Minggu Kelimabelas di Jerman (AFS Indonesia - Jerman 2016/2017)

Sebenernya pengin berhenti nulis serial blog Minggu-Minggu di Jerman, tapi....


Song of this week: Suka ganti-ganti antara 'Kucari Kamu' dan 'Mari Bercerita' (dua-duanya dari Payung Teduh).

Movie of this week: Serial Hormones. I finished the first session for two days (bukan hal yang membanggakan, sih), and I am planning to watch the second as fast as possible (note: tokoh-tokohnya ada yang mirip Awkarin dan temenku Aufar (AFS Finlandia)).
Kadang-kadang nontonnya geli sendiri, hahaha.

View of this week: Tiga kancil yang lari-larian di atas padang rumput bersalju.
Kayaknya ini pemandangan paling indah yang pernah aku lihat, deh.

1


Hari pertama sekolah setelah libur tiga minggu?

Males banget.

Dan kayaknya yang ngalamin kemalesan ini nggak cuma aku, sih, tapi semua orang. Waktu aku masuk ke dalam bis yang menuju ke sekolah, semua orang kelihatan suntuk. Ada yang nguap, ada yang ketiduran, ada juga yang mukanya pucet--anak perempuan yang pakai mantel biru.

Anak perempuan itu berdiri di sampingku (kami nggak dapat tempat duduk). Dari awal, aku udah mikir kalau kayaknya dia sakit. Bibirnya pucat, matanya agak kosong, dan dia sering meleng pas bis ngebut dengan brutal (anyway, host mother-ku ngasih tahu aku kalau orang Jerman itu pengemudi kendaraan tercepat di dunia).

Kasihan, sih. Tapi mau gimana lagi? Aku juga nggak bisa ngapa-ngapain.

Akhirnya aku cuekin aja. Aku lanjut dengerin musik dari earphone, mikirin tugas, ngapalin kosa kata  baru (kurang rajin apa lagi, sih, aku ini?) (bohong, deng), dan melamun.

Sampai akhirnya...

"HOEK......."

ANAK PEREMPUAN ITU MUNTAH.

Di deketku.

Untung aja sepatu dan celanaku nggak kena. Kan mahal (bohong lagi, deng).

Hal pertama yang kulakuin? Pastinya, sih, melongo. Maklum, ngelihatin cairan muntah yang ngalir ke mana-mana karena kecepatan bis itu bukan pemandangan yang normal (kalau ada yang baca blog ini sambil makan, es tut mir echt leid) (anyway muntahnya warna kuning) (hehe) (gimana? Masih nafsu makan?) (sorry, sorry, stay tune, please).

Lanjut.

Hal kedua yang kulakuin? Marah.

Bukan ke anak perempuannya.

Tapi ke orang-orang di dalam bis yang cuma ngelihatin sebentar, terus lanjut dengan kesibukannya masing-masing (apalagi ke kakak kelasku yang badannya gede banget dan dapat tempat duduk, tapi nggak ada inisiatif ngasih anak perempuan ini kesempatan untuk duduk). Atuhlah, Neng, individualis sih individualis. Tapi masa nggak punya empati sama sekali?

Akhirnya, aku coba bantuin anak perempuan itu sebisa mungkin--senyum sama ngasih tisu doang, sih. "Hier, ich habe Taschentuch, aber--"

Eh, dasar sial. Belum selesai aku ngomong, tiba-tiba bisnya ngerem mendadak (padahal tanganku, dua-duanya, lagi ngerogoh-rogoh kantong mantel untuk nyari tisu).

Dalam hatiku, aku teriak, AISIAH OM SUPIR, NGGAK SEMPAT PEGANGAN INI! BAKAL JATOH TERUS NIMPA MUNTAH YAKIN INI MAH. 

Tapi, untungnya, di saat-saat terakhir sebelum jatuh (asik), aku sempat ngeraih pegangan.

Akhirnya nggak jatuh.

TAPI TANGANKU TERKILIR.

.

Yak. Itulah cerita (lebih tepatnya latar belakang) kenapa aku bingung nyari tukang urut di mana.

2

Kemarin, pas makan malam, host mother-ku tiba-tiba ngomong, "Rani, Alex hat mich eine Sache für dich gegeben." (Rani, Alex nitipin sesuatu buat kamu).

Alex (kependekan dari Alexander) itu pacarnya host sister-ku.

Aku ngernyit sambil mikir. Terakhir kali ketemu Alex, kami ngapain, sih? Emangnya aku minjemin dia sesuatu? Apa dia ngutang sama aku, tapi aku lupa? Atau, jangan-jangan, dia ngasih aku hadiah? Ah, mana mungkin (Alex, kalau ketemu aku, sering ejek-ejekan) (tapi bercanda doang) (pokoknya nggak mungkin, lah, dia ngasih hadiah). 

Daripada penasaran, akhirnya aku nanya, "Apa?"

Host mother-ku ngeluarin sebuah barang dari tas. "Ini."

"..."

Cabe.

Iya, cabe (yang warnanya merah, bukan yang putih di muka tapi item di leher).

"Alex findet es zu scharf ist," kata host-mother-ku (artinya: Alex ngerasa kalau cabe itu pedes banget (ya iyalah, namanya aja cabe), sampai dia nggak sanggup makan). "Er weißt, du magst Chili. Vielleicht möchtet er dass du es probieren." (Dia tahu kalau kamu suka pedes. Mungkin dia pengin kamu nyobain).

"..."

Sampai sini, aku bingung pengin ngapain. Pengin ketawa ngakak, tapi pengin terharu juga.

.
.

Sebenernya aku punya jatah sepuluh bulan di Jerman, tapi aku cuma dapat sembilan bulan. Kenapa? Karena aku telat dapat host family, yang akhirnya berujung ke telatnya pembuatan visa. Bayangin deh, Bela (temenku, AFS Jerman juga) udah berangkat, aku baru buat visa. Kurang mantap apa lagi? Mana semua peserta exchange students AFS/YES (bahkan yang short program Jepang) udah berangkat, lagi. 

Sisa aku sendiri, lho. 

I remember those dark days. Tiap hari deg-degan, tiap jam buka e-mail, dan tiap menit doa. Rasanya pengin mati aja, apalagi kalau udah mikirin pertanyaan ini: gimana kalau aku nggak jadi berangkat?

Nggak apa-apa, sih. Tapi, masalahnya, aku udah cuti sekolah. 

Yakali nggak jadi belangkat. 

Tapi, begitu aku ketemu host family-ku di sini, aku nggak nyesel cuma punya sembilan bulan. Mereka itu salah satu orang paling baik yang pernah kutemuin. Aku bebas nyeritain apa pun ke mereka, sampai-sampai LC (contact person)-ku nggak perlu ngelakuin apa pun karena semuanya baik-baik aja.

Intinya, they are worth to wait for--kalau pun aku harus nunggu selama beberapa waktu lagi demi ketemu mereka, I think I would. 

Aku, Laura (tetangga), Alex

3

Minggu ini... aku ngapain aja, ya?

Oh, minggu kedua sekolah, aku presentasi tentang Indonesia.

Sebelum libur Natal, aku pernah presentasi di depan kelas, sih, tentang film Laskar Pelangi. Tapi nggak serius-serius amat. Yang penting setor muka, dapat nilai, dikomentarin dikit, dann ist es vorbei (lalu selesai).

Tapi, untuk presentasi tentang Indonesia ini, I literally worked my ass off. Aku kerja keras selama seminggu untuk ngasih yang terbaik, bahkan sampai ngorbanin waktu istirahat. Aku ngecek presentasinya Kak Nuralika (AFS Jerman 15/16) (ngomong-ngomong, Vielen Dank, Kak!) sebagai referensi, nge-download beberapa video tentang Indonesia, nge-bikin subtitle-nya (niat banget, kan), latihan presentasi di depan host family, sampai bikin teks presentasi yang superpanjang pakai bahasa Jerman (sebenarnya aku bisa aja presentasi pakai bahasa Inggris, sih. Tapi aku udah berkomitmen kalau aku nggak bakal pakai bahasa Inggris lagi di mana pun, dan aku yakin temen-temenku bakal lebih tertarik merhatiin presentasinya kalau aku pakai bahasa Jerman).

Tertarik ngetawain, maksudnya.

Lanjut.

Singkat cerita, setelah seminggu lewat, akhirnya hari presentasi dateng juga. 

Hari itu, aku datang ke sekolah pakai kebaya. Orang yang pakai kebaya biasanya kelihatan anggun,  kan, ya. Tapi, kali itu, aku kelihatan aneh. Mungkin karena aku pakai sepatu olahraga (sebenernya aku pengin pakai selop) (tapi nggak kuat) (ya udahlah, daripada pakai boots).

Aku bakal presentasi di pelajaran Geografi, dan pelajaran Geografi itu pelajaran terakhir. Jadi aku masih harus belajar Deutsch dan Englisch. 

Jujur, selama belajar dua mata pelajaran itu, aku nggak fokus. Kenapa? Pertama, gugup karena bakal presentasi (nggak terlalu, deng) (aku mah anaknya bodo amat).

Kedua, di tengah-tengah pelajaran Deutsch, host mother-ku nge-SMS kalau paket yang dikirimin Mama dari Indonesia (isinya sambal, bumbu instan, dan mie instan) udah sampai dengan selamat di rumah (cepet banget gila, cuma lima hari).

OH, INDOMIE, KOMM ZU MUTI! (Indomie, come to Mama!).

Tapi, akhirnya, aku berhasil fokus, sih. Apalagi detik-detik pas aku maju ke depan kelas untuk mulai presentasi.

Aku ngambil napas panjang. Bismillah... pasti lancar! Udah persiapan selama seminggu (bahkan sampai latihan di depan host family), masa berantakan? Nggak mungkin. Kamu pasti bisa, Ran! Du kannst das gut machen! "Guten Morgen. Heute möchte ich ein Referat über meines Mutterland, Indonesien, machen. Blablablabla...."

Lancar (walaupun temen-temen pada nyengir ngedengerin Deutsch-ku) (nggak apa-apa, lah, yang penting mereka perhatiin).

E TAPI...

Pas aku udah ngelewatin beberapa slides, kok ada slides yang hilang?

Dan... kok subtitle salah satu video nggak ada?

Dan... kok slide yang ini muncul, sih? Bukannya udah diedit dan dihapus?

Usut punya usut, ternyata... KEMARIN MALAMNYA, SETELAH BEBERAPA JAM NGEDIT PRESENTASI, AKU LUPA NGE-SAVE EDITANNYA (itu udah nyaris tengah malam, dan aku ngantuk banget).

Scheiße!

Dan, karena itu, akhirnya teks Jerman yang udah aku siapin jadi beda banget sama presentasi.

Terpaksa improvisasi, deh--termasuk waktu foto Karapan Sapi (tradisi balap sapi asal Madura) muncul di layar, dan aku harus ngejelasin. "E... ich dachte... es ist wie Motocross... aber mit Kuh." (Jadi... menurutku... Karapan Sapi itu seperti MotoCross, tapi pakai sapi).

"HAHAHAHAHAHAHAHAHAHA."

Nggak lucu, kan, ya? Tapi asli, semua temenku ketawa. Bahkan sampai pengin nangis. Saking lucunya kalimatku (menurut mereka), mereka sampai nulis kalimat itu di Zettel (catatan) yang mereka pakai untuk nulis quote-quote fenomenal dari temen sekelas. 

........teu ngarti, ah. 

4
(masih berhubungan sama cerita tentang presentasi)

Jadi, intinya, setelah selesai presentasi, aku buru-buru pulang. Pikiranku penuh sama satu hal: Indomie. 

Dulu, sebagai anak kos yang rajin menghemat (baca: kagak punya duit), aku sering banget makan Indomie. Bagi aku dan beberapa temen, Indomie itu bukan lagi keinginan, tapi udah kebutuhan. Bahkan bisa dibilang, kebutuhan primer kami ada empat: sandang, papan, pangan, dan Indomie (tapi Indomie masuk pangan, kan, ya?) (baelah).

Makanya, setelah tiga bulan hidup tanpa Indomie dan jadi vegetarian (host mother dan host sisters-ku vegetarian, host father-ku vegan), aku kangen banget sama mie instan itu.

Tapi, entah kenapa, walaupun jarak antara aku dan Indomie waktu itu cuma 15 kilometer (jarak  antara rumah dan sekolah), hambatannya banyak banget! 
(1) aku nyaris ketinggalan bis, karena mesti basa-basi dulu sama guru Geografi,
(2) aku nyaris ketinggalan bis kedua (aku harus dua kali naik bis untuk sampai ke rumah),
dan (3) KUNCI RUMAHKU HILANG (dan waktu itu, rumah lagi kosong).

Kesel banget, nggak, sih.

Sambil ngomel-ngomel sendiri, aku ngerogoh-rogoh saku mantel dan tas. Siapa tahu keselip.

Eh, tiba-tiba, aku inget kalau kunci kamarku kugantung di dalam kamar. 

Scheiße! (2)

Tapi aku nggak putus asa, dong. Aku inget kalau host mother-ku pernah bilang, "Rani, kalau kamu lupa bawa kunci, kita punya dua kunci cadangan. Satu dibawa tetangga, satu ada di gudang (gudang kepisah sama bangunan utama rumah)." 

Akhirnya, aku jalan ke rumah tetangga. Badan udah mulai menggigil, nih, pakai kebaya sama mantel doang (itu pun salah mantel, lagi) (cemen emang) (ya udah atuh).

Tapi, sialnya, tetanggaku nggak ada di rumah. 

Scheiße! (3)

Akhirnya aku jalan balik lagi ke rumah, terus masuk ke gudang. Gudangnya rapi dan tertata banget, tapi tetep aja gudang. Banyak banget barang yang nggak diperluin dan bertumpukan, itu pun dilapisin debu. 

Dengan sabar, aku nyari kunci. Kubukain lemarinya satu-satu, ngeraba-raba permukaan lemari, sampai ngelihat ke sudut-sudut tempat. Waktu itu, pikiranku udah nggak fokus. Rasanya aku bisa denger Indomie manggil-manggil dari dalam rumah: makan aku, Rani. Ayo, makan aku. 

Aku ngambil napas panjang. Sabar, Sayang. Sabar. Kita akan bertemu. 

Tapi, setelah nyaris satu jam ngerusuh di gudang, kuncinya nggak ketemu.

Scheiße! (4)

Akhirnya aku nyerah. Sambil nahan dingin (dan laper yang luar biasa), aku jalan ke jendela rumah untuk ngecek jam sekaligus ngecek apa host sister-ku udah pulang dari sekolahnya atau belum. 

Dan, dari jendela rumah, aku bisa ngelihat paketku. Rapi, besar, dan cantik. Sempurna. 

Scheiße! (9999999x)

.

Yak, itu dia cerita tersedih minggu ini (PS: ternyata kuncinya nggak ada di gudang, tapi dibawa host uncle-ku. Schade, satu jam terbuang sia-sia).

5

Tanggal 13 Januari kemarin, host sister-ku ulang tahun. I gave her this and a letter (isinya rahasia), terus kayaknya dia terharu banget, deh. Dia jadi baik banget sama aku (sebelumnya juga baik banget, sih, tapi sekarang jadi megabaik).


6

Aku suka tidur. Really. 

Makanya, setiap tahun baruan, aku pasti tidur. Kadang-kadang karena emang males ngerayain tahun baru, kadang-kadang karena ketiduran beneran (padahal udah nyiapin snack, terompet, dan kembang api).

Tapi tahun ini beda, dong.

Tahun ini aku ngerayain tahun baru di Blütlingen, Wustrow, bareng host family-ku dan sahabat-sahabatnya. Mereka emang punya tradisi untuk ngerayain tahun baru bareng-bareng dengan cara nginep selama tiga hari di salah satu rumah (tahun ini giliran rumah Frank dan Doro).

Di sana, kami ngelakuin banyak hal bareng-bareng. Salah satunya adalah... main game WEREWOLF! DUA KALI! (pada tahu, kan? Kalau nggak tahu, skip aja).

Waktu masih ngekos di Bandung (kosnya campur cewek-cowok, tapi nyaris semuanya anak SMA), aku sering banget main werewolf bareng temen-temen kos. Kadang-kadang malah sampai tengah malam atau subuh (nggak 'kadang-kadang', deng. Tapi 'selalu'). 

Kalau udah main werewolf bareng temen-temen kos, beuh. Mantep. Kami (fakir di tanggal tua) nggak perlu nge-Indomie malem-malem soalnya camilan udah bertebaran di mana-mana (apalagi kalau ada Dhani sama Sofwan. Kamar mereka kayak Indomaret! Penuh camilan). 

Dan kami nggak pernah main werewolf dengan 'damai'. Pasti ricuh, deh. Ujung-ujungnya juga pasti ada yang ditimpuk atau dijodoh-jodohin sama Bi Imas (penjaga kosan). Saking ributnya, kami sampai pernah dikomplain sama Bu RT.

.

Rasanya main werewolf di Jerman itu... beda. Mereka mainnya beneran serius. Nggak ada tuduh-tuduhan, karena semuanya pakai argumen yang bisa ditanggung-jawabin. Sebagian besar dari mereka juga selalu masang muka serius dan segalak mungkin supaya nggak dikira werewolf. 

Tapi aku nggak bisa seserius mereka, guys. Aku lemah. 

Aku cekikikan mulu, sumpah. Bukan karena ada yang lucu selama main werewolf di Jerman, tapi karena aku selalu kepikiran salah satu kejadian lucu waktu main werewolf di Bandung. 

Jadi, waktu itu, (seperti biasa) kami main werewolf pakai kartu J Q K As (kalau kita dapat kartu J, artinya kita jadi werewolf). 

Nah, setelah semua pemain ngambil kartu dan tahu perannya masing-masing, semua kartu itu ditaruh di atas meja dengan posisi terbalik (di depan masing-masing pemain). 

Terus kita main, kan.

Seru, deh. Werewolf-nya ganas.

Nah, pas kami semua lagi berdebat (baca: nyaris jambak-jambakan) tentang siapa yang jadi werewolf,   Ijul (temenku yang ikut main) tiba-tiba ngantuk. Maklum, waktu itu udah nyaris tengah malam. Jadi dia nyandarin kepalanya di atas meja, terus tidur-tidur ayam gitu, deh.

EH TERUS

PAS DIA BANGUN (KAMI MASIH DEBAT), KARTUNYA DIA NEMPEL DI JIDAT

DAN DI SANA, KEPAMPANG NYATA HURUF J

HURUF J, DUDE

HURUF J

JADI SELAMA INI TERNYATA DIA WEREWOLF-NYA

*brb, ngeracunin Indomie-nya Ijul dulu*

.

Karena kejadian itu, selama dua kali main werewolf di Jerman (dan aku selalu jadi werewolf), aku selalu ketahuan dan dibunuh sama warga. Cekikikan mulu, sih, nggak bisa berhenti. Mencurigakan emang.

7

Di Blütlingen, aku juga jalan-jalan ke suatu tempat yang (menurutku) indah banget. 





8

Setiap ada waktu luang (contohnya: hari libur), aku selalu kerja di Waldkindergarten (TK, tapi di hutan). Bukan kerja, sih, tapi nge-volunteer gitu. Aku baru beneran kerja di sana bulan Mei nanti, itu pun Praktikum (salah satu syarat kenaikan kelas di Jerman itu kerja selama dua minggu. Namanya Praktikum). 

Sebenernya aku bisa aja praktikum di universitas, sih. Lebih nguntungin, karena mungkin aku bakal kuliah di Jerman (mungkin, walaupun sebenarnya nggak (atau belum) tertarik).

Tapi, dari dulu, aku selalu pengin bantu ngajar di TK. Pasti seru. Materinya nggak susah, banyak main, dan anak-anaknya lucu. Tapi untuk pekerjaan jangka panjang? I think... no. Bukannya aku bilang profesi guru TK itu nggak bagus, but it takes something that I totally do not have: Geduld (patience, kesabaran).

Ya udah, deh, mumpung lagi jadi exchange student (saatnya nyoba hal baru!), akhirnya aku bisa jadi (pesuruh) guru TK.

Pas pertama kali aku coba bantu-bantu di sana, aku sial banget. Hari itu adalah hari terdingin yang pernah aku alamin selama di sini, dan aku harus bertahan di hutan selama kurang lebih enam jam. Beuh, pas sampai rumah, rasanya badan mati rasa. Apalagi kaki. Cenat-cenut gimana gitu. 

Tapi aku tetep seneng, sih. Di sana aku belajar banyak, terutama tentang binatang-binatang hutan. Contohnya? Babi hutan. Jadi ternyata, babi hutan itu suka ngegosok-gosokin badannya di batang pohon yang agak kasar (tujuannya? Maaf, aku lupa). Mereka juga suka ninggalin bau yang khas (ya, sekarang aku familiar sama bau babi hutan).

Aku juga kenalan sama anak-anak TK yang cerewet dan suka banget lari. Ada Moritz yang penyendiri (dia pemberani banget, deh, suka ngilang sendiri), ada Klaus yang selalu mau pegangan tangan, ada Kiyomi dan Linea yang suka gambar, sampai Johann yang suka ngasih tebakan walau nggak nyambung sama sekali (atau mungkin aku aja yang nggak ngerti, soalnya mereka ngomongnya nggak jelas).

Tapi ada satu hal yang aku nggak suka dari Waldkindergarten: nggak ada WC-nya.

Jadi, di Waldkindergarten, anak-anak TK itu dilatih untuk bergantung sama alam (termasuk untuk buang hajat). Mereka dilatih bikin lubang, buang air di sana, cebok pakai daun, dan nutup lubangnya lagi. 

Yak. Itulah alasan kenapa aku nggak pernah minum air kalau lagi bantu-bantu di sana. Pokoknya, aku bakal berusaha sekuat tenaga untuk ngehindar dari WC tradisional itu. 

E TAPI...

Waktu aku lagi ngejagain anak-anak itu pas mereka main, salah satu dari mereka ngomong, "Ich muss auf Klo." (aku harus ke toilet).

"Dann geh." (ya udah sana).

"Rani, ich muss auf Klo." (Rani, aku harus ke toilet).

Aku ngernyit. Atuhlah aturan saha ke toilet kudu lapor? "Ja, du hat das gesagt. Dann geh."

Tiba-tiba, Caroline, salah satu guru TK di sana, ngomong ke aku, "Rani, kalau anak-anak TK pengin ke toilet, kamu harus temenin supaya mereka nggak nyasar. Beberapa dari mereka juga belum bisa buang air dengan baik, jadi kamu harus bantu."

.....................scheiße. "Siap."

Comments

Post a Comment

Popular posts from this blog

Contact Me

About Me: The New Version

#1 Proses Novel "Inikah Rasanya Cinta"