Melanjutkan seri solo traveling-ku ke Eropa, aku akan mulai nulis tentang perjalananku ke Paris, alias tujuan Eropa pertama. Disclaimer dulu, aku akan treat post kali ini sebagai diary, jadi akan banyak printilan nggak penting yang kutulis. Buat teman-teman yang tertarik untuk lanjut membaca, semoga kalian tetap enjoy!
Sebelum Keberangkatan: Persiapan Lain Selain Visa
Note: Ngomong-ngomong, untuk persiapan visa, bisa dibaca di post blog-ku edisi pertama (Schengen) dan kedua, ya (Abu Dhabi transit).
Sejujurnya, jadwal traveling-ku ini sedikit "kurang hoki" karena aku sedang sibuk-sibuknya di kantor, jadi persiapannya kurang matang. Aku sempat merasa pengen banget mundurin tanggal keberangkatan, tetapi setelah kupikir-pikir, pekerjaanku akan selalu seperti ini karena aku bekerja di start up (don't get me wrong, I really enjoy working here!).
Jadi, ya udah, berangkat aja.
Apa aja persiapanku?
- Aku baru mulai packing koper di H-1 keberangkatanku (malam hari), walaupun aku sebenarnya sudah mulai "menyisihkan" outfit yang mau kubawa dari 3 - 4 hari sebelumnya (jadi nggak terlalu capek).
- Di weekend sebelum itu, waktu aku liburan singkat ke Bandung, aku juga udah menukar uang rupiah dengan Euro dan Dirham (untuk transit pulangku di Abu Dhabi) di salah satu money changer daerah Pasteur. Aku menukar 3.5 juta rupiah untuk Euro dan 500.000 untuk Dirham (tentu saja jumlah ini kurang, tapi aku masih bisa bergantung ke kartu debit Jenius dan juga ATM di luar negeri; nggak masalah!).
- Aku juga berterima kasih banget ke orangtuaku yang ketika mampir ke Jakarta (kira-kira sebulan sebelum ini), mereka udah membantu aku nyiapin oleh-oleh untuk host family! Hal ini tentu perlu kulakukan mengingat aku datang untuk mengunjungi mereka. Aku jadi saving time banget karena nggak perlu cari oleh-oleh lagi, deh!
Oh iya, aku sendiri dapat jatah bagasi sebesar 20kg dan 1 tas kabin sebesar 7 kg. Untuk bagasi, aku yakin beratnya hanya di kisaran 15 kg - 20 kg. Untuk tas kabin sendiri aku nggak bawa apa-apa, cuma bawa tas biasaku (hand bag) yang isinya laptop, ipad, powerbank, dan printilan lainnya. Prinsipku ketika liburan solo traveling adalah packing se-ringan mungkin mengingat di Eropa nggak ada jasa kuli yang bisa membantu angkat-angkat koper.
Lanjut.
Pagi hari di hari H (13 Juni 2024, jam 10 pagi, setelah memastikan diri sarapan, paspor + uang aman), aku berangkat naik taksi online ke bandara Soekarno Hatta (CGK). Di sana, aku menyempatkan diri mampir minum cappuccino dulu di suatu cafe, buka kerjaan, sebelum akhirnya aku check in dan menyelesaikan urusan imigrasi.
Transit Pertama: Ho Ci Minh, Vietnam
Flight-ku menuju Paris berangkat jam 2 siang WIB. Aku naik pesawat Vietnam Airlines, di mana aku harus transit lebih dulu di Ho Chi Minh, Vietnam selama empat jam, sebelum akhirnya langsung menuju Paris (perjalanan 12 jam).
Ngomong-ngomong, Vietnam adalah negara yang beberapa kali orang lain rekomendasikan sebagai tempat liburan, dan aku tertarik banget ke sana! Tapi, karena belum rezekinya, kali ini aku harus cukup puas dengan mampir ke bandaranya, mencoba semangkok pho, lalu terbang lagi ke Paris. Lumayan, tetap bisa klaim pernah mencoba authentic experience (nyobain pho langsung di tempat asalnya) walaupun cuma transit.
Selama flight, mungkin karena memang masih siang, aku nggak bisa tidur. Aku menghabiskan tiga jam penuh baca buku lewat iPad-ku sampai akhirnya pesawat mendarat. Aku pun bergerak sesuai arahan untuk menuju spot transit. Di sini, aku ngerasain pengalaman yang kurang menyenangkan, di mana service bandara Vietnam sangat kurang (untuk spot transit). Salah satunya adalah ketika mau masukin tas ke dalam konveyor, kita disuruh langsung taruh barangnya (termasuk paspor dan HP) tanpa wadah.
Aku nggak ngerti apa yang terjadi, tapi karena lagi buru-buru, aku nggak terlalu mikirin ini.
Setelah melewati spot transit, aku jalan-jalan di area perbelanjaan bandara Ho Chi Minh, dan akhirnya membeli beberapa barang, termasuk cokelat kopi Vietnam. Sesuai rencana, aku juga makan malam pakai pho ditemani secangkir es kopi vietnam dengan total harga Rp150.000,00 (atau Rp300.000,00 ya? Aku lupa, pokoknya segituan). Sayangnya, porsinya besar banget, dan aku nggak habis! Mubazir, deh.
Setelah makan pho, aku menunggu jadwal flight selanjutnya menuju Paris dengan terkantuk-kantuk sambil nge-charge handphone. Karena satu-satunya spot charging yang tersisa agak jauh dari gate, aku duduk di sana sambil menggelosor di lantai.
Flight-ku berangkat tengah malam, dan aku duduk di window seat (lumayan, bisa lebih enak untuk nyandar tidur). Aku duduk di sebelah dua orang pasutri yang udah cukup tua. Tapi, walaupun udah malam dan posisiku cukup enak, aku tetap merasa perjalanan 12 jam ini lama banget. Aku dapat makan dua kali, tidur kira-kira 4 - 6 jam, dan full duduk aja (males bangun ke toilet atau berdiri).
Alhasil, sampai Prancis, aku pegal banget!
Tiba di Tujuan Pertama: Paris, Prancis
Begitu tiba di Charles de Gaulle, Paris, Prancis, aku ngerasa terharu banget. Tujuh tahun udah berlalu sejak pertama kali aku ke Paris, dan aku masih ingat Paris itu kota yang sangat menyenangkan dan cantik. Aku suka banget sama tempat wisatanya, termasuk Disneyland Paris (aku inget banget kereta menuju Disneyland itu lucu banget) dan terutama daerah Montmartre.
Sayangnya, aku sempat bete karena proses turun dari pesawat itu lama banget! Flight-ku tiba jam 6, aku baru masuk bandara jam 7 untuk ambil koper. Proses imigrasi dan pengambilan koper juga relatif lama walaupun lines-nya udah banyak (kira-kira 30 - 40 menit).
Tapi, singkat cerita, urusan imigrasi selesai. Aku pun pelan-pelan mengurus hal remeh-temeh lainnya yang biasanya dilakukan turis:
- SIM Card. Tepat di area yang sama dengan pengambilan bagasi, aku melihat dua konter SIM Card yang menawarkan SIM dengan benefits yang miri-mirip. Aku memutuskan beli SIM Card seharga 30 euro, 30 GB, berlaku di semua negara Eropa selama tiga puluh hari.
- Kartu transportasi umum. Saat transit di Abu Dhabi (waktu menggelosor di lantai itu, lho, sambil charge handphone), aku menyempatkan diri searching tentang cara naik transportasi umum di Paris. Jujur, aku bingung banget, karena Paris membagi area mereka jadi lima zona.
Tapi, menurut TikTok, aku cuma perlu punya satu kartu, yaitu Navigo.
Untuk membeli kartu Navigo, aku perlu pindah dari bandara menuju stasiun kereta. Proses pindahnya mudah banget karena ada banyak sign yang tercantum sejak keluar bandara, jadi tinggal diikuti aja sambil berjalan kaki.
Semuanya lancar-lancar aja, sampai akhirnya...
Lho, antre banget!
Aku cukup shocked melihat antrean panjang untuk beli tiket kereta. Menolak untuk langsung mengantre, aku langsung nanya ke salah satu petugas berseragam, "Pak, ini beneran lagi antre beli tiket Navigo buat ke kota?"
Beliau menjawab, "Kamu mau beli tiket apa? Sekali jalan atau one day pass?"
Aku terbata-bata ngejawab, "One day."
"Oh, kalau one day coba ke antrean yang sana," kata bapaknya sambil nunjuk antrean yang SEDIKIT lebih sepi (tapi tetap agak ramai). "Kamu panggil aja teman saya."
"Oke, terima kasih."
Aku pun masuk ke antrean yang lebih pendek itu, tapi ketika mau beli tiketnya, lho kok nggak tahu harus klik yang mana? Dan pas pindah mesin (cek mesin sebelah), lho kok mesinnya beda? Dan kok agak error pas dipencet?
Kebetulan, di sebelahku, ada segerombolan cowok yang lagi menunggu juga. Kayaknya masalah mereka sama, deh. Aku pun akhirnya nanya ke mereka, "Halo. Kalian mau ke kota juga? One day pass?"
"Iya, tapi mesinnya rusak, jadi lagi nunggu petugas."
"Hoo...."
Sampai sini, aku mulai merasakan feeling buruk tentang transportasi umum di Paris. Aku jadi throwback perjalanan liburanku di Sydney (ada di post sebelah), dan aku ingat transportasi umum di sana sangat mulus. Satu kartu Opal bisa dipakai untuk semua perjalanan dan mode transportasi (tanpa lihat zona), dan kalau lupa bawa Opal, bisa pakai kartu debit Jenius.
Tapi, di sini beda banget. Ya nggak apa-apa, sih, jangan tersinggung ya, hahaha.
Ketika petugasnya datang dan nyamperin segerombolan cowok itu, petugasnya ngajak mereka untuk pergi ke kantor customer service Navigo yang letaknya masih di stasiun yang sama. Aku yang nggak tahu malu ini pun mengekor tanpa ngomong apa-apa (rada freak emang), lalu akhirnya aku tiba di... antrean lagi.
Kocak, beli tiket aja sampai 1 jam.
Sebenarnya, nggak harus beli offline, sih. Menurut Google, kita bisa langsung pakai aplikasi online Navigo, di mana tiketnya bisa dibeli online dan langsung dipakai. Tapi, guys, aku nggak ngerti cara pakainya. Ditambah lagi HP-ku kelupaan belum upgrade iOS (baru sadar pas udah di Paris), jadi fiturnya nggak berfungsi maksimal.
Inilah pentingnya riset!
Singkat cerita, akhirnya aku berhasil membeli 1 tiket one day pass Navigo untuk Paris (kecuali daerah Versailles) seharga 20.60 euro. Mengingat aku akan dua hari di Paris, sebenarnya aku masih khawatir (hari ini aman, tapi besok gimana?). Namun, aku memutuskan mikirin hari kedua nanti aja #yololyf. Jam-ku udah nunjukin pukul delapan pagi waktu Paris, dan aku masih harus taruh koper sebelum main ke tengah kota Paris.
Tujuan pertamaku setelah bandara adalah AirBNB-ku untuk titip koper (walaupun check in baru boleh jam 2 siang, aku udah izin untuk taruh koper pagi-pagi). AirBNB-ku sendiri letaknya di pinggiran Paris, yaitu daerah Bondy (Rue de Peupliers), dan sejujurnya aku nyaris salah daerah (karena sepertinya Bondy ada dua). Untungnya, setelah double check, aku berhasil ketemu alamat yang benar!
Perjalanan menuju Bondy aku jalani pakai dua transportasi umum (satu kali ganti), termasuk menggunakan kereta RER B. Karena dua kali ganti, jadi lama (ya, jauh). Di titik ini, aku jadi belajar bahwa pemilihan AirBNB itu nggak boleh asal, karena akan makan 1 - 2 jam lebih lama untuk menuju ke sana.
Kelelahan itu jadi berkali-kali lipat karena begitu sampai di stasiun Bondy, aku salah keluar gate, jadinya aku nggak dapat akses lift. Aku pun harus gotong-gotong koper 20 kg ini, lalu nyeret dia di aspal. Menangis.
Begitu sampai di AirBNB (jam 9 lebih), aku langsung taruh koper, ngobrol sedikit sama pemilik AirBNB (kebetulan bentuknya rumah pribadi gitu, guys), lalu langsung bergerak menuju pusat kota Paris. Tujuan pertamaku adalah Champs Elysees (pusat perbelanjaan Paris) karena aku 1) lapar, 2) butuh kacamata hitam (Paris terik banget), 3) mampir sekalian lihat Arc de Triomphe di ujung Champs Elysees.
Tujuan Pertama: Champs Elysees
Aku naik RER E dari Bondy, lalu transit (ganti naik bis), lanjut naik bis. Selama perjalanan, bisku melewati beberapa cafe Paris yang autentik banget, yaitu banyak bunga-bunganya. Cakep! Aku pun bertekad mau mampir ke sana setelah ini...
...tetapi yang pertama kulakukan adalah mampir ke Five Guys di Champs Elysees, hahaha. Yes, it was my first meal. Aku lapar banget dan lagi craving hamburgers! Kebetulan setahuku burger-nya Five Guys enak banget dan halal, walaupun aku sendiri belum pernah ke sini. Pengalaman menarik, sih, karena aku jadi nyobain Cola Cola rasa Cherry yang belum pernah kucoba juga sebelumnya.
Setelah Five Guys, aku jalan aja melewati Champs Elysees dari ujung ke ujung. Aku sempat lihat Laduree (one of the first cafes/restaurants that introduced macarons), tetapi karena sedikit ramai, aku mengurungkan diri mampir untuk jajan di sana. Aku lanjut ke toko souvenir yang menjual kacamata hitam, lalu ke Arc de Triomphe untuk foto-foto aja dari dekat (selfie).
Dari Arc de Triomphe, aku memutuskan untuk pergi ke salah satu cafe Paris di dekat area ini. Karena menurut Google lebih dekat kalau pakai metro, akhirnya aku pakai metro, deh (satu kali naik aja), lanjut jalan kaki.
Sejujurnya, aku belum pernah mampir ke cafe Paris sebelumnya. Aku ingat banget bahwa dulu, zaman exchange, aku menghindari mampir ke restoran atau cafe. Selain karena harganya cukup pricey, aku bener-bener bingung cara ngasih tips, hahaha (norak banget dulu). Jadi, saat tiba di area yang penuh dengan cafe Paris, aku sempat bingung. Mau ke yang mana, ya?
Tapi, akhirnya pilihanku jatuh ke cafe bernuansa biru yang nggak terlalu ramai (jadi enak kalau mau foto-foto). Waiters-nya ada dua, aku ingat salah satunya itu punya look yang unik dan gondrong. Aku pesan cappuccino di sini (rasanya biasa aja, tapi oke, sih) (harga-nya 7 Euro, aku kasih tips 2 Euro).
Di sini, aku juga ngobrol sama salah satu tamu lain (perempuan berambut pirang, tinggi, tapi aku nggak tanya nama), di mana dia berasal dari Jerman dan lagi mampir ke Paris untuk pernikahan saudara laki-lakinya. Dia cerita kalau dia kuliah di Jerman di jurusan yang berhubungan dengan pelayaran (tourism), dan di sini aku ngerasa cerita dia seru banget! Being European, tuh, rasanya keren karena punya akses ke berbagai negara dan culture yang berbeda-beda.
However, I still love being an Indonesian.
Setelah menghabiskan satu jam di sana sambil mencoba-coba tripod (aku baru sempat coba tripod-ku di sini), aku akhirnya mau bergerak, nih, ke destinasi utamaku (menara Eiffel). Tapi, aku tersesat karena Google Maps-ku error, dan by the time udah sampai haltenya, ternyata hpku low battery. Mengingat aku akan banyak foto-foto, akhirnya aku mampir ke PAUL karena dia punya tempat nge-charge.
Di PAUL, aku beli segelas cokelat panas dan pain au choc. Enak, sih. Aku sendiri udah beberapa kali pengen mampir ke PAUL dekat kantor (Menara Caraka), tetapi belum sempat. Alhamdulillah rezekinya di PAUL Champs Elysees.
Setelah HP-ku cukup full baterainya, aku pun bergerak menuju Eiffel naik bis (melewati 3 bus stop). Perjalanannya agak macet, tapi lancar! Aku cuma keliling area sekitar Eiffel, termasuk Rue de l'Universite yang iconic. Sayangnya, foto-foto di sini nggak terlalu bagus karena ramai. Foto yang agak bagus justru di sekitar Seine, logo Olimpiade Paris 2024-nya sangat terlihat.
Selesai dari Eiffel, aku langsung naik bus menuju area Sorbonne (tbh sampai saat ini, aku nggak tahu apa nama daerahnya, aku cuma tahu bahwa Faculty of Medicine Sorbonne University ada di sana), yang kebetulan dekat dengan beberapa tempat yang mau kukunjungi, yaitu:
- Odette Cafe (aku akhirnya cuma lewat dan nggak mampir).
- Shakespeare and Company.
- Pasar bunga Marche aux fleurs.
Walaupun terlihat dekat di Google Maps, ternyata perjalanan ke sana melewati beberapa bus stop yang panjang, kira-kira 30 - 40 menit perjalanan, lah. Bus pun agak ramai, dan aku gak dapat tempat duduk. Tapi, aku tetap berusaha menikmati pemandangan di jendela bis, melihat pemandangan kota Paris sendirian.
Saat menulis ini, aku nggak ingat terlalu banyak lagi mengingat perjalanannya pun terjadi di bulan Juni (hahaha aku baru menulis ini di November), tapi aku ingat aku capek banget jalan kaki karena Google Maps-ku cukup sering error. Tapi, overall, aku suka! Aku mampir ke Shakespeare and Company dulu (yang ternyata antre, jadinya gak masuk), lalu lihat-lihat bunga di Marche aux fleurs yang saat itu sepi.
Aku baru masuk ke Shakespeare and Company kira-kira 1 - 2 jam setelahnya, di saat antrean udah menipis. Toko bukunya cukup lengkap dan nyaman, walaupun sedikit ramai. Aku udah tergoda beli buku, tapi aku memutuskan nggak beli buku karena alasan koper dan buku-bukuku yang udah banyak (dan belum kubaca). Aku cuma beli postcard untuk beberapa teman, baca buku di area library-nya (di lantai dua), lalu udah.
Bersamaan dengan aku yang udah bingung mau ke mana lagi, host sisterku Clara tahu-tahu ngirimin WhatsApp, ngasih tahu bahwa hari ini adalah pertandingan pertama Euro Cup 2024. Kalau nggak salah, pertandingannya adalah Prancis vs Jerman. Pantes beberapa bar dan restauran udah agak ramai, banyak yang mau nonton bola!
Aku pun memutuskan untuk ikut join di salah satu restaurant, menunggu pertandingan bola. Aku memutuskan untuk nonton setengah pertandingan aja karena harus segera pergi. Aku berencana pergi ke Eiffel Tower lagi, tapi kali ini di malam hari, supaya dapat pengalaman lihat tower-nya kelap-kelip (note: Eiffel Tower akan dibuat berkelap-kelip di jam tertentu).
Comments
Post a Comment