Elmosolyodni

1963

Aryo

Sungguh, pesta ini membosankan. Tidak ada yang menarik minatku selain meja tempat kue-kue dihidangkan. Namun, ketika aku baru saja mengeluarkan kantong plastik untuk membungkus makanan sebelum pulang, seorang perempuan bergaun merah jambu menghampiriku. 

"Bosan?" tanyanya dengan seulas senyum di bibir bergincu.

Meskipun senyumnya manis, aku tetap tidak tertarik dan tidak peduli. Tanganku saja yang bergerak aktif, memasukkan tiga buah kue berbungkus daun pisang (mirip lemper) ke dalam kantong, seraya menjawab acuh tak acuh, "Lumayan."

"Mau berdansa?"

Nah. Ini yang menarik. 

Aku meliriknya dengan tatapan (sok) kaget. "Apa?"

"Kenapa?"

"Tidak biasanya perempuan yang menawarkan lengan," ujarku. Menawarkan lengan adalah istilah untuk mengajak berdansa, juga istilah yang biasanya dipergunakan oleh laki-laki karena kesetaraan gender belum jadi isu nge-trend pada tahun 1963.

Ia tertawa. Tawanya renyah dan unik, jenis tawa yang tidak akan pernah kulupakan. "Sudahlah, jangan dipikirkan. Ayo!"

Lalu tahu-tahu, tanganku ditarik ke lantai dansa yang sudah penuh dengan orang-orang. 

Aku sempat menggerutu karena kantong plastikku (yang sudah penuh dengan lemper) tertinggal di atas meja (dan dimaling oleh oknum yang tidak bertanggung jawab, alias temanku sendiri), tapi gerutuanku lenyap begitu tangan perempuan itu menyentuh bahu dan pinggangku.

"Aku tidak bisa berdansa," kataku cepat. Tapi ia telanjur bergerak, dan aku terpaksa mengikuti. 

Skala kemampuan kami, jika dibandingkan, adalah 1.000.000:1. Dia 1.000.000, aku 1. Dia setinggi langit ketujuh, aku serendah basement. Sungguh memalukan. Tak heran banyak yang tertawa melihat aku tersandung-sandung mengimbangi gerakan kakinya yang dibungkus sepatu berhak dan tangan mungilnya yang bergerak luwes.

"Kamu bisa berdansa," kataku.

"Terima kasih," ujarnya, membuatku agak bingung karena sebenarnya aku tidak memuji. "Aku penari."

Sembari terus bergerak, mataku lekat menatap keluwesannya. Sepertinya ia memang penari (yang hebat). Nilainya di mataku pun mendadak berubah. Ia bukan lagi seorang perempuan bergaun merah jambu yang kelewat berinisiatif dan mengganggu. "Oh ya?"

.

6 bulan kemudian...

Nina

Srisig. Gajah muling. Engkyek.

Aku sedang melatihkan gerakan-gerakan tari jawa itu di sanggar ketika seorang laki-laki berkemeja cokelat datang. Aryo. Tangannya menenteng sebuah kantong plastik hitam yang tampak penuh. Aku pun otomatis tertawa. "Apa isinya? Lemper?"

"Bukan," jawabnya, juga sambil tertawa. "Getuk."

Tawaku bertambah deras. "Ada-ada saja!"

"Tapi aku serius, isinya memang getuk," ujar Aryo polos sambil duduk bersila di lantai sanggar dan menumpahkan isi kantong plastiknya. Ia mencomot satu buah ketika berkata, "Silakan lanjut menari. Maaf, tadi aku menginterupsi sebentar."

"Oke," jawabku. "Tapi apa yang akan kamu lakukan ketika aku menari?"

"Makan getuk sambil menontonmu menari."

.

1964
Aryo

Ketika pertama kali bertemu dengan seseorang, pernahkah kamu memikirkan kemungkinan orang itu akan menempati posisi apa di hidupmu? 

Aku tidak pernah.

Seperti yang telah kalian tahu, ketika aku pertama kali bertemu dengan gadis bergaun merah jambu itu, aku sedang berkonsentrasi membungkus lemper. Jangankan berpikir, melirik pun tidak. Yang kupikirkan hanyalah suwiran ayam lezat di balik nasi dan daun pisang. 

Aku sama sekali tidak terpikir bahwa satu tahun kemudian, langsung di hadapannya, aku akan berkata,

"Ik hou van jou, Nina."

.

Nina

"Ik hou van je ook, Aryo."


1965
Aryo

Tak butuh waktu lama. 

"Nikah, yuk?" ajakku. Santai, spontan, tanpa dosa.

Nina ternganga. "Aku tidak habis pikir. Bagaimana bisa kamu mengajak seseorang untuk menikah, tapi caramu seperti mengajak cari kutu?"

.

Besoknya

Nina

Aku menahan napas. Sebelah kakiku sedang menapak bumi, sebelahnya lagi sedang melayang ke bintang-bintang. Pasalnya, di hadapanku, Aryo sedang berlutut. 

Dan ada cincin di tangannya. 

Ya Tuhan, kukira ajakannya kemarin hanya bercanda!

Aryo, laki-laki pembungkus lemper itu, kemudian tersenyum. "Jadi, apa jawabannya?"

.

1970

Aryo

"Aku ikut," ujarku keras kepala. Aku dan Nina sedang berboncengan di atas motor tua kami yang bergerak pelan menuju rumah Pak RT dan Bu RT. 

"Jangan," jawab Nina tegas. "Aku hanya akan latihan menari bersama ibu-ibu."

"Tapi aku ingin ikut." 

"Pokoknya jangan."

"Pokoknya harus."

"Kenapa?"

"Aku ingin menontonmu menari."

"Tapi kamu selalu menontonku menari." 

"Aku tidak mau melewatkan satu tarian pun," kataku sambil memasang raut wajah sememelas (dan seimut) mungkin. Aku yakin, Nina tidak akan tega mengatakan 'tidak' pada wajah ini. "Aku kan penggemar setiamu."

Nah. Betul kan.

Nina mendengus. "Ya sudah, tapi berjanjilah untuk tidak bertepuk tangan, mengganggu irama musik dengan jentikan jari, dan ikut menari dengan norak."

"Ya, ya," kataku cepat. "Tenang saja."

.

Nina

ARYO WONG EDAN! 

.

Lima belas tahun kemudian
1985

Aryo

Semangat gadis bergaun merah jambu itu kini menghilang. Padam, menguap. Alih-alih mengajak orang asing yang sedang membungkus lemper berdansa, kini ia malah terbaring lemah. Dilindungi selimut tebal, dikelilingi gelap kamar.

Aku datang membawakannya minuman. Jamu, campuran kencur dan asam. "Ayo, minum jamu."

"Jangan ganggu."

"Ini jamu favoritmu, lho."

"Jangan ganggu."

Aku tidak peduli. Aku tetap duduk di tepi kasur dan menyorongkan gelas jamu itu ke arahnya (yang memunggungiku). "Nina, kamu butuh energi. Kamu butuh semangat baru. Kamu masih harus berdansa, menari"

"Jangan ganggu," jelas Nina. Kali ini, nada suaranya lebih berat dan dalam. Bahkan sedikit menakutkan. "Kamu tidak tahu bagaimana perasaanku tentang berdansa atau menari sekarang."

Aku menghela napas. "Nina, insiden dua minggu lalu bukan kejadian besar."

Nina berbalik, lalu menyingkapkan selimutnya agar bisa menatapku. Matanya menyimpan kekecewaan dan kemarahan ketika ia berujar, "Bukan kejadian besar? Bukan kejadian besar, katamu? Yo, harusnya kamu mengerti! Jangankan menari, berjalan pun sekarang aku kesulitan!"

"Nina, kamu masih bisa berjalan. Kamu masih bisa menari. Kamu—" 

"Tulang kakiku retak dan luka parah setelah ditabrak," potongnya dengan nada ketus, menjelaskan sesuatu yang telah kumengerti. "Dokter bilang kakiku tidak akan berfungsi maksimal lagi. Aku tidak tahu apakah aku masih ingin menari atau berhenti."

Aku berjongkok di lantai, dengan posisi punggung membelakanginya. "Ayo, naik ke punggungku."

Nina mengernyit. "Untuk apa?"

"Kita buktikan bahwa dokter itu salah."

.

Nina

Everyone can see
There's a change in me
They all say I am not the same
Kid I used to be
(First Love - Nikka Costa)


Sementara lagu itu terputar, aku menatap Aryo dengan tatapan bingung. Kami kini berdiri berhadapan di lantai ruang tamu dengan sebelah tangan Aryo di pinggangku, sebelahnya lagi menggenggam tanganku. Erat.

"Ayo," kata Aryo. Wajahnya tampak serius. "Berdansa."

Aku ingin protes, tapi Aryo sudah bergerak. Aku pun tak punya pilihan lain selain menyandarkan tanganku di bahunya dan mengikuti dengan tertatih-tatih. Kakiku memang sudah tidak terasa sakit, tapi aku masih kesulitan menggerakkannya (dan kesulitan itu akan tetap ada sampai aku mati nanti).

For my first love
What I am dreamin' of
When I go to bed
When I lay my head upon my pillow

Aku menatap mata Aryo dengan dada yang dipenuhi rasa kesal bercampur malu. "Kamu sudah lihat kan, betapa jeleknya gerakanku ketika menari sekarang."

Aryo balas menatapku. "Menurutku, kamu masih menjadi penari terhebat di dunia ini."

My first love
Thinks that I am too young
He doesn't even know
Wish that I could saw him what I am feelin'
Cause I am feelin' my first love

My first love....

Seiring dengan outro lagu yang mengalun, Aryo tersenyum lebar sambil bertepuk tangan untukku, seperti kebiasaannya dulu. Dan tepukan itu adalah tepuk tangan terkeras yang pernah kudapatkan seumur hidupku.

.

Lima belas tahun kemudian...
2000

Nina 

Untuk memperingati hari pernikahan ke-35 kami, aku memasak sebuah hidangan spesial yang kami santap berdua sambil kemping di pekarangan rumah malam ini. Lemper ayam, double bumbu racikan sendiri.

Aryo tertawa terbahak-bahak ketika melihat tumpukan lemper itu. "Romantis."

Aku ikut tertawa. "Ya, makan lemper di bawah taburan bintang. Apakah ada yang lebih romantis?"

Kami menghabiskan malam sambil tertawa-tawa. Bernostalgia tentang pertemuan pertama kami yang teramat absurd hingga mengocehkan kebiasaan Aryo membungkus makanan di setiap pesta yang ia datangi. Gendheng.

"Nin, kamu harus tahu, aku merasa beruntung menikah denganmu," kata Aryo sambil tersenyum. 

Aku balas tersenyum. "Ya. Itu adalah keputusan terbaik yang pernah kita ambil."

Aryo mengambil sebuah lemper dan menyorongkannya padaku, sama seperti gerakan cheers yang biasanya orang-orang lakukan menggunakan gelas berisi wine. "Selamat hari pernikahan ke-35, Nina. Ik hou van jou."

Aku mengambil sebuah lemper juga, lalu menempelkannya pada lemper Aryo. "Selamat hari pernikahan ke-35 juga, Aryo. Ik hou van je ook."

Aku berharap kami bisa menghabiskan lemper ini, lalu masuk ke agenda selanjutnya: berdansa dengan lagu yang sama dengan lagu dansa pertama kami.

Tapi, tiba-tiba sekali, Aryo terjatuh dari duduknya dan menghantam karpet plastik yang kami duduki. Sekujur tubuhnya gemetar hebat selama beberapa detik, lalu diam. Kaku. Awalnya aku mengira ia bercanda, tapi tidak. Kedua matanya yang terbuka lebar tampak kosong.

"Yo!" seruku panik. "Aryo! Bangun, Yo!"

.

Nina

"Maaf, Pak Aryo terserang stroke hebat," jelas Dokter dengan wajah prihatin. "Sabar, ya, Bu."

Aku terduduk lemas, merasa jauh lebih hancur dibanding ketika aku mendapat kabar bahwa sebelah kakiku tidak akan berfungsi maksimal lagi. Aryo?

Stroke?

Aku baru tahu: ternyata cuma butuh satu kata untuk membunuhku.

.

Aryo

Lewat ujung mataku, kulihat Nina tertidur dengan kepala terkulai di kasur tempatku berbaring. Kelopak matanya, meski tertutup, terlihat bengkak. Sembap setelah menangis seharian selama menungguiku.

Aku mengambil napas. Gadis bergaun merah jambu, kenapa kamu menangisiku? 

Padahal aku baik-baik saja.

.

2001

Nina

Setahun berlalu.

Aryo mengalami sedikit kemajuan setelah menjalani berbagai pengobatan. Ia sudah bisa menggerakkan sebelah tangan dan sebelah kakinya, meski perlahan. Ia juga sudah bisa membuka mulut dan mengeluarkan bunyi-bunyian, meski tak jelas apa.

Tak mengapa. Aku memang tak bisa berharap banyak pada Aryo karena stroke yang ia alami amatlah hebat.

Itu tentang Aryo. Bagaimana tentangku?

.

Aku, sampai setahun setelah Aryo terserang stroke untuk pertama kalinya, tidak pernah menari lagi. Mendengar musik pengiring tarian pun tidak. Selain karena keadaan kakiku yang belum (dan tidak akan) membaik, aku juga merasa tak mampu. Aku tak sanggup menari tanpa tepuk tangan Aryo di ujung tarianku. 

Dan aku tak sanggup menjadi penari terhebat di dunia tanpa pujian Aryo. 

Tapi, hari ini...

Ketika aku baru saja selesai menyuapi Aryo dan hendak mencuci piring di dapur, ia bergumam memanggilku. 

Aku berbalik. "Minum?"

Aryo menggeleng pelan. Kemudian, sebelah tangannya terangkat perlahan dengan telunjuk mengarah ke tape. Telunjuk itu lalu bergerak ke sampur (selendang tari) milikku yang sudah setahun lamanya tergantung di paku cantolan. Sampur itu mungkin sudah jadi sarang laba-laba sekarang.

Aku mengambil napas panjang, mendadak merasa sedih. "Aku tidak bisa menari. Kamu sudah tahu keadaan kakiku." 

Aryo menggeleng, seolah membantahku.

"Aku tidak bisa, Yo," kataku lagi sambil berjalan ke arahnya dan mengelus kepalanya. "Maaf, tapi aku tidak ingin dan tidak sanggup menari lagi."

Aryo menggeleng lagi, lebih kuat dari gelengan sebelumnya.

Aku merasa dadaku sesak oleh rasa sedih. Hampa dan kecewa. "Selama ini aku berpikir bahwa aku adalah penari yang hebat, seperti yang selalu kamu katakan padaku. Aku adalah penari yang bisa terus menari dengan indah, bahkan setelah kakiku tidak bisa bergerak segemulai dulu."

Kali ini, Aryo mengangguk.

"Tapi tidak," ujarku gamang dengan kepala tertunduk. "Aku tidak sehebat itu."

.

Aryo

Kamu bisa, Nina. 

Aku percaya, kamu bisa. 

Aku percaya, kamu mampu melampaui batas apa pun.

Dan aku percaya kamu masih menjadi penari terhebat di dunia. 

.

Nina

Melihat Aryo terus memaksa dalam gumaman dan gerakan tangannya yang lemah, aku tak punya pilihan lain. Lagipula, sepanjang hidupku bersamanya, Aryo mau melakukan apa pun hanya untukku (bahkan mungkin melintasi Merkurius hingga Neptunus, jika aku meminta). Tapi kenapa aku tak mau menari satu kali lagi untuknya? 

Dengan gamang, aku pun menyetel musik--satu aktivitas yang terasa asing dan membuat darahku berdesir. 

Aryo tersenyum selebar yang bibirnya izinkan ketika menatapku melingkarkan sampur di pinggang. Aku dapat mendengar kalimat yang ia ucapkan dalam hati, "Kamu adalah penari terhebat di dunia, Nina."

Aku tersenyum kecil. Terima kasih.

Musik terputar, aku pun memulai dengan sebuah gerakan tangan.

Tarian ini adalah tarian yang kuciptakan sendiri dan tidak pernah kutarikan di hadapan orang lain, satu hari sebelum aku menikahi Aryo. Judulnya  'Elmosolyodni'. Artinya adalah senyum yang tiba-tiba tercipta karena sebuah emosi, seperti cinta dan kebahagiaan.

Gerakan-gerakan Elmosolyodni terinspirasi dari balet, namun lebih mudah. Musik yang mengiringinya adalah musik klasik dengan tempo sedang mendekati lambat. Alasan aku memilih untuk menarikan tari ini adalah 1) mudah, sehingga aku tidak kesulitan mengontrol gerakan kakiku, dan...

2) Aryo harus mengetahui tarian yang kuciptakan untuknya.

.

Aryo

Apa kubilang. Kamu memang penari terhebat di dunia ini, Nina.

.

Nina

Elmosolyodni kuakhiri dengan bungkukan dan gerakan tangan yang memutar ke atas. Sambil menunduk menatap lantai, kurasakan jantungku berdebar-debar karena bahagia. Ajaib! Ke mana perasaan gamang dan sedih yang kualami sebelum menari? 

Plok... plok... plok....

Aku terperanjat. Tepuk tangan siapa itu?

Aryo?

Ketika aku mendongak, kulihat Aryo sedang tersenyum bangga sembari menepukkan sebelah tangannya pada paha. Tepukan itu lambat dan terdengar lemah, tapi aku tahu itu adalah tepukan terkeras yang bisa ia lakukan. 

Kurasakan setitik air mata mengalir di pipiku karena haru.

Terima kasih banyak, Aryo.

Terima kasih karena telah bertepuk tangan untukku, bahkan ketika tanganmu tidak mampu bergerak.

Terima kasih karena telah tersenyum bangga padaku, bahkan ketika bibirmu terasa kaku.

Dan terima kasih karena telah percaya bahwa aku adalah penari terhebat di dunia ini, bahkan ketika aku tidak memercayai diriku sendiri. 

.
.
.
.
.

Empat tahun kemudian...
2005

Nina

Setelah aku menarikan Elmosolyodni untuk Aryo empat tahun lalu, tidak ada lagi ragu yang kurasakan ketika aku menari dengan tertatih-tatih. Tidak ada gamang ketika mendengar musik pengiring tarian. Tidak ada pula rasa sedih ketika menatap luka di kakiku, atau ketika menonton penari-penari muda menari dengan lincah di atas panggung (sementara aku mulai lekang ditelan usia). 

Aku bahagia. Lebih bahagia dari siapa pun, lebih bahagia dari yang lalu-lalu.

Itu tentangku. Bagaimana tentang Aryo?

.

Aryo sudah meninggal. Stroke yang dulu menyerangnya hingga lumpuh datang lagi, dan kali itu, ia tidak mampu bertahan. Aku hancur, tentu saja. Tapi aku tahu, Aryo akan merasa lebih hancur melihatku tak mampu menjadi penari terhebat di dunia.

Maka aku pun mulai menari, menari, dan menari.

Menarikan Elmosolyodni, sebuah senyum yang muncul tiba-tiba karena satu emosi. 

Comments

Popular posts from this blog

Contact Me

About Me: The New Version

#1 Proses Novel "Inikah Rasanya Cinta"