Lima Puluh Tahun

Aku, Supriyadi. Usia tiga puluh tahun. Bekerja sebagai pengasuh lansia sekaligus sopir bagi seorang kakek miliuner penderita sakit ginjal.

Nama kakek itu adalah Antoni.

.

Rumah Pak Antoni--rumah tempatku bekerja--sangatlah luas. Aku sudah bekerja di sana selama sepuluh tahun, namun aku masih belum mengenali sudut-sudut rumah itu dengan baik. Aku bahkan pernah tersesat di dalamnya. 

Selain luas, rumah berlantai lima itu juga megah. Mewah. Dengan lantai marmer berkualitas tinggi, lapisan tirai yang lebih tebal dari harga diri Inem--maaf, aku benci sekali pada pesuruh genit itu--dan karpet beludru dari Turki, rumah peninggalan zaman Belanda itu akan jauh lebih pantas jika disebut sebagai kastil. Istana seorang putri. 

Namun, tidak ada putri di dalamnya. 

Tidak ada pula ratu. 

Pak Antoni hanya menjadi raja sendiri

.

Rumah itu sangat spesial, namun bagian yang paling spesial di sana adalah taman mawar. 

Menurut cerita Pak RT dan tukang bubur yang mangkal di pos ronda, dulu, taman mawar itu tidak termasuk ke dalam wilayah rumah Pak Antoni. Namun, setelah peristiwa-entah-apa terjadi, Pak Antoni membeli taman itu dengan harga mahal. Berapa rupiah tepatnya? Hmm, kira-kira gaji Inem selama seribu tahun, lah. 

Taman mawar berbentuk segiempat yang dikelilingi oleh bangunan itu sangat indah. Nyaris semua jenis mawar ada di sana. Mawar merah, kuning, oranye, putih, pink tua, pink muda, pink tua kemuda-mudaan, sampai hitam keabu-abuan pun ada. Hebat sekali. 

Di pusat taman, jika hamdalah tidak tersesat, kita akan menemui sebuah ayunan besi dengan dua tempat duduk yang berhadapan. 

Nah. Ayunan itu-lah yang spesial. 

Tiap hari, bahkan nyaris tiap menit, Pak Antoni menghabiskan seluruh waktunya di sana. Duduk melamun sendiri. Inem si genit, bergantian dengan aku atau Mak Irah, kadang mendorong ayunan itu pelan. Yang menemani hanya kicau burung dan wanginya mawar-mawar. 

.

Awalnya, kami semua (para pesuruh) tidak bertanya-tanya mengapa. Mungkin masa kecil Pak Antoni memang kurang bahagia, sehingga beliau suka sekali main ayunan. 

Tapi, lama-lama, kami heran sekali. 

Memangnya ada apa dengan ayunan itu? Kenapa Pak Antoni, yang dulu adalah seorang workaholic sejati tanpa keluarga dan sering berpergian ke luar negeri, sering melamun di sana? 

Kenapa beliau tidak mau beranjak ke mana-mana jika tidak dipinta lebih dulu? 

Apakah beliau sakit jiwa? 

Untuk pertanyaan terakhir, jawabannya jelas tidak. Menurut psikolog yang sering bertamu, jiwa beliau hamdalah sehat wal-afiat. Beliau memang tidak pernah meracau ganjil, tertawa sendiri, atau berlarian telanjang di jalan raya. Hamdalah. 

.

Selama bertahun-tahun, kami para pesuruh hanya bisa bertanya-tanya dalam hati mengenai perilaku aneh majikan kami. 

Namun, suatu hari, ketika aku sedang sibuk-sibuknya menyapu, tiba-tiba Inem si genit berujar, "Aku sudah tahu kenapa Pak Antoni sering melamun di ayunan itu." 

Aku, yang mengira bahwa ia akan menyebarkan gosip-gosip tak berdasar, tak tertarik. Sambil lanjut menyapu, aku berteriak, "Dasar cerewet!" 

Dia mencubitku tepat di lengan. Sakit sekali. "Hei, dengar dulu! Aku tahu kau penasaran!" 

Aku tak menyangkal, karena aku memang penasaran. "Memangnya apa? Kalau kau berbohong, awas saja!"

Inem membelalak. "Sumpah, Sup! Demi Allah! Aku jujur!" 

"Ya sudah!" jawabku galak, agak merinding mendengar nama Tuhan-ku disebutkan. "Apa ceritanya?"

Sebelum bercerita, Inem melirik kanan-kirinya lebih dulu. Takut ketahuan Mak Irah. Lalu, dengan mata melotot macam ikan, ia berbisik, "Kautahu? Pak Antoni ternyata... selalu melamunkan seseorang! Seseorang, Sup! Seseorang! Padahal sifatnya dingin sekali! Tetangga-tetangga kita sendiri yang bilang bahwa ia ingin menjadi pekerja seumur hidupnya tanpa pernah menikah!" 

Aku mendengus. "Dasar lebai. Kalau memang beliau tidak mau menikah, ya sudah. Lagipula, dulu, beliau pasti sibuk sekali mengurusi lima perusahaannya yang sudah mengglobal hingga ke Eropa. Kaubisa apa? Mencuci piring sisa masakan padang pun kau tak becus." 

Inem tak peduli. Ia tetap lanjut bercerita. "Aku menguping berita ini waktu psikolog teman Pak Antoni datang. Psikolog itu bilang, "Ton, sampai kapan kau mau menunggu dia? Dia tidak akan datang ke tamanmu lagi.""

Cuping telingaku menegang. "........lalu?" 

Mata Inem berbinar, senang karena aku--akhirnya--tertarik. "Lalu Pak Antoni berkata, "Biarlah. Sudah nyaris lima puluh tahun aku menunggu. Jika aku berhenti sekarang, apalah artinya lima puluh tahun yang telah berlalu?"

Psikolog itu menjawab, "Tak ada yang terlewat, Ton. Sama sekali tidak ada. Kau akan bahagia jika melupakannya. Lagipula dia sudah pergi." 

Pak Antoni tersenyum. "Tentang bahagiaku, janganlah kau yang menyimpulkan. Aku yang merasa, aku yang mengingat, dan aku pula yang menunggu." 

Aku tercenung. Kalimat itu dalam sekali, rasanya seperti membius. Inem tetap bercerita dan mulai menyampaikan opininya yang sok tahu, namun aku tak mendengar. Suara Inem bagai udara yang tak terlihat dan tak terasa. 

Tentang menunggu, haruskah se-lama itu? 

Lima puluh tahun?

.

Seminggu setelah Inem si genit menceritakan hal itu, aku menatap Pak Antoni dengan jalan pikiran yang berbeda. Jika dulu dengan pikiran 'aku takut Pak Antoni sakit jiwa', kali ini dengan 'siapakah yang beliau tunggu tiap hari di ayunan itu?' 

Ya, wanita beruntung manakah yang berhasil menerima penantian selama lima puluh tahun dari seorang miliuner sukses ini? 

.

Kali itu, aku sedang mendorong ayunan Pak Antoni. Tatapan beliau yang kosong, harum mawar yang menusuk, dan derit ayunan tua ini entah kenapa membuatku sedih. Angka lima puluh berputar-putar di benakku. 

Pak, haruskah Anda menunggu se-lama itu? 

Lima puluh tahun?

Tiba-tiba, ketika aku asyik dengan lamunanku, Pak Antoni menangis. Air mata benar mengalir di pipinya yang keriput. 

Aku panik. "Pak, ada apa? Adakah yang bisa saya bantu?" 

Beliau tambah tersedu. Air matanya tambah deras. Kemudian ia beranjak dari ayunan, berjalan dengan langkah patah-patah, memetik sebanyak-banyaknya mawar putih, lalu berujar padaku dengan lirih, "Tolong antar saya. Saya perlu memberikan mawar ini pada seseorang."

Aku menelan ludah. Takut untuk mengantar, namun lebih takut untuk menolak. "Tentu, Pak." 

.
.


Tahukah kalian ke mana aku mengantar beliau? 

Ke sebuah pusara di desa. 

.

Menurutku, pusara itu sangat sederhana. Tak ada apa-apa selain batu nisan dan bunga kamboja layu yang menjatuhinya. Batu nisannya terbuat dari kayu murah yang mulai lapuk. Bentuknya pun sederhana; kotak yang tak terlalu beraturan. 

Aku membaca sebaris nama di batu nisan itu dengan gugup. 

Adinda

.

Di samping makam Adinda, Pak Antoni menangis. Berkali-kali ia meraup tanah dan menciumi serta mengelus-ngelus batu nisan. Seikat bunga mawar yang ia petiki tadi, ditaruh dengan rapi di atas pusara. 

Tentu saja aku sontak tahu siapa Adinda. 

Adinda adalah wanita yang beruntung itu. 

Yang membuat Pak Antoni jatuh hati. 

Yang membuat Pak Antoni termenung. 

Yang membuat Pak Antoni menanti. Selama lima puluh tahun. 

.

Di perjalanan pulang, air mata dan cerita beliau mengalir, "Aku kenal Adinda waktu kami masih berumur dua puluh tahun. Waktu itu aku bukan siapa-siapa selain mahasiswa bisnis yang bodoh dan miskin. Waktu itu dia cantik, baik, dan berprestasi," jelas Pak Antoni. "Dia suka sekali pada bunga mawar dan ayunan."

Oh, ternyata karena itu....

Aku tak bisa menahan pertanyaanku, "Lalu kenapa, Pak?" 

"Suatu hari, dia bilang bahwa ia suka padaku," jawab Pak Antoni sembari menyusut air mata di pipinya. "Namun aku terlalu takut untuk menerimanya. Aku selalu bertanya-tanya, siapalah aku? Dia sudah akan menjadi dokter, namun aku masih berkutat dengan materi kuliah. Dia seperti langit, dan aku seperti bumi. Langit dan bumi takkan mungkin saling berpegangan, kan?"

Pak Antoni menghela napas panjang. "Waktu itu, aku melihatnya sebagai oase. Sesuatu yang tampak di depan mata, namun sebenarnya tak ada. Aku pun menyuruhnya berbalik pergi. Dan ia benar-benar pergi."

Aku terpaku. Mengapa kita baru menyadari cinta ketika cinta itu sudah hilang?

"Bertahun-tahun setelahnya, barulah aku sadar bahwa ia bukan oase," ujar Pak Antoni lirih. Suaranya terdengar seperti menahan tangis. "Ia memang mata air sejati. Nyata. Selalu ada kapan pun aku datang."

Aku menyetir dengan sedih. Ikut terjebak dalam ruang hampa yang diciptakan Pak Antoni. 

"Jadilah aku bekerja keras demi sebuah cincin permata. Ya, aku ingin melamarnya," ujar Pak Antoni gamang. "Tapi setelah cincin permata itu ada di tanganku dan aku pergi untuk menemuinya... sudah ada cincin lain di jari manisnya." 

Aku terkesiap. 

Pak Antoni mengusap matanya. "Waktu itu, ia menangis di depanku, lalu menyuruhku pergi dan tak pernah menemuinya lagi. Katanya, kami bukan orang yang tertepat. Dia sudah menemukan orang lain, dan aku, seharusnya, juga sudah." 

Suaranya seperti menggema di dalam mobil, menciptakan ruang hampa yang lebih luas. Aku ingin menangis. 

Beliau melanjutkan, "Aku pun kembali padanya sekali lagi. Saat itu, aku sudah sukses. Aku punya lebih dari sekadar cincin permata. Aku katakan padanya bahwa aku sudah membelikannya rumah mewah dengan ayunan serta taman mawar kesukaannya." Pak Antoni menangis lagi. "Tapi ia bilang bahwa semuanya sudah terlambat. Seharusnya, aku tak kembali lagi. Seharusnya aku sedang mencari dan menunggu seseorang yang tertepat.

Aku bertanya hati-hati, "Kenapa Bapak tidak melaksanakan titahnya? Kenapa Bapak tidak mencari dan menunggu seseorang yang tertepat itu?" 

Pak Antoni sesenggukan. "Aku tidak pernah mencari orang itu, karena aku sudah menemukannya. Dan aku selalu menunggu orang yang tertepat itu. Di taman mawar. Setiap waktu." 

Aku mengangkat alis. "Apakah... Bapak sedang menunggu orang lain?" 

Pak Antoni, masih sambil menangis, menggeleng. "Dia menyuruhku untuk mencari dan menunggu seseorang yang tertepat, namun bagiku, orang yang tertepat itu adalah dia. Lima puluh tahun telah terlewati, dan orang yang tertepat itu masih dia. Selalu dia. Selamanya dia." 

Aku merasa sebutir air mata menggenang di pelupuk mataku. "Ta-tapi, Pak, lima puluh tahun bukanlah waktu yang sebentar. Lima puluh tahun bukanlah--"

Pak Antoni memotong, "Untuk dia, aku bahkan rela menunggu seribu tahun lagi." 

Pak Antoni menangis, aku juga menangis. Ruang hampa yang diciptakan oleh sebaris kalimat tentang penantian itu, seakan memenuhi dunia dan menyelubunginya hingga tak ada apa-apa. Lebih dari hampa, sakit sekali. 

.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.

Beberapa bulan kemudian, Pak Antoni terkena serangan jantung. Tepat saat ia sedang termenung di ayunannya. Namun, saat aku, Inem, dan Mak Irah baru akan membawanya ke rumah sakit terdekat, nyawa Pak Antoni tak tertolong. 

Ia meninggal saat menanti. Lima puluh tahun lamanya. 

Sambil membawa nama seorang Adinda dalam hati. 

Comments

Popular posts from this blog

Contact Me

About Me: The New Version

#1 Proses Novel "Inikah Rasanya Cinta"