain bercanda?"

"Oh, kalau gitu, kamu istirahat aja."

Jeng jeng jeng jeng... ISTIRAHAT? "Lho, Pak, nggak usah belajar? Nanti saya gak bisa?" 

"Saya pernah coba ngerjain tes IUP, saya gak bisa." 

LAHHHHHHHH. 

Detik itu, sumpah, aku bingung banget. Tapi, akhirnya, aku memutuskan untuk ngelakuin saran beliau: istirahat (dan nggak belajar). Aku kurangin ritme belajar intensifku supaya pas ujian IUP nanti, aku bakal fit dan bisa konsentrasi. 

.

Tanggal 28, aku terbang ke Jogja. Tesnya bakal dilaksanain di Jalan Bulaksumur No. 1 (FEB UGM). 

Jujur, selama perjalanan Bandung - Jogja, entah kenapa aku sedih banget. Kalau dipikir-pikir, perjuanganku emang nggak seberapa (dibandingin dengan perjuangan para pejuang PTN yang sampai rela gap year), tapi waktu itu, aku ngerasa kalau aku udah ngasih semua yang kupunya, cuma demi satu bangku di universitas. Galau banget, parah. 

Tapi, aku ngerasa kayak dihibur Allah lewat langit sore yang cantik banget. Parah. Cotton candy sky, tapi pake awan kembang kol yang rata gitu (bingung ah, ngejelasinnya gimana. Liat aja Instagram-ku, @naraniwidodo) (PROMOSI). 

Terus, tiba-tiba aku ngerasa kalau... mungkin aku kurang doa. 

Usaha maksimal, doa minimal. 



.

Sesampainya di hotel (udah jam tujuh malam), sepupuku yang tinggal di Jogja nyamperin aku. Dia juga lagi berjuang buat SBMPTN, btw. 

Selain jalan-jalan ke FEB UGM bareng, kami juga ngobrol-ngobrol di lobby hotel dengan suasana yang santai. Calm. Aku udah nggak sedih lagi, tapi justru ceria karena seneng ketemu dia. Sampai akhirnya...

Sepupuku: "Dek." (dia manggil aku itu, aku manggil dia "Mas")

Aku: "Apa?" 

Sepupuku: "Di tempat les pink-keunguan (tempat lesnya dia), ada kelas sendiri lho khusus untuk persiapan tes IUP. Soal-soalnya banyak dan modulnya tebel banget."

Aku: "..."

Jujur, pas denger itu, aku langsung lemes. Ya ampun. Di tempat lesnya Mas-ku ada kelas tersendiri demi IUP, tapi aku nekat terbang ke Jogja tanpa satu pun ilmu. 

Akhirnya, aku panik. Jam sembilan malam, aku berusaha belajar dari internet. Jam sebelas malam, temen lamaku (yang lagi kuliah di IUP Psikologi) nge-Gojek-in modul-modul IUP yang dulu dia pakai. Aku sempat baca modulnya, tapi karena udah capek banget, akhirnya kutinggal tidur jam dua belas malam. 00.00.

Aku inget banget. Sebelum tidur, aku ngomong ke diriku sendiri: "Meninggal gw...."

.

Besoknya, aku bangun pagi dalam keadaan pasrah. Setelah sarapan di hotel, aku langsung jalan kaki ke FEB UGM dan pergi ke ruang ujian. Berikut adalah sedikit review tentang GMST:

  • Matematika gampang (menurutku). Tapi emang gampang, sih, daripada Matematika IPA SBMPTN. Di GMST, Matematika-nya lebih kayak kemampuan logika gitu (bukan skill dan konsep). 
  • Bahasa Inggris susah. Banget. Aku kesusahan ngejawab sebagian besar soal, karena (menurutku) pengecoh dan kosa katanya lumayan banyak. Untung aja bisa ditembak karena nggak ada sistem minus.
  • Figural SUSAH. Mungkin karena aku emang nggak kuat di Figural, sih. Selama ini, setiap try out TKPA SBMPTN, aku selalu ngerjain Figural terakhir. 
  • Verbal, as always, susah. Kata-katanya nggak ketebak gitu.
Setelah GMST, aku langsung ikut tes EPT karena aku nggak punya TOEFL atau pun IELTS (ya iyalah. Daftarnya aja enam jam sebelum pendaftaran tutup, mana sempat nyiapin tes gituan?). 

Dan, aku kaget. 

PESERTANYA DIKIT BANGET, COY. Berarti, sebagian besar peserta IUP UGM udah punya TOEFL dan IELTS... berarti mereka emang well-prepared banget....

Sebelum tes, aku maki-maki diriku sendiri. "Salah banget, nih, ikut tes IUP sekarang. Udah ngorbanin intensif SBMPTN, tiket ke Jogja mahal, aku nggak nyiapin apa-apa, lagi. Gini, kan, akhirnya!" 

Tapi, aku nggak punya banyak waktu untuk nyeselin keputusanku terbang ke Jogja. Tesnya udah dimulai, dan lumayan susah (walaupun menurutku nggak sesusah GMST, sih). Aku lumayan meleng pas bagian Listening (lima puluh soal, kalau nggak salah), tapi aku nggak punya masalah sama sekali pas ngerjain reading dan section lainnya. 

Setelah EPT, aku dan sepupuku main ke Tekkof (eh, lupa namanya). Tekkof adalah sebuah kafe punya seorang arsitek (jadi kebayang, lah, arsitekturnya keren). Letaknya kira-kira dua kilometer dari FEB UGM. Di sana, aku dan sepupuku daftar SIMAK UI barengan. Rencananya, SIMAK UI bakal dilaksanain tiga hari setelah SBMPTN. 

Oh iya, aku lupa cerita. Untuk FEB IUP UGM, ada tiga majors yang bisa dipilih:
  1. Manajemen
  2. Ilmu Ekonomi
  3. Akuntansi
Kita (para pendaftar) dikasih kesempatan untuk milih tiga majors. Tapi, karena pada dasarnya aku sangat nggak bisa Ekonomi (terutama Akuntansi), aku cuma milih Manajemen. 

Untuk SIMAK UI, aku daftar: 
  1. Teknik Industri (BELUM KAPOK JUGA Y W).
  2. Psikologi
  3. Hukum
Yes, IPC juga.

Jujur, untuk SIMAK UI, aku nggak mood sama sekali. Di antara tiga pilihan di atas, nggak ada yang bener-bener kumau. Aku daftar karena... apa, ya? Sebagai jaga-jaga aja, sih, siapa tahu SBMPTN dan IUP UGM "lepas".

Sebenarnya, setelah main ke Tekkof, aku pengin banget sepupuku pulang. Aku juga udah nyuruh dia, sih, karena somehow aku yakin: aku nggak bakal lulus tes hari pertama IUP UGM. Dan, aku nggak mau dia lihat aku gagal. 

Tapi, dia tetep keukeuh pengin lihat pengumumanku. 

Hft. 

Untung aja, jam enam maghrib, aku dapat kabar kalau aku lulus. Nggak jadi gagal, hamdalah. Btw, yang liatin pengumumanku itu temenku, sih (yang kebetulan ikut tes IUP UGM juga). Dia juga ikut AFS dulu, tapi ke Italia. 

Malamnya, aku nyiapin diri untuk tes hari kedua: wawancara dan LGD (kepanjangannya Leaderless Group Discussion). Aku tenang-tenang aja, sih, karena aku berpengalaman ikut tes ginian pas seleksi AFS dulu. Pasti mirip-mirip, lah.

TERNYATA BEDA BANGET.

Wawancaranya emang not so bad, sih. TAPI LGD-KU ANCUR.

Well, singkatnya, LGD adalah diskusi grup berbahasa Inggris gitu untuk membahas sebuah case. Grupku terdiri dari tujuh orang (kalau nggak salah). Diskusi kami ganas banget! Kayak bunuh-bunuhan. Selama sepuluh menit pertama, aku bahkan sampai meleng karena boro-boro nyampain pendapat, aku bahkan gak bisa mencerna apa-apa karena diskusinya mengalir terlalu cepat. Belum mencerna satu pendapat, eh udah pindah pendapat lagi.

Hebat banget emang grupku.

Setelah aku berhasil adaptasi, akhirnya aku mulai bisa ngomong. Itu pun susah, karena kesempatan untuk bicara itu selalu direbutin. Aku bahkan sampai berinisiatif untuk angkat tangan. 

Jujur, pas LGD, aku jarang ngomong. Tapi, sekali ngomong, aku langsung ngasih "ide" atau "bantahan". Bukan sekadar "I agree with you because blablablabla" yang menurutku cuma omong kosong; in this case, we don't need your opinion. We need your ideas. 

.

Setelah tes LGD, aku galau banget. Aku udah yakin seratus persen kalau aku nggak bakal lulus tes IUP UGM ini. Saking galaunya, aku bahkan sampai males ngehapus make up (yang kupakai demi kesan baik pas wawancara). Make up itu kupakai terus, termasuk waktu malamnya aku terbang balik ke Bandung. Parah, deh. Bibirku sampai kering banget karena efek kelamaan pakai lipcream. 

Aku nggak punya banyak waktu untuk menggalaukan LGD. Ke-hectic-an SBMPTN makin terasa. Btw, berikut adalah pilihan-pilihan SBMPTN-ku:
  1. SBM ITB, Bandung
  2. FKG UGM, Yogyakarta
  3. FKG Unibraw, Malang
Awalnya, aku santai dan fokus intensif, tapi lama-lama panik juga pas ngelihat temenku panik. Terutama pas ngelihat beberapa orang mulai tumbang, sakit karena belajarnya terlalu diforsir.

Aku, yang takut ikut sakit, akhirnya ngambil satu kesimpulan besar: Nggak belajar IPS lagi. Kumaha engke weh.

Gila emang. Pilihan pertama SBM ITB, tapi IPS justru dilepas.

Well, mau gimana lagi? I need to do something. Menurutku, IPA lebih susah daripada IPS (no offense), jadi aku harus fokus ke sana. Kalau aku maksain dua-duanya, bisa-bisa aku drop. Stres.

.

SBMPTN tahun 2018 dilaksanain pada tanggal 8 Mei 2018, sementara pengumuman IUP jatuh pada tanggal 4 alias empat hari sebelumnya. 

Menjelang SBMPTN, selain ngejaga kesehatan, ada satu hal yang kupelihara banget: mental. Aku bahkan sampai nge-uninstall beberapa aplikasi di handphone (termasuk Instagram) supaya mentalku nggak jatuh. Selain itu, demi ngejaga mental, aku juga... janji ke diriku sendiri untuk ngebuka pengumuman IUP tanggal 8. Bukan tanggal 4. 

Aku takut aja sakit hati, terus tiba-tiba kepikiran, "Ah. SBMPTN gak bakal bisa."

Pengumuman IUP keluar jam sepuluh malam. Mulai jam sembilan malam, handphone-ku mulai penuh sama chat dari teman-teman yang ikut tes IUP ini. Mereka sama kayak aku, deg-degan dan takut. Tapi, mereka bakal tetap buka pengumuman IUP hari itu juga.

Pukul sepuluh malam, Bapakku nelepon. "Mbak, pengumuman IUP udah keluar, tuh."

"Iya, udah. Aku bukanya habis SBMPTN aja."

"Bapak aja yang bukain, deh?" 

"Jangan!"

"Gak apa-apa."

Bapakku keukeuh pengin ngebuka pengumumannya, sementara aku keukeuh gak mau. Tapi, karena aku jelas bukan tandingannya Bapakku, aku kalah. Aku terpaksa ngasih password untuk ngebuka IUP UGM, disertai dengan sebuah pesan: "Pak, pokoknya jangan kasih tahu aku hasilnya."

"Oke."

Sepuluh menit kemudian, Bapakku nelepon lagi. Kata pertama beliau adalah, "Keterima."




"...."

Di titik itu, aku bingung harus ngapain. Aku sedih, karena temenku barusan ngabain kalau dia gak lulus. Aku seneng, karena aku lulus. Aku juga kesel, karena udah dibilangin jangan ngasih tahu aku hasilnya, eh Bapakku justru ngasih tahu. 

.

Setelah pengumuman IUP, ajaibnya, hari-hariku jadi berwarna. 

Indah banget rasanya dunia. 

Mungkin karena bebanku untuk lulus SBMPTN nggak terlalu berat. Sans, lah, udah keterima di universitas, nih. Well, walaupun awalnya aku emang nggak bertujuan untuk masuk Manajemen UGM, tapi lama-lama aku jadi berminat juga ke sana. Aku bahkan sampai mikir: kalau aku keterima SBMPTN di pilihan tiga, kayaknya nggak bakal kuambil. Aku bakal ngambil IUP Manajemen aja.

Tapi, "keindahan dunia" itu cuma berlangsung selama dua hari. 

H-1 SBMPTN, aku deg-degan dan takut lagi. Awalnya, aku pengin tidur-tiduran aja di rumah dan nggak belajar sama sekali (hari tenang), tapi tiba-tiba aku kebayang IPS-ku. Crap, dude. IPS-ku besok nasibnya gimana?! Udah dua minggu nggak nyentuh, nih?!

Akhirnya, demi mengurangi stres, aku belajar IPS di Kopi Lay (duh, sebut merek) Paris Van Java. Sambil ngemil es milo dan toast, aku ngebaca rangkuman IPS-ku yang tebalnya nggak seberapa. Rangkuman itu kutulis sendiri beberapa bulan yang lalu, waktu aku masih rajin nonton video-video  IPS Zenius.

Nggak usah belajar materi baru, deh, batinku pasrah. Cukup ngulang-ngulang materi dari rangkuman aja. Aku udah lupa semua konsep IPS. 

Sepulang dari Paris Van Java (pukul enam maghrib), tiba-tiba aku ndredek. Gemeteran. Berdiri aja nggak tegak. Penyebabnya jelas: nervous. 

Duh, besok udah SBMPTN aja.

Setelah shalat Isya, aku berdoa ke Allah. Aku nggak minta supaya dilulusin SBMPTN, suer. Aku cuma minta satu: "Ya Allah, semoga aku bisa tenang." 

.

Besok paginya, aku beneran tenang. Jam enam pagi, aku langsung berangkat naik Grab ke SMA Negeri 2 Bandung, tempat ujianku. Aku bersyukur banget dapat tempat ujian di sana, karena sekolahnya teduh banget. Tenang. Daerahnya di Cihampelas, pula (dekat sama tempat tinggalku). 

Jam setengah tujuh, aku masuk ke ruangan ujian, terus nyari tempat dudukku. Ternyata aku duduk paling depan, gengs! Agak keder, sih, tapi akhirnya aku mikir, "Enak paling depan, lah. Nggak bakal kedistraksi sama peserta-peserta lain. Kan, mereka di belakangku, jadi aku nggak bisa ngelihat." 

#berpikirpositif

Akhirnya, jam tujuh (atau setengah delapan, ya, lupa), aku mulai ujian. Ujian pertama adalah SAINTEK (IPA). Berikut adalah review-nya: 

  • Biologi, alias mata pelajaran yang pertama kali kukerjain (karena aku suka), biasa aja. Ada soal yang susah, ada juga yang gampang. Contoh soal susahnya adalah "kenapa cendana harum", sementara contoh soal gampangnya adalah perbedaan dasar teori Darwin dan Lammarck. Sans. Aku bisa ngerjain lima (yang yakin benar).
  • Kimia, alias mata pelajaran yang kukerjain setelah Biologi, tergolong gampang kalau dibandingin sama SBMPTN tahun lalu. Aku bisa ngerjain dua belas. 
  • Fisika, alias mata pelajaran yang paling nggak kusuka, susah. As always. Aku bisa ngerjain empat doang.
  • Matematika IPA, alias mata pelajaran yang terakhir kukerjain dalam keadaan males-malesan, beneran susah. Kata temenku gampang, sih. Yang jelas, aku bisa ngerjain dua atau tiga doang (yang yakin benar). 
Btw, karena tahun ini sistem SBMPTN-nya beda sama tahun-tahun sebelumnya (nggak ada sistem minus), aku ngejawab semuanya (termasuk yang nggak bisa kukerjain). Ngasal aja nebak. Dan, berkat ngasal itu, akhirnya aku dapat nilai tambahan. 
  • Biologiku, dari lima soal jadi tujuh soal (yang benar).
  • Kimia, dari dua belas jadi sepuluh. WKWKWK tebakanku nggak ada yang bener, dan ada dua soal yang kukerjain salah. 
  • Fisika, dari empat jadi lima. W emang paling gak bisa nebak. Yakali nebak sebelas, cuma bener satu.
  • Matematika IPA, dari dua atau tiga jadi lima.
(Aku tahu berapa jawabanku yang benar karena tempat les kuning hijau ngeluarin kunci jawaban SBMPTN setelah SBMPTN selesai).

Oke, lanjut.

Setelah SAINTEK, aku ikut ujian TKPA (kemampuan dasar). Berikut adalah review-nya:
  • Matematika Dasar. Sebelumnya, pas try out-try out, aku ngerasa kalau aku nggak punya masalah dengan Matematika Dasar. Tapi, pas ujian TKPA ini, tiba-tiba aku nggak lancar ngerjainnya. Hft. Bisa berapa, ya? Lima kalau nggak salah. Itu juga belum tentu benar.
  • Bahasa Inggris. Bisa, sih, tapi nggak yakin.
  • Bahasa Indonesia. Ya gitu, deh.
  • TPA. Nggak tahu ini mah. Bisa bener, bisa juga salah. Yang jelas, pas ngerjain TPA, aku konsentrasi dan berusaha ngasih yang terbaik #proud
Jujur, setelah TKPA, aku ngerasa galau karena aku ngerasa baik SAINTEK maupun TKPA-ku kurang maksimal. I knew I could do better. Tapi, aku nggak bisa nyesel karena aku masih harus ujian IPS. 

Sebelum ujian IPS, aku makan siang dulu di gazeboo SMAN 2 Bandung. Sambil ngunyah ayam goreng, aku ngelihatin anak-anak IPA yang lagi berjalan pulang dengan bahagianya. Ah, seandainya w IPA, w udah cabut dari tadi, nih. 

Setelah makan, aku shalat.

Setelah shalat, karena masih ada waktu, aku chat-an sama temenku. Ratri. Dia juga ikut SBMPTN (IPS) tahun ini. Aku inget banget, waktu itu, dia nanya, "Eh, kamu ngejawab semua soal, kan? Karena nggak ada sistem minus?"

Tiba-tiba, aku jadi ragu. 

TERUS PANIK. Eh, bener dijawab semua nggak, sih?

Fyi, setelah panitia SBMPTN mengumumkan kalau sistem penilaian SBMPTN tahun ini bakal beda (nggak ada sistem minus), ada banyak keraguan. Ada yang bilang, "Jangan dijawab ngasal, ya. Ketahuan.", tapi ada juga yang bilang, "Jawab aja semua. Mana ada sistem yang bisa tahu kalau kita ngasal?"

Pak Menteri pernah bilang, "Jangan dijawab semua." Tapi, karena tempat les hijau kuning-ku bilang, "Jawab aja semua.", akhirnya beneran kujawab aja semua.

Akhirnya, karena takut salah, aku nge-chat sepupuku (iya, sepupuku yang pernah nyamperin aku di Yogyakarta). "Mas, SBMPTN tadi Mas jawab semua, nggak?"

"TKPA iya, SAINTEK nggak."

"LHA? KENAPA? KATANYA DULU MAU JAWAB SEMUA?" (Fyi, aku dan sepupuku pernah ngobrol, dan dia bilang kalau dia mau ngejawab semua soal terlepas dari dia bisa atau nggak).

"Nggak apa-apa, Dek. Ngikutin hati nurani."

Aku melongo. Jujur, pas ngerjain SAINTEK tadi, aku nggak punya waktu untuk ngerjain beberapa soal. Tapi sepupuku masih bisa mendengarkan hati nuraninya, tjoy. 

Uedan. 

Aku nge-chat Ratri lagi. "Gimana, nih? Aku bingung? Jawab semua aja entar pas IPS?"

Ratri jawab, "Udah, jawab aja semua. Sans."

Akhirnya, pas ngerjain SBMPTN IPS, aku beneran jawab semua. Berikut adalah review lengkapnya:
  • Sejarah. Dari empat mata pelajaran IPS yang diujikan, aku paling suka Sejarah. Tapi, untuk SBMPTN tahun ini, aku cuma bisa jawab empat atau lima soal doang. 
  • Geografi. Udah ini mah w gak ngerti apa-apa. 
  • Sosiologi. Sans, lah. Bisa mereka-reka jawabannya apa.
  • Ekonomi. Ya bisa dikit, lah. Yang bener-bener ku-skip cuma materi Akuntansi (itu lho, jurnal keuangan. Nggak paham-paham aku belajar itu).
Overall, aku ngerasa kalau IPA lebih susah dari IPS, tapi IPS juga susah. Apalagi belajarku kurang. Tapi, menurutku, untuk persiapan SBMPTN IPS, sih, belajar konsep dari Zenius juga udah cukup. Nggak usah belajar jumpalitan. Tinggal dilatih pemahaman dan soal aja dikit-dikit, sans.

Oh iya, untuk IPS, aku nggak ngecek kunci jawaban. Nggak tahu deh, benerku berapa. 

Sepulang SBMPTN, aku... santai. 

Main. 

Tidur.

Jalan-jalan.

PADAHAL SIMAK UI BELUM KELAR. 

"Mbak, mbok belajar to buat UI," kata Mamaku, mencoba ngasih nasehat. Waktu itu, aku lagi gegoleran di atas kasur, kecapekan habis nurunin rumus-rumus yang kupajang di dinding kamar sebelum SBMPTN. 

"Sans." 

"Sans gimana?"

"Ya semuanya sans."

Iya, bener-bener semuanya. Berangkat ke SMA Negeri 8 Bandung (tempat ujian), sans. Nggak buka buku apa-apa, sans. Baru tahu sistem ujiannya hari itu juga, sans. Soalnya susah banget, sans. Bukannya aku meremehkan, sih, tapi aku ngerasa kalau aku nggak pengin-pengin banget kuliah Teknik Industri, Hukum, atau pun Psikologi. 

.

Setelah SIMAK UI, aku bener-bener free. Aku, yang emang nggak berencana ikut Ujian Mandiri lainnya (karena pengin langsung caw IUP UGM seandainya nggak keterima SBMPTN), liburan ke Solo untuk ngerayain lebaran. Sempat kesel, sih, soalnya sejuta umat nanyain aku, "Kuliah di mana?"

Tapi, ya udah, jawab aja. 

Setelah seminggu di Solo, aku balik lagi ke Bandung, terus nungguin pengumuman SBMPTN.

Beda sama temenku yang udah deg-degan dari jauh-jauh hari sebelum pengumuman SBMPTN, aku sans. Nggak kepikiran sama sekali, malah.

Aku baru kepikiran sama hasilnya pas H-2 pengumuman.

H-1? Mulai gemetaran.

Hari H? NDREDEK. Tapi sans. Soalnya, walaupun pengumumannya tanggal tiga Juli (jam tiga sore), aku baru mau buka pengumuman SBMPTN itu tanggal enam (bersamaan dengan pengumuman SIMAK UI). Kenapa? Supaya kalau aku ketolak dua-duanya, sakit hatinya sekalian. 

Jangan sampai aku mulai bangkit dari kegagalan SBMPTN, eh pas ditolak UI, down lagi. 

Males banget. Mending sekalian. 

Tapi, walaupun udah bersikeras bakal buka pengumuman tanggal enam Juli, aku tetap gemeteran di tanggal tiganya. Gemeterannya baru mulai jam dua siang, sih. 

Waktu itu, yang kulakuin cuma:
  • Shalat. 
  • Dengerin Asmaul Husna. Bikin tenang, ya ampun. 
  • Berusaha menguatkan diri sendiri. "Kan kamu baru buka pengumumannya tanggal enam! Terus kenapa deg-degan sekarang, sih, Ran?! Sans ah, sans!" 
Sepuluh menit menjelang jam tiga, aku ngerasa capek banget. Akhirnya aku tiduran, masih pakai mukena, masih sambil dengerin Asmaul Husna, dan masih sambil menguatkan diri. Udah, lah. Kalau nggak keterima, bukan berarti dunia selesai, kan. I still have IUP UGM, tho.

Masuk jam tiga, aku ngantuk.

Tapi, tiba-tiba....

BRAK BRAK BRAK!!!

Pintu kamarku digebrak sama adekku (aku ngekos bareng adekku di Bandung, btw. Beda kamar). 

Aku ngebukain pintu. "Apa?"

"Mau tahu hasil SBMPTN, gak?" 

Oh iya, aku belum cerita. Jadi, sebelum pengumuman SBMPTN, aku udah cerita ke adekku kalau aku baru mau buka pengumuman SBMPTN tanggal enam. Tapi, adekku pengin buka pengumuman itu duluan. Akhirnya, aku ngasih nomor pesertaku ke dia, deh. Lagi pula, kalau orangtuaku penasaran sama hasilnya, mereka bisa nanya adekku. Nggak perlu nanya aku.

Lanjut.

Pas adekku nanya itu, aku ngernyit. Kenapa mukanya adekku gembira banget, yak? "Emang kenapa?"

Adekku nunjukkin layar handphone-nya. "KAMU KETERIMA!"




Pilihan pertama, woi.... :") 

Comments

  1. Assalamu'alaikum, kak. Jadi kakak milih SBM ITB, dan nolak IUP UGM. apa gak ada larangan dari sekolah kakak untuk menolak suatu univ, karna nantinya takut di blacklist gitu gak? Terimakasih

    ReplyDelete
    Replies
    1. Halo, maaf baru balas!

      Nggak ada, karena aku masuk SBM ITB lewat SBMPTN dan IUP lewat jalur mandiri IUP. Kalau aku keterima SBM ITB atau UGM lewat SNMPTN (undangan), baru tuh dilarang dan bakal di-blacklist.

      Hope this helps!

      Delete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Contact Me

About Me: The New Version

Traveling: Pengalaman Jalan-Jalan di Sydney, Australia (7 Hari!)